nusabali

Siasat Rare Batuan Menjaga Warisan

Pameran Rare Batuan - Kawitan Masa di Taman Budaya

  • www.nusabali.com-siasat-rare-batuan-menjaga-warisan

Wacana dan pasar di Indonesia lebih didominasi oleh ekspresi seni rupa modern. Lukisan yang dikerjakan dengan teknik Batuan seakan mandek di tempat, bahkan surut.

DENPASAR, NusaBali
Menghadirkan 40 lukisan hitam putih, Pameran Rare Batuan - Kawitan Masa Depan berlangsung pada 25 Agustus hingga 2 September 2024 di Gedung Kriya, Taman Budaya Provinsi Bali. Pameran seni rupa gaya Batuan kali ini, memiliki arti tersendiri. Bukan semata mengingatkan keberadaan Desa Batuan, Kecamatan Sukawati, Gianyar, yang telah lebih dari Sahasra Warsa atau 1.000 tahun, melainkan mewartakan pula suatu capaian kreativitas lintas generasi yang mengagumkan.

Seluruh lukisan buah cipta anak-anak dan remaja (are) dari desa sohor ini. Mereka rata-rata berusia 8-17 tahun. Para seniman cilik (rare) yang menekuni seni lukis tradisi gaya Batuan. Bukan semata tengah mengembangkan minat dan bakatnya, akan tetapi mencerminkan adanya ketetapan hati mereka untuk menjadikan seni bagian dari keseharian, sebuah upaya penemuan diri.

Kurator pameran Warih Wisatsana menjelaskan Bentara Budaya Bali bekerja sama dengan Perkumpulan Pelukis Baturulangun Batuan mengadakan pameran ini sebagai sebuah pengharapan bahwa anak-anak dari Batuan ini senantiasa menjunjung keluhuran warisan karya dari para pendahulu. 

“Melalui karya-karya pameran hitam putih para rare ini segera mengemuka semangat untuk melacak jejak estetik stilistik warisan pendahulu,” ujarnya.

Walau tidak sepenuhnya merunut teknik seni lukis Batuan secara ketat, para pelukis kanak kali ini, berdasarkan tampilan karya juga pengakuan mereka, telah berusaha memenuhi tahapan penciptaan, mulai dari ngorten (membuat sketsa dengan pensil), lalu nyawi (menegaskan garis dengan tinta cina), selanjutnya ngucak (memberi efek jauh-dekat dan terang gelap), menyunin (memberi kesan berisi), serta secara tekun memberi ornamen pilihan yang mempribadi sejalan luapan imajinasi masing-masing.

Menariknya, karya seniman-seniman rare ini, justru menyiratkan keleluasaan menorehkan sapuan warna hitam putih maupun sewaktu menggores garis merunut narasi yang hendak dijadikan subject matter atau tematik pokok. Mereka terkesan mengekspresikan 

segalanya tanpa beban, antara warna, garis, rupa, pilihan ikonik jalin menjalin dalam kesatuan bentuk alami, meniscayakan hadirnya sebuah dunia rekaan. Paduan antara realita keseharian dan imajinasi yang bermula pada lingkungan sekitar yang dihayati.

Dunia keseharian seperti laut, sawah, perkotaan diekspresikan dengan leluasa oleh para rare ini. Ada pula yang menggambarkan sosok-sosok ikonik era kini seperti Pokemon dan Naruto, maupun sosok imajinatif atau dari wiracarita.

Menurut Warih, karya-karya para seniman cilik ini menghadirkan berbagai ekspresi kebersamaan, keragaman imajinasi, juga interpretasi tentang nilai-nilai kepahlawanan, sosok panutan atau sumber inspirasi.

Di sisi lain, walau ungkapan rupa tematik alam dan lingkungan itu divisualisasikan secara bersahaja, namun menyarankan pesan kepedulian yang mengesankan. Sebentuk siratan keprihatinan sebagai seruan kesadaran ekologis yang mengundang renungan mendalam.

Warih mengatakan, bukan tanpa sebab tajuk Pameran Rare Batuan - Kawitan Masa Depan dipilih dalam pameran ini. Kawitan berasal dari kata sanskerta Wit, yang berarti mula asal atau leluhur, merujuk titi waktu atau sesuatu yang lampau. Sedangkan Masa Depan seketika memberikan gambaran tentang pengharapan akan esok atau mendatang yang lebih cemerlang.


Ada pun padanan kata rare dalam pengertian bahasa Indonesia adalah anak, membawa asosiasi kita pada kepolosan dan keluguan, serta sebuah dunia murni yang penuh dengan keriangan. Rare juga mengingatkan kita pada mitologi yang mewarnai kehidupan sosial kultural masyarakat Bali hingga kini, yakni rare angon, harfiah maknawinya adalah anak gembala, dipercaya merupakan manifestasi Dewa Siwa.

Pameran Kawitan Masa Depan, hakikatnya dapat dibaca dan diapresiasi sebagai perayaan kebersamaan lintas generasi. Sejarah dan warisan nilai leluhur tidak berhenti sebagai artefak atau arsip ingatan, melainkan diwujudkan dalam luapan energi penciptaan. Bukan hanya ‘Ada’ tapi juga ‘Mengada’, hadir terjaga senantiasa.

“Masa lalu dan pengharapan masa depan bereinkarnasi menjadi sesuatu (karya) yang menyekarang,” kata Warih.

Tradisi seni lukis dari Desa Batuan memiliki sejarah panjang. Komunitas ini mulai populer pada tahun 1930-an, ketika antropolog Amerika Serikat, Margaret Mead (1901-1978) dan antropolog Inggris Gregory Bateson (1904-1980) menemukan anak-anak di desa itu pintar menggambar cerita rakyat.

Lukisan Batuan memiliki kekhasan tersendiri dibandingkan lukisan dari daerah-daerah lain di Bali. Tema lukisan lazim mengangkat kisah tradisi yang dituturkan turun-temurun dari generasi ke generasi di daerah itu. Ada kisah Mahabharata, Ramayana, Rajapala, Tantri, atau Calonarang.

Namun, seiring berjalan waktu, lukisan Batuan juga mengalami masa-masa surut. Suatu ketika, warisan tradisi ini sempat dikhawatirkan hampir hilang. Wacana dan pasar di Indonesia lebih didominasi oleh ekspresi seni rupa modern. Lukisan yang dikerjakan dengan teknik Batuan

seakan mandek di tempat, bahkan surut. Untunglah, muncul berbagai usaha dari para pecinta seni budaya untuk mempertahankan tradisi Batuan.

Salah satunya, pada tahun 2012, terbentuk komunitas Baturulangun Batuan yang menghimpun para seniman tradisional yang tersisa dan menyemangati mereka untuk terus bertahan dan melanjutkan kekayaan seni rakyat Bali ini. Mereka berusaha mengenalkan tradisi tersebut kepada generasi muda.

“Semangat revitalisasi lukisan Batuan mendorong Bentara Budaya Bali, Perkumpulan Pelukis Baturulangun Batuan, dan Taman Budaya Provinsi Bali bekerja sama untuk menggelar pameran Kawitan Masa Depan,” kata General Manager Bentara Budaya Ilham Khoiri.7a

Komentar