Sempat Punah, Tari Leko Bangkit Kembali
Komunitas Seni Padma Bundharam telah menampilkan tarian warisan leluhur Tabanan, yakni Kesenian Leko, saat acara Bali Mandara Mahalango IV di kalangan Ratna Kanda, Taman Budaya Bali, Senin (13/8).
DENPASAR, NusaBali
Tarian ini merupakan seni hiburan balih-balihan. Biasanya dipakai upacara Manusa Yadnya. “Kesenian Leko ini biasanya dipersembahkan untuk orang-orang yang sudah mempersembahkan sesangi (sesajen, red), juga hiburan seperti ini,” kata I Nyoman Harta, 45, pembina Komunitas Seni Padma Bundharam, sekaligus koordinator lapangan.
Selain Kesenian Leko, komunitas ini juga menampilkan Tari Gabor, Tari Adrah, Tari Jauk Manis, Tari Bungan Sandat Serasi (Tari maskot Tabanan), Tabuh Condong Melayu, dan Tabuh Lasem.
“Di sini satu penari berperan sebagai Prabu Lasem, dan penari lainnya sebagai putri Daha Dyang Rangkesari yang telah dijodohkan dengan Raja Koripan. Sehingga terjadilah perang. Uniknya, tabuhnya ini lebih tinggi dari pada gong kebyar,” terang Harta.
Lanjut Harta, Seni Leko Tunjuk ini pernah mengalami pasang surut karena situasi zaman. Namun sejak tahun 1957, seni ini kembali dibangkitkan lagi oleh seniman tari dan tabuh desa Tunjuk Kelod. Hingga seni ini masih hidup berkembang dan bertahan sampai sekarang. Termasuk komunitas yang terbentuk sejak 11 September 2016 lalu ini.
Mereka mempertahankan seni tersebut. Termasuk menampung berbagai kalangan seniman yang ingin turut berpartisipasi menunjukkan kiprahnya. “Siapapun yang senang dengan seni dan memang memiliki niat untuk seni, kami bersama-sama berkecimpung dan mengembangkan diri di seni, istilah Bali-nya ngisiang bayun timpal (mempertahankan keniatan teman)” ungkap I Putu Ardi Dharma Putra, 28, Ketua Komunitas Seni Padma Bundharam.
I Wayan Kurna, 59, penonton asal Denpasar menilai jika cerita dalam pementasan ini ada yang dipotong. Ia menduga bagian cerita yang hilang itu karena keterbatasan waktu pementasan. “Seniman itu biasanya berhias berjam-jam lebih awal, juga ada latihan sebelumnya, tapi dibatasi dengan durasi. Kadang cerita jadi tidak nyambung karena harus dipotong,” kritiknya.
Sementara itu di Kalangan Madya Mandala, Komunitas Seni SMKN 3 Sukawati, Gianyar mementaskan Tari dan Tabuh Kreasi dengan lakon Siwa Saraba serta Kicantaka. Siwa Saraba ini mengisahkan tentang sikap Wisnu yang berawatra menjadi Nara Singa, mengalami lepas control. Sehingga membuat bumi bergejolak, dan dunia akan hancur oleh kekuatan Nara Singa.
Siwa lantas mengutus Vira Badrha untuk mengalahkan Narasima. Sang Dewa Siwa ini lalu memunculkan Sikap Yoga dengan Siwanataranya, menyerap energi cinta kasih. Dewa Siwa pun menyatukan diri dengan Dewi Parwati dan Berawata menjadi Sraba Awatara supaya bisa menaklukkan kezaliman Nara Singa sebagai awatara Wisnu di muka bumi.
Sedangkan Kicantaka mengisahkan tentang seorang senapari Virata bernama Kicaka yang memperebutkan Drupadi dengan Pandawa. Pementasan yang dibina oleh I Kadek Sumariyasa ini berhasil meramaikan para penonton, yang didominasi oleh kalangan muda. *in
Tarian ini merupakan seni hiburan balih-balihan. Biasanya dipakai upacara Manusa Yadnya. “Kesenian Leko ini biasanya dipersembahkan untuk orang-orang yang sudah mempersembahkan sesangi (sesajen, red), juga hiburan seperti ini,” kata I Nyoman Harta, 45, pembina Komunitas Seni Padma Bundharam, sekaligus koordinator lapangan.
Selain Kesenian Leko, komunitas ini juga menampilkan Tari Gabor, Tari Adrah, Tari Jauk Manis, Tari Bungan Sandat Serasi (Tari maskot Tabanan), Tabuh Condong Melayu, dan Tabuh Lasem.
“Di sini satu penari berperan sebagai Prabu Lasem, dan penari lainnya sebagai putri Daha Dyang Rangkesari yang telah dijodohkan dengan Raja Koripan. Sehingga terjadilah perang. Uniknya, tabuhnya ini lebih tinggi dari pada gong kebyar,” terang Harta.
Lanjut Harta, Seni Leko Tunjuk ini pernah mengalami pasang surut karena situasi zaman. Namun sejak tahun 1957, seni ini kembali dibangkitkan lagi oleh seniman tari dan tabuh desa Tunjuk Kelod. Hingga seni ini masih hidup berkembang dan bertahan sampai sekarang. Termasuk komunitas yang terbentuk sejak 11 September 2016 lalu ini.
Mereka mempertahankan seni tersebut. Termasuk menampung berbagai kalangan seniman yang ingin turut berpartisipasi menunjukkan kiprahnya. “Siapapun yang senang dengan seni dan memang memiliki niat untuk seni, kami bersama-sama berkecimpung dan mengembangkan diri di seni, istilah Bali-nya ngisiang bayun timpal (mempertahankan keniatan teman)” ungkap I Putu Ardi Dharma Putra, 28, Ketua Komunitas Seni Padma Bundharam.
I Wayan Kurna, 59, penonton asal Denpasar menilai jika cerita dalam pementasan ini ada yang dipotong. Ia menduga bagian cerita yang hilang itu karena keterbatasan waktu pementasan. “Seniman itu biasanya berhias berjam-jam lebih awal, juga ada latihan sebelumnya, tapi dibatasi dengan durasi. Kadang cerita jadi tidak nyambung karena harus dipotong,” kritiknya.
Sementara itu di Kalangan Madya Mandala, Komunitas Seni SMKN 3 Sukawati, Gianyar mementaskan Tari dan Tabuh Kreasi dengan lakon Siwa Saraba serta Kicantaka. Siwa Saraba ini mengisahkan tentang sikap Wisnu yang berawatra menjadi Nara Singa, mengalami lepas control. Sehingga membuat bumi bergejolak, dan dunia akan hancur oleh kekuatan Nara Singa.
Siwa lantas mengutus Vira Badrha untuk mengalahkan Narasima. Sang Dewa Siwa ini lalu memunculkan Sikap Yoga dengan Siwanataranya, menyerap energi cinta kasih. Dewa Siwa pun menyatukan diri dengan Dewi Parwati dan Berawata menjadi Sraba Awatara supaya bisa menaklukkan kezaliman Nara Singa sebagai awatara Wisnu di muka bumi.
Sedangkan Kicantaka mengisahkan tentang seorang senapari Virata bernama Kicaka yang memperebutkan Drupadi dengan Pandawa. Pementasan yang dibina oleh I Kadek Sumariyasa ini berhasil meramaikan para penonton, yang didominasi oleh kalangan muda. *in
Komentar