Pariwisata Bali di Mata Anak Muda
PERS Kampus Akademika Universitas Udayana menyelenggarakan lomba opini pada bulan September ini.
Terjaring 20 peserta, 12 siswa SMA, selebihnya mahasiswa. Mereka diminta menulis tentang pariwisata berkelanjutan. Pesertanya siswa-siswa dari Abiansemal (Badung), Kuta, Denpasar, Amlapura, Klungkung. Lomba ini semakin menantang karena diikuti mahasiswa dari Bandung, Surabaya, Singaraja, Badung, dan Denpasar.
Seperti lazimnya setiap lomba penulisan di kalangan remaja dan anak muda, sebagian besar peserta menulis hanya jika ada lomba. Setelah itu mereka lama tidak menulis, kemudian menulis lagi jika ada lomba. Hal seperti itu kentara dari gaya tulisan mereka yang penyajiannya nyaris seragam. Seorang juri penilai karya-karya mereka bergurau, “Jangan-jangan ini akibat Bali senang mengenakan pakaian seragam di sekolah dan kampus saban Kamis dan purnama.”
Tulisan-tulisan peserta lomba ini seperti berasal dari satu template, jauh lebih mudah mencari kesamaan dibanding perbedaannya. Ibarat pesilat dan pendekar yang berasal dari satu perguruan atau satu kuil. Gerakan, hentakan, atau liukannya, sama. Maka sungguh tidak mudah menentukan mana yang lebih unggul satu dengan yang lain. Perbedaannya tipis sangat.
Kendati begitu, tetap saja karya-karya anak muda ini menarik. Diam-diam mereka mencatat apa yang sedang terjadi dalam jagat turisme di Bali. Beberapa peserta bahkan menulis hasil pengamatan langsung, menyuguhkan sejarah turisme Bali yang sesungguhnya sudah disiapkan dengan cermat untuk menjadi pariwisata berkelanjutan sejak lebih setengah abad silam.
Ada peserta lomba yang mengungkap bahwa pariwisata Bali sesungguhnya sudah punya titik keberangkatan yang benar tentang pariwisata berkelanjutan. Ketidaktaatan pada titik tolak ini yang menyebabkan pariwisata Bali menemui sangat banyak hambatan dan persoalan turisme yang amburadul.
I Dewa Ayu Anandhita Putri, peserta yang menulis perkembangan beberapa dekade pariwisata Bali, mengungkapkan, tahun 1969 United Nations Development Program (UNDP) yang melakukan pengembangan pariwisata di Bali Selatan, yakni Nusa Dua dengan rancangan SCETO Badan Pariwisata Prancis. SCETO Plan ini menitikberatkan pariwisata yang sanggup meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat, tanpa merusak nilai-nilai budaya dan lingkungan alam. Konsep SCETO menempatkan Nusa Dua sebagai ‘basis’ akomodasi wisatawan asing. Namun konsep SCETO Plan yang begitu bagus tidak terus dapat dijalankan, bahkan diobrak-abrik oleh Gubernur Bali ketika itu, IB Oka. “Ribuan hektare tanah Bali yang tadi sawah, kebun, dan hamparan tanah yang menghijau, digilas, disulap menjadi resor, hotel, dan aktivitas sarana pariwisata lainnya. Hal itu terjadi karena oleh Gubernur Bali, tanah-tanah Bali ‘dijual’ dan ‘diobral’ ke investor-investor Jakarta dan asing,” tulis Ayu Anandhita Putri.
Maka menjadi tidak berlebihan jika peserta Ni Made Naina Maitria Wicaya menilai kebijakan pariwisata dilakukan dengan gegabah, sehingga menghadirkan mass tourism. Menurut Naina, mass tourism identik dengan perencanaan pariwisata yang buruk, tidak terkendali (sporadis), hingga terkesan hanya mementingkan kuantitas wisatawan dan pertumbuhan ekonomi semata. Dia bahkan menuding, pariwisata berkelanjutan hanya sekadar nama baru.
Maka tidak heran jika peserta lain, Dewa Ayu Windia Kartika Cahyani, mempersoalkan perkembangan pariwisata di Nusa Penida. Cahyani mengamati, lonjakan pariwisata Nusa Penida menimbulkan banyak kontroversi warga lokal. Peningkatan infrastruktur, kesediaan air bersih tidak sebanding dengan pertumbuhan industri turisme. Kemacetan kian parah. Tulis Cahyani, pertumbuhan pariwisata yang pesat ternyata tidak selalu diikuti dengan peningkatan infrastruktur yang memadai. Hal semacam itu merupakan contoh konkret dampak negatif dari lonjakan pariwisata yang tidak terkendali.
Bertalian dengan kemacetan dan mass tourism, Kadek Risma Dwitha Widyaswari, dalam naskah ‘Potret Buram Kemacetan di Bali: Bawa Berkah Atau Pemicu Masalah?’ mengungkapkan betapa orang-orang senang kalau Bali macet, karena itu pertanda turis banyak datang, rezeki melimpah. Kemacetan sehari-hari di Bali kini dianggap sebagai sesuatu pertanda yang wajar.
Sungguh menyenangkan membaca opini anak muda dalam lomba ini. Ternyata mereka merasa sangat terlibat dalam sisi positif dan sisi buruk pariwisata Bali. Mereka mengkritik langsung, tanpa tedeng aling-aling. Misalnya, ada peserta lomba yang mempertanyakan, memang masih ada gunanya membahas pariwisata berkelanjutan? Jika begitu banyak aturan dilanggar dan lingkungan sudah amburadul, seperti pesatnya alih fungsi lahan, serta sampah menggunung sangat sulit diurus. Atau pariwisata hanya menguntungkan pemilik modal besar, orang-orang kaya dari luar, dan rakyat setempat yang menanggung akibat buruknya. Mereka tetap miskin.
Opini-opini anak muda dalam lomba ini semakin menarik, jika kita mengkaji betapa ilmu kepariwisataan yang muncul dalam kajian skripsi, tesis atau disertasi, dari prodi pariwisata lebih banyak membahas yang indah-indah dan muluk-muluk. Jarang kita menjumpai kajian-kajian kritis terhadap dunia wisata. Siapa tahu, di antara peserta lomba ini ada yang berminat kelak menulis karya ilmiah tentang kritik terhadap pariwisata Bali. 7
1
Komentar