MUTIARA WEDA: Memahami Cara Berpikir Monis dan Dualis
Dehino'smin yatha dehe kaumaram yauvanam jara tatha dehantarapraptir dhiras tatra na muhyati. (Bhagavad-gita, 2.13)
Sebagaimana jiwa di dalam tubuh ini mengalami perubahan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dan kemudian ke masa tua, demikian pula jiwa itu mengalami perubahan dari tubuh yang satu ke tubuh yang lain; orang yang bijaksana tidak bingung oleh hal ini.
APA maksudnya ‘jiwa mengalami perubahan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa’? Apakah jiwa bisa berubah-ubah? Pada kesempatan lain Krishna menyatakan bahwa jiwa itu abadi, tidak terlahirkan, dan seterusnya. Bagaimana kita memahaminya? Untuk sementara mari kita bedakan terminologi antara ‘atman’ dan ‘jiwa’. Atman bisa diartikan kesadaran murni yang tak tersentuh. Sementara jiwa adalah atman yang telah terbungkus oleh selubung maya, yang telah terakses oleh tubuh, yang telah terkena oleh sifat-sifat prakrti. Dalam konteks di atas, jiwa yang dimaksudkan adalah atman yang berada di dalam diri, yang menjiwai tubuh yang menyebabkan tubuh memiliki kesadaran.
Dari konteks ini bisa dikatakan bahwa jiwa berkorelasi dengan pikiran, dan bahkan menurut teks-teks tantra (Siva sutra) pikiran itu sendiri adalah jiva (cittam atma), kesadaran Siva yang berada dalam tubuh itu adalah citta. Yang kita pahami adalah atma yang ada di dalam diri adalah citta (pikiran). Citta adalah jiwa. Dari stand point ini kita bisa melihat perbedaan itu. Citta inilah yang mengalami perubahan pada saat hidup sesuai dengan perkembangan umur. Pada saat bersamaan citta ini pulalah yang mengalami perubahan dari satu kelahiran ke kelahiran berikutnya. Bahkan citta ini pulalah yang dilatih dalam olah sadhana sehingga berkembang secara spiritual.
Jadi, perdebatan antara prinsip monis dan dualis berkisar di sini. Monisme melihat dari sisi atman yang murni sementara dualisme memandang jiwa sebagai bagian terdalam dari tubuh. Diri sejati itu tak ternodai, selalu murni. Diri sejati itu menyelimuti segalanya, tidak terlahirkan, abadi. Tidak ada apapun yang mampu mencapai-Nya, tidak bisa dipikirkan. Beliau tidak bisa digambarkan dalam bentuk wujud apapun, sebab segala bentuk yang ada memiliki keterbatasan, sementara beliau tak terbatas. Itu pandangan monis. Sementara pandangan dualis melihat bahwa jiwa itu mengalami dunia ini. Yang merasakan suka dan duka adalah jiwa. Jiwa mengalami perubahan seperti halnya uraian Bhagavad-gita di atas. Yang mengalami samsara, lahir ke dunia secara berulang adalah jiwa.
Dari kedua jenis prinsip ini, saat ditanya tentang bagaimana caranya agar kita terbebas dari derita, keduanya memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Monisme memandang bahwa Diri sejati itu selamanya tak tersentuh, sementara kita mengalami derita itu oleh karena maya, avidya, ketidakmampuan mengenal diri sebagai Sejatinya. Kita mengidentifikasi sebagai bagian dari tubuh, sementara tubuh ini berada dalam hukum dualitas, baik buruk, susah senang, dan seterusnya. Karena identitas inilah kita mengalami seperti yang terjadi dalam fenomena dualitas itu. Caranya agar bebas, tentu hanya dengan menyadari diri bahwa identitas sejati kita bukan tubuh, tetapi atman. Hanya dengan mengetahui bahwa diri kita adalah atman dan bukan tubuh, adalah satu-satunya cara. Ini kemudian disebut dengan metode Jnana.
Sementara itu, tradisi dualis memandang bahwa penderitaan itu hadir oleh karena jiwa larut dalam dunia maya ini. Jiwa tidak memiliki kekuatan untuk melawan itu, sehingga peran Tuhan sangat dominan. Agar orang mampu mengatasi maya ini, anugerah Tuhan menjadi kunci. Tanpa campur tangan Beliau, kebahagiaan abadi itu mustahil diraih. Hanya karena anugerah Tuhan lah orang menikmati kebaikan, kebahagiaan di dunia ini. Oleh karena itu, bhakti adalah satu-satunya cara. Menyerahkan diri secara penuh kepada-Nya lah satu satunya harapan. Kita harus melakukan bhakti tanpa pamrih sehingga Tuhan terketuk untuk memberikan anugerah.
Ketika ditanya, yang mana benar? Tentu keduanya. Mengapa? Karena pada intinya adalah kebahagiaan. Baik dalam monis maupun dualis memandang bahwa Ananda itu adalah terminal akhir. Jika kita cocok dengan alur monis, maka itulah jalan yang tepat buat kita, sebaliknya jika kita cocok dengan penyerahan diri, kita berada di alur dualis. 7
I Gede Suwantana
Direktur Bali Vedanta Institute
Komentar