nusabali

Sidang OTT Bendesa Adat Berawa Dugaan Pemerasan Investor

JPU Hadirkan Saksi Ahli Pidana

  • www.nusabali.com-sidang-ott-bendesa-adat-berawa-dugaan-pemerasan-investor

Salah satu poin penting yang dibahas adalah definisi gaji dan honor. Saksi ahli menjelaskan bahwa gaji dan honor adalah dua hal yang berbeda.

DENPASAR, NusaBali
Perdebatan sengit terjadi dalam sidang lanjutan kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) Bendesa Adat Berawa I Ketut Riana, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar, Kamis (1/8) siang. Sidang kemarin semakin menarik perhatian setelah Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Bali menghadirkan saksi ahli pidana Hendri Jayadi, yang merupakan Dekan Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI).

Sebelum saksi ahli memberikan keterangannya, koordinator tim kuasa hukum Riana, Gede Pasek Suardika mengajukan surat permohonan kepada majelis hakim yang diketuai oleh Gede Putra Astawa. Pasek meminta izin untuk menyiarkan sidang secara langsung melalui akun Facebook-nya, yang kemudian dikabulkan oleh hakim dengan catatan bahwa jika ada masalah hukum terkait siaran langsung itu, Pasek yang akan bertanggung jawab. Pasek pun mengangguk menerima penjelasan tersebut.

Meski saksi ahli didatangkan oleh JPU, yang terjadi justru tim kuasa hukum Riana yang banyak mendalami dan mencecar keterangan ahli tersebut. Saksi ahli berusaha memberikan keterangan yang memperkuat dakwaan JPU, sementara Pasek dan timnya berusaha mematahkan dakwaan tersebut. Beberapa pertanyaan dari Pasek berhasil membuat saksi ahli memberikan keterangan yang justru menguntungkan terdakwa.

Salah satu poin penting yang dibahas adalah definisi gaji dan honor. Saksi ahli menjelaskan bahwa gaji dan honor adalah dua hal yang berbeda. Gaji diberikan berdasarkan jabatan atau profesi, sementara honor diberikan atas dasar kegiatan yang dilakukan. “Ketika melakukan kegiatan, maka orang itu berhak mendapat honor,” kata saksi ahli.

Pasek segera menanggapi pernyataan tersebut. “Jadi, clear ya? Gaji dan honor itu beda?,” tanyanya yang kemudian dijawab. “Iya, beda,” ucap saksi ahli. Jawaban ini membuat Pasek dan timnya tersenyum, karena dalam dakwaan JPU disebutkan bahwa Riana sebagai bendesa adat menerima gaji dari pemerintah daerah, padahal yang diterima adalah honor.

Selain itu, Pasek juga membahas mengenai penyalahgunaan kewenangan oleh penyelenggara negara. Berdasarkan PP Nomor 44/2020, penyelenggara negara adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Aparatur Sipil Negara (ASN), atau orang yang menerima gaji dari APBN/APBD. Pasek menekankan bahwa bendesa adat bukanlah penyelenggara negara karena yang diterima adalah honor, bukan gaji, yang diambil dari pengelolaan Bantuan Keuangan Khusus (BKK), sebagaimana disebutkan dalam SK Gubernur dan Perda.

Ditemui usai sidang, Pasek menyatakan pandangannya terkait keterangan saksi ahli yang dihadirkan oleh JPU. “Saya rasa kita hargai ya keahlian beliau dalam menyampaikan pemaparan tadi, tetapi dengan penggalian yang lebih mendalam, terungkap fakta-fakta yang menunjukkan perbedaan antara gaji, tunjangan, dan honor. Walaupun berputar-putar, akhirnya diakui bahwa gaji dan honor itu berbeda,” ujar Pasek.

Pasek menyoroti bahwa ahli pidana Hendri Jayadi yang didatangkan oleh JPU, meski berusaha membenarkan dakwaan, justru mengungkap banyak kesalahan dalam proses dakwaan. Misalnya, terkait dugaan pemerasan investor. “Investor dalam kesaksian tidak pernah menyatakan diperas atau menyerahkan uang. Ahli tadi menyampaikan bahwa pemerasan tidak akan pernah terjadi jika si investor tidak mengeluarkan uang, dan faktanya memang tidak mengeluarkan uang. Jadi itu fakta yang terjadi,” jelas Pasek.

Lebih lanjut, Pasek menegaskan bahwa bendesa bdat bukanlah penyelenggara negara karena menerima honor, bukan gaji. “Di PP 44 Tahun 2020 diatur bahwa ada tiga kategori non pegawai negeri yang dimaksud dalam pemaknaan di luar pegawai negeri, yaitu lembaga non struktural, lembaga penyiaran publik, dan badan layanan umum. Di luar itu tidak bisa dengan asas legalitas. Bendesa adat bukan termasuk non pegawai negeri yang mendapatkan gaji atau upah dari APBD atau APBN karena yang diterima adalah honor atas kegiatan dari dana BKK,” jelasnya.

Pasek juga menyampaikan bahwa dalam SK Gubernur, Peraturan Gubernur, maupun SK Bupati, semua menyebut bahwa yang diterima oleh bendesa adat adalah honor. “Bendesa adat itu menerima honor, bukan gaji. Itu honor atas kegiatan pengelolaan dana bantuan BKK, bukan atas jabatan dia,” tambah Pasek.

Membahas soal penyuapan, di mana dalam kasus ini inisiatif datang dari pihak pemberi. “Fakta di persidangan menunjukkan bahwa chat pertama datang dari pemberi, angka uangnya datang dari pemberi, dan tempat ketemu ditentukan oleh pemberi, sehingga dari kategori itu, tidak ada unsur pemerasan. Kalau dipaksakan harusnya masuk pasal suap, tapi pasal itu tidak ada dalam dakwaan. Karena dakwaan tidak terbukti, terdakwa harus bebas atau lepas,” tegasnya.

Diberitakan sebelumnya, kasus ini mencuri sempat perhatian publik, di mana Bendesa Adat Berawa I Ketut Riana ditetapkan sebagai tersangka usai terjerat OTT oleh Kejati Bali di resto kawasan Jalan Raya Puputan, Denpasar Timur, Kamis (2/5). Selain I Ketut Riana, turut diamankan Andianto Nahak T Moruk, perwakilan dari investor dan uang tunai Rp 100 juta. Uang ini diduga merupakan sebagian dari permintaan Ketut Riana sebesar Rp 10 miliar kepada investor yang akan membangun hotel di kawasan Pantai Berawa.

Atas perbuatan terdakwa didakwakan pasal sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf e jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1). 7 cr79

Komentar