MUTIARA WEDA : Tidak Beruntung
Orang yang kurang beruntung menolak sesuatu yang telah ada di tangannya.
Upanatamavadhirayantyabhavyāh
(Bharavi, Kiratarjuniyam)
Kiratarjuniya adalah Kavya Sanskrit karya Bharavi yang mengisahkan pertempuran antara Arjuna dan Shiva (dalam wujud Kirata – pengembara hutan) di gunung Indrakila. Arjuna melakukan tapa keras memohon kepada Shiva agar dianugerahi senjata Pasupati Sastra yang nantinya digunakan untuk melawan Jayadrata dan para Kaurava di medan perang Kurukshetra. Puas dengan tapa yang dilakukan Arjuna, Shiva muncul untuk mengujinya. Arjuna dan Kirata melesatkan panah secara bersamaan ke arah babi hutan yang hendak dibunuhnya. Mereka adu mulut mengenai siapa yang menembakkan panah terlebih dahulu. Akhirnya mereka bertempur. Tidak ada yang kalah dan menang dalam pertempuran tersebut. Lambat laun, Arjuna sadar kalau yang dihadapinya adalah Shiva sendiri, lalu bersujud mohon ampun. Shiva pun menganugerahi senjata sakti pasupati tersebut.
Terlepas dari cerita tersebut, tulisan ini akan mencoba membahas satu kutipan indah yang ditulis oleh pengarang sendiri yang setidaknya bisa dijadikan renungan. Bharavi menulis kutipan tentang mereka yang kurang beruntung. Baginya, setiap orang yang lahir telah membawa rejekinya masing-masing. Setiap orang adalah unik dan sempurna di dalam dirinya. Setiap kelahiran pasti memiliki alasan dibaliknya. Mengenali diri sendiri adalah hal terbaik dalam hidup. Untuk apa mengenali diri? Agar kita tahu kekuatan dan properti apa yang mengikuti kelahiran kita, bagaimana menggunakan kekuatan dan properti tersebut untuk mencapai tujuan, dan yang lainnya. Dengan mengenal itu, artinya hidup kita telah beruntung.
Namun, ada sebagian orang yang kelahirannya tidak beruntung. Definisi orang tidak beruntung menurut Bharavi sungguh indah. Dia mengatakan bahwa orang yang tidak beruntung adalah mereka yang tidak perhatian terhadap sesuatu yang telah ada di genggamannya. Emas sudah ada di tangannya tetapi ia membuangnya. Kekayaan sudah ada mengelilinginya, tetapi ia tidak perhatian padanya. Yang lebih parah lagi, ia sudah berdiri di pinggir telaga tetapi menangis kehausan. Atau seperti ikan yang berenang kesana kemari tetapi tidak tahu tentang air. Orang seperti ini sungguh tidak beruntung dan perlu simpati.
Mengapa ada banyak orang seperti itu? Karena ia senantiasa menginginkan lebih dari sesuatu yang telah menjadi miliknya. Banyak orang berprasangka bahwa memiliki barang sebagaimana orang lain miliki akan mendatangkan kebahagiaan, sehingga ia tidak menikmati apa yang telah ada di tangannya. Ia ingin menikmati sesuatu yang ada di tangan orang lain. Oleh karena barang yang diinginkan ada di tangan orang lain, makanya dia merasa menderita. Untuk menghilangkan penderitaan tersebut ia harus berjuang untuk mendapatkannya. Setelah mendapatkan barang tersebut, ia merasa senang untuk sementara, namun segera ketika ada barang lain yang lebih yang dimiliki oleh orang lainnya lagi, kembali ia menderita.
Jadi orang yang tidak beruntung tidak hanya disematkan kepada mereka yang tidak mendapat kesempatan menikmati kehidupan secara layak, melainkan juga kepada mereka yang mengesampingkan apa yang telah menjadi bagiannya. Kehidupan warnasrama dharma sebelum berubah menjadi sistem kasta sebenarnya jawaban yang sesuai terhadap mereka yang merasa tidak beruntung. Memahami dimana posisi kita sebagai akibat dari karma kelahiran adalah langkah awal, sehingga dengan memahami itu, properti yang berhubungan dengan itu juga secara otomatis dikenali. Tidak menginginkan properti yang bukan menjadi miliknya adalah orang beruntung.
