Menimbang Ruang Khusus Layang-layang
Petani Bali di masa lalu menerbangkan layang-layang seperti pecukan, bebean, atau janggan. Semua ini sebagai wujud syukur atas berkah panen yang dianugerahkan Dewa Kemakmuran.
DENPASAR, NusaBali
Insiden jatuhnya helikopter akibat terlilit tali layangan di sekitar Pantai Suluban, Desa Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan, Badung, 19 Juli 2024 lalu, masih hangat dibahas masyarakat hingga kini. Satpol PP Kabupaten Badung pun beberapa kali masih patroli menurunkan layang-layang yang naik di sekitar Kuta Selatan.
Pro kontra menyikapi insiden jatuhnya helikopter tentunya ada. Tradisi malayangan sudah ada di Bali jauh sebelum helikopter berseliweran di udara Pulau Dewata. Layang-layang menjadi simbol dewa kemakmuran atau Sang Hyang Rare Angon. Petani Bali di masa lalu menerbangkan layang-layang seperti pecukan, bebean, atau janggan. Semua ini sebagai wujud syukur atas berkah panen yang dianugerahkan Dewa Kemakmuran.
Pesatnya pertumbuhan industri pariwisata di Bali, kemudian menjanjikan keuntungan bagi jasa transportasi udara. Sejumlah operator helikopter kini menyewakan jasa berwisata dengan helikopter.
Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2000 tentang Larangan Menaikkan Layang-layang dan Permainan Sejenis Di Bandara Udara Ngurah Rai dan Sekitarnya merupakan payung hukum agar kegiatan penerbangan di Bali bisa sejalan dengan tradisi malayangan masyarakat Bali. Pemerintah pun menyatakan bahwa lokasi kejadian helikopter yang jatuh berada pada radius larangan bermain layang-layang sesuai Perda Nomor Tahun 2000.
Dalam Perda Nomor 9 Tahun 2000 Pasal 2 ayat 1 menyebutkan larangan menaikkan layang-layang dan permainan sejenis di wilayah dalam radius 5 mil laut atau 9 kilometer dari bandar udara. Selanjutnya dalam ayat 2 disebutkan dilarang menaikkan layang-layang dan permainan sejenis di wilayah di antara radius 5 mil laut atau 9 kilometer sampai dengan 10 mil laut atau 18 kilometer dengan ketinggian melebihi 100 meter atau 300 kaki.
Di ayat 3 menyebutkan dilarang menaikkan layang-layang dan permainan sejenis di wilayah di antara radius 10 mil laut atau 18 kilometer sampai dengan 30 mil laut atau 54 kilometer dengan ketinggian melebihi 300 meter atau 1000 kaki.
Namun demikian, saat Perda Nomor 9 Tahun 2000 tersebut ketok palu belum ada wisata helikopter di Bali.
Ketua Harian Persatuan Layang-layang Indonesia (Pelangi) Provinsi Bali I Kadek Dwi Armika, mengatakan kondisi lingkungan Bali kini sudah jauh berbeda sehingga tradisi malayangan sudah tidak bisa dilakukan sama seperti sebelumnya.
Dia sepakat, pemain layang-layang di Bali, apalagi layang-layang dengan ukuran besar, tidak bisa lagi memainkan layang-layangnya di sembarang tempat.
Untuk itu peran ruang khusus untuk menaikkan layang-layang sangat penting disediakan di Bali untuk menampung animo besar masyarakat Bali bermain layang-layang.
Menurutnya, lokasi festival layang-layang seperti di Pantai Padanggalak dan Pantai Mertasari, keduanya di kawasan Sanur, sejatinya kurang representatif.
Lokasi lomba di Padang Galak sebagian besar adalah lahan pribadi yang sudah mulai dibangun. Pelaksanaan event lomba di sana menjadi ada biaya ganti rugi lahan pertanian produktif dan lahan yang beberapa bangunan beratap genteng.
Lapangan Pantai Mertasari sebagai stockpile pasir pesisir selatan Bali tahun lalu diambil untuk penambahan pasir di beberapa pantai sehingga menyisakan kubangan besar, syukur sebagian besar sudah diratakan oleh Pemerintah Kota Denpasar agar setidaknya bisa dipakai bermain layang layang.
“Pemerintah Bali hendaknya segera membuka ruang terbuka untuk bisa dipakai bermain layang-layang, untuk lomba layang-layang Bali ukuran besar. Sekiranya di lahan Pusat Kebudayaan Bali Gunaksa agar segera diberikan zona luas berkecukupan untuk layang-layang,” ujar Armika yang sempat beberapa kali mengikuti festival layang-layang di luar negeri.
Menurut Armika, selain mengawasi layang-layang yang menghiasi langit Bali, pemerintah juga mesti mengamati lalu lintas helikopter yang mulai ramai dalam beberapa tahun terakhir. Armika berujar, bahwa keberadaan helikopter di Bali kerap terlihat terbang rendah. Bukan hanya warga sekitar yang mengeluh dengan suara keras, wisatawan yang tengah menikmati liburan juga mulai tidak nyaman dengan suara helikopter yang kerap lewat.
Sementara itu, pengamat tata ruang Prof Dr Putu Rumawan Salain mengatakan malayangan merupakan salah satu tradisi Bali yang bukan sekadar permainan namun memiliki filosofi tersendiri. Namun demikian malayangan kini perlu mengikuti aturan agar sesuai dengan perubahan ruang dan waktu.
“Layang-layang tidak dilarang, tapi diatur, dikelola,” ucap Prof Rumawan.
Festival layang-layang, kata Prof Rumawan, merupakan wadah yang tepat bagi para rare angon mengekspresikan dirinya, selain sebagai perputaran ekonomi dengan keterlibatan banyak pihak termasuk pelaku UMKM.
Lanjutnya, Perda Nomor 9 Tahun 2000 tentu saja dapat direvisi jika tidak lagi relevan dengan situasi kekinian. Ia melihat perkembangan transportasi udara di Bali kini tidak hanya berupa pesawat tapi ada armada berbaling-baling seperti helikopter. Bahkan, dengan perkembangan pariwisata Bali, tidak menutup kemungkinan adanya taksi udara (air taxi) di masa depan.
“Perda itu bisa ditinjau minimum setiap 5 tahun dievaluasi. Kalau dipandang perlu diremajakan, pasti dengan pertimbangan-pertimbangan,” ujar Prof Rumawan.
Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Bali Dewa Made Indra sebelumnya juga mengungkapkan, bahwa Perda Nomor 9 Tahun 2000 sudah cukup lama ditetapkan, sehingga sangat terbuka untuk direvisi.
Pemerintah Provinsi Bali telah membentuk Satgas guna merespons kecelakaan helikopter yang baling-balingnya terlilit tali layangan.
“Nanti satgas ini yang akan menyusun daftar inventarisir masalah. Daftar masalah itu menginventarisir persoalan-persoalan di lapangan. Kalau Perda Nomor 9 Tahun 2000, yang sudah cukup lama, dipandang tidak sesuai lagi dengan regulasi dan perkembangan saat ini tentu juga bisa ditinjau,” ujar Sekda Dewa Indra. 7a
1
Komentar