Harga Babi Tembus Rp 50.000 per Kilogram, GUPBI Harap Tak Menggila Jelang Galungan
MANGUPURA, NusaBali.com - Dari sudut pandang konsumen, harga babi hidup di Pulau Dewata saat ini tengah meroket. Berat babi hidup per kilogramnya dihargai Rp 48.000-50.000, melambung sejak terpukul isu meningitis awal tahun 2023 lalu.
Kala ramai kasus meningitis akibat konsumsi daging babi mentah di Gianyar itu, harga babi hidup di Bali tertekan ke Rp 33.000 per kilogram. Bahkan, harga lebih lebih murah bisa ditemui di tingkat peternak. Padahal, harga pokok produksinya Rp 40.000 per kilogram.
Angin segar untuk harga babi baru mulai dirasakan para peternak sejak tiga bulan terakhir. Kini, harga babi di pasaran rata-rata tembus Rp 50.000 per kilogram. Di sisi lain, kebutuhan babi dipastikan meningkat jelang Hari Raya Galungan di pekan keempat September 2024 ini.
Ketua Gabungan Usaha Peternakan Babi Indonesia (GUPBI) Bali I Ketut Hari Suyasa menuturkan, angin segar industri peternakan babi di Bali diprediksi bertahan dua sampai lima tahun ke depan. Hal ini menyusul permintaan tinggi atas babi asal Bali ke Sulawesi Utara.
"Kami harap harga babi hidup tidak melampaui Rp 50.000 jelang Hari Raya Galungan. Karena hari ini kisarannya antara Rp 48.000-50.000 di masyarakat," kata Hari Suyasa kepada NusaBali.com via telepon, Sabtu (7/9/2024).
Pengusaha asal Banjar Batanbuah, Desa Abiansemal Dauh Yeh Cani, Kecamatan Abiansemal, Badung ini menilai harga babi hidup yang terlalu menggila juga tidak sehat untuk industri. Apalagi jelang hari raya, yang mana daging babi sangat diperlukan umat Hindu Bali untuk piranti upacara.
Hari Suyasa menjelaskan, peternak sudah cukup bahagia ketika harga babi hidup sudah melampaui harga pokok produksi Rp 40.000 per kilogram. Idealnya, harga babi hidup yang ramah untuk produsen dan konsumen adalah Rp 45.000 per kilogram.
"Harga babi hidup yang tinggi saat ini bukan karena kebutuhan lokal, tapi permintaan babi baik hidup atau karkas dari luar Bali, terutama Sulawesi sedang tinggi akibat kelangakaan pasokan pasca wabah ASF (African Swine Fever) di sana," imbuh Hari Suyasa.
Bali adalah salah satu daerah tercepat dalam penanganan wabah ASF tahun 2020. Tahun 2021, Bali berangsur pulih dan populasi babi mulai meningkat. Sebelum wabah, populasi babi di Bali diperkirakan 889.000 ekor dan dari pantauan terakhir GUPBI Bali tahun 2023 sudah mencapai 2 juta ekor.
Daerah-daerah di luar Bali yang dulunya produsen babi, pasca wabah ASF menjadi konsumen. Mereka 'mengimpor' babi hidup dan karkasnya dari daerah lain untuk menstabilkan harga dan pasokan. Bali adalah produsen babi yang dibidik daerah-daerah eks produsen babi itu.
"Peternak kita yang kandangnya sudah bebas wabah profitnya cukup lumayan hari-hari ini. Dan, kami perkirakan harganya tidak akan bergeser banyak dari kisaran harga itu tadi, semoga tidak sampai lewat Rp 50.000," tandas Hari Suyasa. *rat
Angin segar untuk harga babi baru mulai dirasakan para peternak sejak tiga bulan terakhir. Kini, harga babi di pasaran rata-rata tembus Rp 50.000 per kilogram. Di sisi lain, kebutuhan babi dipastikan meningkat jelang Hari Raya Galungan di pekan keempat September 2024 ini.
Ketua Gabungan Usaha Peternakan Babi Indonesia (GUPBI) Bali I Ketut Hari Suyasa menuturkan, angin segar industri peternakan babi di Bali diprediksi bertahan dua sampai lima tahun ke depan. Hal ini menyusul permintaan tinggi atas babi asal Bali ke Sulawesi Utara.
"Kami harap harga babi hidup tidak melampaui Rp 50.000 jelang Hari Raya Galungan. Karena hari ini kisarannya antara Rp 48.000-50.000 di masyarakat," kata Hari Suyasa kepada NusaBali.com via telepon, Sabtu (7/9/2024).
Pengusaha asal Banjar Batanbuah, Desa Abiansemal Dauh Yeh Cani, Kecamatan Abiansemal, Badung ini menilai harga babi hidup yang terlalu menggila juga tidak sehat untuk industri. Apalagi jelang hari raya, yang mana daging babi sangat diperlukan umat Hindu Bali untuk piranti upacara.
Hari Suyasa menjelaskan, peternak sudah cukup bahagia ketika harga babi hidup sudah melampaui harga pokok produksi Rp 40.000 per kilogram. Idealnya, harga babi hidup yang ramah untuk produsen dan konsumen adalah Rp 45.000 per kilogram.
"Harga babi hidup yang tinggi saat ini bukan karena kebutuhan lokal, tapi permintaan babi baik hidup atau karkas dari luar Bali, terutama Sulawesi sedang tinggi akibat kelangakaan pasokan pasca wabah ASF (African Swine Fever) di sana," imbuh Hari Suyasa.
Bali adalah salah satu daerah tercepat dalam penanganan wabah ASF tahun 2020. Tahun 2021, Bali berangsur pulih dan populasi babi mulai meningkat. Sebelum wabah, populasi babi di Bali diperkirakan 889.000 ekor dan dari pantauan terakhir GUPBI Bali tahun 2023 sudah mencapai 2 juta ekor.
Daerah-daerah di luar Bali yang dulunya produsen babi, pasca wabah ASF menjadi konsumen. Mereka 'mengimpor' babi hidup dan karkasnya dari daerah lain untuk menstabilkan harga dan pasokan. Bali adalah produsen babi yang dibidik daerah-daerah eks produsen babi itu.
"Peternak kita yang kandangnya sudah bebas wabah profitnya cukup lumayan hari-hari ini. Dan, kami perkirakan harganya tidak akan bergeser banyak dari kisaran harga itu tadi, semoga tidak sampai lewat Rp 50.000," tandas Hari Suyasa. *rat
Komentar