MUTIARA WEDA: Bully-an dan Rangkulan
Dambho darpo'bhimānaśca krodhaḥ pāruṣyameva ca, yānyadāste tu dharmena mohaīrvinivartate. (Bhagavad-gita, 16.3)
Kemunafikan, kesombongan, kebanggaan, kemarahan, kekerasan, dan kekasaran adalah sifat-sifat orang yang lahir dengan sifat demoniak.
ITULAH sifat raksasa yang digambarkan. Sebaliknya, manusia juga memiliki sifat dewa, seperti kekuatan, kemurahan hati, ketahanan, kesucian, bebas dari permusuhan, dan ketiadaan kesombongan (BG, 16.2). Biasanya, sifat kedewataan itu selalu ditampilkan di luar. Orang berupaya kelihatan baik, murah hati, suci, dan seterusnya di hadapan orang lain. Sifat kedewataan adalah cover luar yang dipamerkan. Semakin tipis sifat kedewataan yang dimiliki, upaya untuk tampil baik semakin besar. Penilaian orang lain menjadi matter banget. Namun, ketika situasi over dosis, tidak mampu dimanage-nya, keraksasaannya pun tampil.
Sebaliknya, jika sifat kedewataan semakin dominan, semakin sedikit dia memerlukan penilaian orang lain. Tampak baik atau tidak di mata orang lain semakin tidak menjadi persoalan. Dia semakin mengerti bahwa penilaian orang sesuai dengan cermin yang ada di dalam. Orang dengan sifat dominan raksasa cenderung lebih expert melihat kesalahan, keburukan, kejelekan, dan kelemahan orang lain. Dirinya adalah cermin. Semakin dominan sifat kedewataan, kemampuan untuk melihat situasi orang akan semakin tumpul. Persepsi atau argument terhadap orang lain semakin mendekati nol.
Lalu bagaimana dengan para kritikus, para ‘warrior pemegang kebenaran’ yang mampu melihat dengan terang kesalahan orang lain terutama kesalahan pemimpin atau pemegang kekuasaan? Apakah orang ini melihat dari kacamata keraksasaan dirinya sendiri atau tidak? Jika mengkritik berkaitan dengan mata pencahariannya (profesi), kebenaran bukanlah concernnya. Yang terpenting adalah bagaimana sebuah kesalahan bisa secara logis atau make sense ditimpakan ke orang lain (terutama pemimpin), dan dari itu mereka dapat cuan. Atau ada orang yang memang sukanya mengkritik orang lain karena mendapatkan kesenangan dari itu. Lalu, apakah mungkin melihat kesalahan orang lain dari sifat kedewataan?
Rasanya memungkinkan, meskipun kecil. Mengapa? Karena yang namanya kritikan sebagian besar berupa sumpah serapah. Kritik dari sifat kedewataan bukan seperti itu. Intention kritikan dewata adalah solusi. Dia tidak melihat kesalahan pada orang itu. Dia hanya merespons situasi yang timbul dari tindakan yang keliru. Kritik kedewataan adalah tawaran solusi yang dengan penuh keberanian disampaikan ke orang itu secara langsung dengan tidak memiliki sedikitpun argumentasi buruk terhadapnya. Biasanya, ketika orang atau teman memiliki kesalahan atau keburukan, kita sibuk membicarakannya pada orang lain. Jangankan menawarkan solusi perbaikan, berani langsung ngomong di depannya langsung pun tidak. Dari caranya menilai orang lain, kualitas orang itu bisa diketahui, apakah dewa atau raksasa.
Bagi orang dengan sifat dominan raksasa, dirinya sibuk agar selalu tampil baik dan berupaya menepis semua penilaian negatif kepadanya. Orang dengan sifat ini menganggap atau berpikir bahwa bully-an datang dari mana saja. Bahkan, angin berhembus pun dianggap bully-an baginya. Sehingga, kemanapun dirinya pergi, dengan siapapun berhadapan, dia selalu siap dengan persenjataan lengkap untuk menangkis bahkan menyerang jika memungkinkan. Dia menganggap orang lain menyerang dirinya sehingga persiapan menyerang balik adalah penting. Apa yang biasanya disampaikan orang ini kepada teman yang ditemuinya?
Pertama, biasanya dia akan membeberkan kebaikan, keunggulan, dan prestasi dirinya. Orang yang berharap mendapat tanggapan positif dari orang lain akan selalu memamerkan kebaikan dan keunggulan dirinya. Dirinya senang ada orang yang lain mendengar itu. Semua yang melekat pada dirinya penuh dengan kebaikan dan keunggulan. Kedua, setelah mengunggulkan dirinya, dia langsung merendahkan orang lain. Si A orangnya jelek, si B orangnya membosankan, si C orangnya suka selingkuh, dan seterusnya. Dia akan me-list keburukan orang satu per satu. Terakhir, untuk mengamankan dirinya, dia pun memuji orang yang diajaknya ngomong, meskipun menurutnya orang yang diajak ngomong itupun buruk. Bahkan orang ini, karena saking terlatihnya, mampu mem-bully orang lain dengan cara memuji. Pujian yang dilontarkan adalah bully-an. Skill ini dimiliki oleh orang-orang di sekitar kita, atau mungkin diri kita sendiri seperti itu. Namun, jika sifat kedewataan yang dominan, bully-an akan terasa seperti rangkulan. Sebaliknya, jika sifat raksasa dominan, rangkulan pun terasa seperti bully-an. 7
I Gede Suwantana
Direktur Bali Vedanta Institute
1
Komentar