Menyaksikan Pentas Gambelan Pelawah Saron ‘Kuno’ di Museum Gunarsa, Dusun Banda, Takmung, Klungkung
Ditemukan Almarhum Gunarsa Saat Berkunjung ke Belanda Tahun 1993
Pelawah saron kuno itu dibawa ke Klungkung untuk dibuatkan duplikat lengkap satu barung (seperangkat) gambelan saron dan satu barung gambelan gong gede
SEMARAPURA, NusaBali
Museum Nyoman Gunarsa di Dusun Banda, Desa Takmung, Kecamatan Banjarangkan, Klungkung tidak hanya identik sebagai museum yang menyimpan berbagai lukisan klasik, namun juga benda-benda antik dan bersejarah. Salah satunya sebuah pelawah saron atau penyangga gembelan saron yang ditemukan di Belanda. Pelawah saron ini dibawa pulang ke Klungkung untuk dibuatkan duplikat lengkap satu barung (seperangkat) gambelan saron sekaligus dibuat pula satu barung gambelan gong gede.
Gambelan saron tersebut dipentaskan oleh 36 orang Sekaa Nyoman Gunarsa saat pembukaan Pameran Lukisan Puncak Karya Nyoman Gunarsa di Museum Gunarsa, Dusun Banda, Desa Takmung, Kecamatan Banjarankan, Klungkung, Senin (9/9) sore. Istri almarhum Nyoman Gunarsa, yakni Indrawati Gunarsa mengatakan pelawah saron itu didapat di Belanda tahun 1993 silam. Ketika itu dia bersama sang suami mendapatkan pelawah saron itu di salah satu flea market (sejenis pasar loak) di Belanda.
Pelawah saron kuno itu sebanyak satu tungguh (satu buah). Jika dilihat dari motif ukirannya yang antik dan warnanya yang sudah luntur, diprediksi jika pelawah kuno itu sudah berusia ratusan tahun. Terlebih bilah gambelannya sudah hilang. "Ini sangat antik dan terlihat kuno," ujar Indrawati. Pelawah saron itu dibawa pulang ke Klungkung untuk dibuatkan duplikat lengkap satu barung (seperangkat) gambelan saron sekaligus dibuat pula satu barung gambelan gong gede. Bilah gamelan besinya dibuat di pusat kerajinan gong Desa Tihingan, Kecamatan Banjarangkan, Klungkung.
Sedangkan pelawah, baik pelawah saron maupun pelawah gong gede dibuat di Museum Nyoman Gunarsa dengan mendatangkan tukang ukir dari Dusun Banda. "Prosesnya cukup lama karena membutuhkan kayu gelondongan yang cukup banyak, dan pelawah gong gede itu membutuhkan kayu gelondongan cukup banyak," ujar Indrawati.
Seperangkat gambelan Pelawah Saron yang menjadi koleksi Museum Gunarsa Klungkung. –DEWA DARMAWAN
Kayu yang digunakan merupakan kayu nangka ukuran besar yang didatangkan sebagian dari Gunung Merapi, Jogjakarta (sebelum meletus) dan sebagian dari lokasi lainnya di Jogjakarta. "Pelawah gong gede (jegogan) beratnya lebih dari dua ratus kilo," ujarnya. Gambelan saron tergolong gamelan tua yang memakai laras pelog tujuh nada. Gambelan saron mempunyai struktur gending yang sangat sederhana, berbeda dengan gembelan lainnya. Selama ini gambelan saron umumnya digunakan untuk melengkapi jalannya panca yadnya (upacara keagamaan). Namun tidak banyak desa adat yang memiliki gambelan saron ini. "Koleksi gambelan saron dan gong gede ini merupakan wujud konsistensi seorang Nyoman Gunarsa dalam melestarikan seni dan budaya Bali," ujarnya. Museum Nyoman Gunarsa mengoleksi 5 barung gong, dua barung di antaraya merupakan peninggalan bersejarah, yakni seperangkat gambelan dari Kerajaan Karangasem dan seperangkat gong yang sudah ada saat perang Puputan Klungkung tahun 1908. Salah satunya mengoleksi seperangkat gambelan terbuat dari campuran emas dan panca datu atau lima unsur logam.
Ketua Sekaa Museum Gunarsa, I Gusti Ayu Suastari, mengatakan gong ini bentuknya lebih besar dari gong kebyar pada umumnya, namun untuk iramanya sama. "Jumlah Sekaa 36 orang dan kita latihan sejak setahun lalu, di antaranya tabuh Om Swastyastu, Tabuh Selisir, Tabuh Buaya Angap, tabuh tari Pendet, rejang taksu buana dan lainnya," ujarnya.
Untuk diketahui Keluarga Besar Nyoman Gunarsa (almarhum) bersama Yayasan Indonesiana menggelar Pameran Lukisan Puncak Karya Nyoman Gunarsa. Acara ini digelar di Museum Nyoman Gunarsa di Dusun Banda, Desa Takmung, Kecamatan Banjarangkan, Klungkung mulai, Senin (9/9). Pameran ini untuk mengenang figur besar dalam kesenian Indonesia sekaligus bentuk pertanggungjawaban sang maestro kepada masyarakat. Karya-karya Nyoman Gunarsa sepanjang perjalanannya sebagai perupa ditampilkan sebagai bentuk sumbangsihnya kepada kesenian dan kebudayaan Indonesia. Lebih dari setengah abad Nyoman Gunarsa berkarya, karya-karyanya tidak bisa dihitung dengan tangan. 7 wan
1
Komentar