Pemkab Sumedang Belajar Pertanian Organik ke Desa Kukuh
TABANAN,NusaBali - Pemkab Sumedang, Jawa Barat, belajar pertanian organik ke Subak Jaka, Desa Kukuh, Kecamatan Marga, Tabanan, Selasa (23/7). Rombongan Pemkab ini dipimpin Kabag Kerja Sama Setda Sumedang Dr Asep Dadang Darmawan SPd MPd.
Turut mendampingi Kepala Desa Cikurubuk Muhamad Fadar Junawar, akademisi Universitas Widyatama, gabungan kelompok tani (gapoktan), dan sejumlah pejabat Pemkab Sumedang. Rombongan ke Desa Kukuh diantar Kadis Pertanian Tabanan, Made Subagia.
Ketua Gapoktan Yoyo Rahya mengatakan, Desa Cikurubuk menerapkan pertanian organik di lahan seluas 30 hektare. Pertanian organik di Desa Cikurubuk mendapatkan pendampingan dari Universitas Widyatama. Dia menanyakan standar pemupukan yang tepat untuk pertanian organik dan cara pengendalian hama. “Dengan pertanian organik, anakan padi tidak banyak. Bagaimana dengan di Subak Jaka?” tanya Yoyo Rahya. Sementara Kades Muhamad Fadar Junawar menanyakan pemasaran padi maupun beras organik.
Pekaseh Subak Jaka, Ir I Wayan Yusa mengatakan memulai pertanian ramah lingkungan sejak tahun 2016. Pertanian ramah lingkungan yakni menerapkan pola-pola organik. Berkat konsisten menerapkan pertanian ramah lingkungan selama tiga tahun tanpa putus akhirnya berhak mengajukan sertifikat organik. Pada tahun 2019, Subak Jaka mendapatkan sertifikat organik dari Lessos untuk lahan seluas 10 hektare. Pemupukan dengan membuat sendiri, baik pupuk padat maupun pupuk cair. Petani diajarkan membuat pupuk oleh Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali. Ada pun bahan baku pupuk padat yakni kotoran sapi, cocopeat, sekam, dan arang. Pupuk cair dengan urine sapi, daun lamtoro, buah maja, kedelai, dan buah labu.
Namun, saat ini tidak lagi memproduksi pupuk karena gencarnya bantuan pupuk organik bersubsidi dari Pemprov Bali. Penggunaan pupuk sebanyak 25 Kg untuk lahan 1 are (100 meter persegi). Pengendalian hama dilakukan 7 hari sekali. Rata-rata hasil panen 6 ton per hektare. Tidak banyak dibandingkan hasil panen padi konvensional. Namun harga beli gabah pertanian organik lebih tinggi yakni Rp. 8.500/Kg. Menurut Jro Mangku Yusa – nama panggilan I Wayan Yusa – anakan padi organik memang sedikit. Justru anakan sedikit tumbuh menjadikan tanaman lebih subur karena banyak menyerap makanan. Menetralisir air agar tak tercemar bahan kimia dari aliran air di sawah, petani menempatkan enceng gondok di hulu saluran air.
Jro Mangku Yusa mengakui masih mengalami kendala dalam pemasaran. Saat ini pemasaran masih door to door dan menjalin kemitraan dengan pemerhati pertanian organik. Musim tanam yang lalu bekerja sama dengan pemerhati pertanian dari India dan Jerman. Mereka membeli hasil panen di luasan 2 hektare dengan harga gabah Rp. 8.500 per Kg. Dari luasan lahan dan hasil gabah, petani mendapatkan hasil 9 ton lebih dengan penjualan Rp 80,9 juta. Musim tanam saat ini juga bekerja sama dengan pemerhati pertanian organik dari Jerman dan India.
Perbekel Desa Kukuh I Made Sugianto mengatakan pemerintah desa membantu mencarikan pasar, namun hasilnya belum maksimal. Dia salut karena petani bertahan dengan pertanian organik walaupun belum menemukan pasar. Kepemilikan lahan petani tidak begitu luas. Hasil panen cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. “Mereka punya prinsip dapat sehat karena makan beras organik,” ungkap Sugianto. Prinsip itulah yang membuat petani bertahan dengan pertanian organik.7k21
Komentar