nusabali

Bendesa Adat Berawa Dituntut 6 Tahun Penjara atas Kasus Pemerasan Investor

  • www.nusabali.com-bendesa-adat-berawa-dituntut-6-tahun-penjara-atas-kasus-pemerasan-investor

DENPASAR, NusaBali.com – Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi Bali menuntut terdakwa I Ketut Riana, Bendesa Adat Berawa, Kabupaten Badung, hukuman enam tahun penjara terkait kasus dugaan pemerasan terhadap investor. Tuntutan tersebut dibacakan dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Denpasar, Kamis (5/9/2024).

Jaksa Hendri Yoseph Kindangin, Nengah Astawa, dan rekan-rekan dalam surat tuntutannya menyatakan terdakwa Ketut Riana terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi berupa pemerasan dalam jabatan secara berlanjut. Hal ini sesuai dengan Pasal 12 huruf e juncto Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

"Menuntut terdakwa dengan hukuman penjara selama enam tahun, dikurangi masa tahanan sementara, serta denda sebesar Rp200 juta subsider tiga bulan kurungan," ujar JPU di hadapan majelis hakim yang dipimpin Gede Putra Astawa.

Selain hukuman penjara, terdakwa juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 50 juta. Jika terdakwa tidak mampu membayar dalam satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, jaksa berhak menyita harta bendanya untuk dilelang. Jika terdakwa tidak memiliki harta yang cukup, pidana penjara selama tiga tahun akan dikenakan sebagai gantinya.

Jaksa menyampaikan bahwa perbuatan terdakwa bertentangan dengan program pemerintah yang sedang gencar memberantas korupsi. Terdakwa juga dinilai tidak mengakui perbuatannya dan memberikan keterangan yang berbelit-belit di persidangan. Namun, jaksa juga mencatat bahwa terdakwa belum pernah dihukum sebelumnya dan bersikap sopan selama persidangan.

Kasus ini bermula ketika PT Berawa Bali Utama berencana berinvestasi dengan membangun apartemen dan resort di Desa Adat Berawa, Kuta Utara, Kabupaten Badung. PT Bali Grace Efata, yang dipimpin oleh saksi Andianto Nahak T Moruk, ditunjuk untuk mengurus perizinan proyek tersebut dengan nilai kontrak Rp 3,6 miliar.

Dalam dakwaan, terdakwa beberapa kali meminta uang kepada saksi dengan alasan dana punia (sumbangan adat) sebesar Rp 10 miliar. Pada November 2023, terdakwa meminta Rp 50 juta kepada saksi untuk keperluan pribadi, termasuk membayar utang kepada warga dan imunisasi cucunya. Uang tersebut diserahkan tanpa kuitansi di sebuah kafe di Kuta.

Puncaknya, pada 1 Mei 2024, terdakwa kembali meminta Rp 10 miliar, namun saksi hanya menyanggupi Rp 100 juta. Saat penyerahan uang di Renon, Denpasar, terdakwa ditangkap oleh penyidik Kejaksaan Tinggi Bali dalam operasi tangkap tangan (OTT).

Menanggapi tuntutan jaksa, penasihat hukum terdakwa, Komang Nila Adnyani, menyatakan tuntutan tersebut terlalu berat. "Kasus ini sangat tidak terduga bagi kami. Semoga majelis hakim memutuskan seadil-adilnya," ujar Nila. Ia juga membandingkan kasus ini dengan kasus pungutan liar di Imigrasi yang hingga kini belum ada perkembangan.

Sidang akan dilanjutkan dengan agenda pembelaan dari terdakwa pada pekan depan. *ant

Komentar