Oleh karena itu, ukuran beruntung dan tidak beruntung tidak ditentukan oleh capaian hasil kerja atau nasib baik, atau perolehan kekayaan. Semua ini hanyalah efek samping dari pemahaman atas warna diri kita. Dengan warna yang dimiliki, kita menjalankan dharma. Sebagai konsekuensinya, hasil yang berhubungan dari menjalankan dharma akan datang dengan sendirinya. Jadi beruntung dan tidak beruntung ditentukan dari pemahaman atas properti diri kita sendiri. Ialah yang senantiasa di tangan kita dan dengan properti itu, sesuatu yang sekunder akan hadir. Inilah keberuntungan.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
(Bharavi, Kiratarjuniyam)
Kiratarjuniya adalah Kavya Sanskrit karya Bharavi yang mengisahkan pertempuran antara Arjuna dan Shiva (dalam wujud Kirata – pengembara hutan) di gunung Indrakila. Arjuna melakukan tapa keras memohon kepada Shiva agar dianugerahi senjata Pasupati Sastra yang nantinya digunakan untuk melawan Jayadrata dan para Kaurava di medan perang Kurukshetra. Puas dengan tapa yang dilakukan Arjuna, Shiva muncul untuk mengujinya. Arjuna dan Kirata melesatkan panah secara bersamaan ke arah babi hutan yang hendak dibunuhnya. Mereka adu mulut mengenai siapa yang menembakkan panah terlebih dahulu. Akhirnya mereka bertempur. Tidak ada yang kalah dan menang dalam pertempuran tersebut. Lambat laun, Arjuna sadar kalau yang dihadapinya adalah Shiva sendiri, lalu bersujud mohon ampun. Shiva pun menganugerahi senjata sakti pasupati tersebut.
Terlepas dari cerita tersebut, tulisan ini akan mencoba membahas satu kutipan indah yang ditulis oleh pengarang sendiri yang setidaknya bisa dijadikan renungan. Bharavi menulis kutipan tentang mereka yang kurang beruntung. Baginya, setiap orang yang lahir telah membawa rejekinya masing-masing. Setiap orang adalah unik dan sempurna di dalam dirinya. Setiap kelahiran pasti memiliki alasan dibaliknya. Mengenali diri sendiri adalah hal terbaik dalam hidup. Untuk apa mengenali diri? Agar kita tahu kekuatan dan properti apa yang mengikuti kelahiran kita, bagaimana menggunakan kekuatan dan properti tersebut untuk mencapai tujuan, dan yang lainnya. Dengan mengenal itu, artinya hidup kita telah beruntung.
Namun, ada sebagian orang yang kelahirannya tidak beruntung. Definisi orang tidak beruntung menurut Bharavi sungguh indah. Dia mengatakan bahwa orang yang tidak beruntung adalah mereka yang tidak perhatian terhadap sesuatu yang telah ada di genggamannya. Emas sudah ada di tangannya tetapi ia membuangnya. Kekayaan sudah ada mengelilinginya, tetapi ia tidak perhatian padanya. Yang lebih parah lagi, ia sudah berdiri di pinggir telaga tetapi menangis kehausan. Atau seperti ikan yang berenang kesana kemari tetapi tidak tahu tentang air. Orang seperti ini sungguh tidak beruntung dan perlu simpati.
Mengapa ada banyak orang seperti itu? Karena ia senantiasa menginginkan lebih dari sesuatu yang telah menjadi miliknya. Banyak orang berprasangka bahwa memiliki barang sebagaimana orang lain miliki akan mendatangkan kebahagiaan, sehingga ia tidak menikmati apa yang telah ada di tangannya. Ia ingin menikmati sesuatu yang ada di tangan orang lain. Oleh karena barang yang diinginkan ada di tangan orang lain, makanya dia merasa menderita. Untuk menghilangkan penderitaan tersebut ia harus berjuang untuk mendapatkannya. Setelah mendapatkan barang tersebut, ia merasa senang untuk sementara, namun segera ketika ada barang lain yang lebih yang dimiliki oleh orang lainnya lagi, kembali ia menderita.
Jadi orang yang tidak beruntung tidak hanya disematkan kepada mereka yang tidak mendapat kesempatan menikmati kehidupan secara layak, melainkan juga kepada mereka yang mengesampingkan apa yang telah menjadi bagiannya. Kehidupan warnasrama dharma sebelum berubah menjadi sistem kasta sebenarnya jawaban yang sesuai terhadap mereka yang merasa tidak beruntung. Memahami dimana posisi kita sebagai akibat dari karma kelahiran adalah langkah awal, sehingga dengan memahami itu, properti yang berhubungan dengan itu juga secara otomatis dikenali. Tidak menginginkan properti yang bukan menjadi miliknya adalah orang beruntung.
Oleh karena itu, ukuran beruntung dan tidak beruntung tidak ditentukan oleh capaian hasil kerja atau nasib baik, atau perolehan kekayaan. Semua ini hanyalah efek samping dari pemahaman atas warna diri kita. Dengan warna yang dimiliki, kita menjalankan dharma. Sebagai konsekuensinya, hasil yang berhubungan dari menjalankan dharma akan datang dengan sendirinya. Jadi beruntung dan tidak beruntung ditentukan dari pemahaman atas properti diri kita sendiri. Ialah yang senantiasa di tangan kita dan dengan properti itu, sesuatu yang sekunder akan hadir. Inilah keberuntungan.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
1
Komentar