Perupa Adi Candra, Gusti Buda Pamerkan Kontras dan Harmonisnya Sakala Niskala
I Gusti Ngurah Putu Buda
I Ketut Adi Candra
Pameran
Seni Lukis
Batu 8 Studio
Putu Bonuz
Putu Suasta
Sakala
Niskala
Lukisan Abstrak
GIANYAR, NusaBali.com - Dualitas rupa, manunggal rasa. Tampak kontras namun terasa harmonis. Kesan yang didapat dari 20 karya lukisan perupa Adi Candra dan Gusti Buda yang dipamerkan di Batu 8 Studio, Desa Batubulan, Sukawati, Gianyar.
I Ketut Adi Candra, perupa asal Banjar Silakarang, Desa Singapadu Kaler, Sukawati dan perupa I Gusti Ngurah Putu Buda dari Banjar Batusari, Desa Sangeh, Abiansemal, Badung membawa kontras dalam pameran bersama, Kamis (12/9/2024).
Adi Candra hadir dengan ke-Bali-annya. Mengangkat sisi magis kebudayaan Pulau Dewata via seni rupa dua dimensi. Melalui lukisan abstrak ekspresionis, ia menuangkan warna-warna gelap, dibubuhi aksara, dan elemen tidak biasa menggambarkan fenomena yang tidak terpikirkan.
Sementara itu, Gusti Buda hadir dengan inspirasi fenomena kasat mata seperti bentangan alam dan pergeseran nilai di masyarakat. Berbeda dengan Adi Candra, Buda menuangkan warna-warna dasar yang cerah, dengan elemen garis yang tegas, dan lebih agresif ketika mengeksplorasi bentuk.
Adi Candra menamai The Power of Balinese Calligraphy untuk 9 karyanya. Sedangkan, 11 karya Gusti Buda diberi tajuk Panorama Tidak Nyata. Gusti Buda menegaskan pesannya dalam tajuk lukisan sebagai sesuatu fenomena alam sakala namun menjadi tidak nyata ketika bertemu ekspresi seni.
Putu 'Bonuz' Sudiana, kurator pameran bertajuk Semaraloka: Dualitas Rupa, Manunggal Rasa ini menuturkan, kedua perupa memang memiliki karakter karya tersendiri. Yang satu mengeksplorasi magisme, niskala. Satu lainnya merekam sekulerisme, sakala.
"Tapi rasanya manunggal karena keduanya sama-sama mengelola batin untuk menghasilkan karya. Iya, Gusti Buda merekam (bentangan) alam tapi yang ditampilkan bukan alamnya, melainkan energi yang ditangkap dari alam, bersifat abstrak," tutur Bonuz, ditemui kala pembukaan pameran, Rabu (11/9/2024) malam.
Adi Candra juga mengelola batin. Merekam magisme sebagai objek visual tentu memerlukan proses batiniah. Bagaimana sesuatu yang tidak memiliki wujud itu dihidupkan dengan lukisan yang memvisualisasikan magisme yang berbentuk.
"Semaraloka bermakna alam cinta kasih untuk menumbuhkan cinta kasih antarsesama," buka Adi Candra. Cinta kasih dapat dilakukan melalui spiritualitas dan jasmaniah. "Ini juga bermakna (mencintai) dua alam, satu pada magisme dan satu lagi pada fenomena di sekitar," sambung Gusti Buda.
Setelah dibuka Rabu malam, pameran dua perupa yang sudah aktif menggelar pameran tunggal dan bersama sejak awal tahun 2000-an ini bakal berlangsung selama dua pekan. Adi Candra dan Gusti Buda menyambut penikmat seni lukis hingga Rabu (25/9/2024) nanti.
Di sisi lain, Putu Suasta, eks politisi kawakan asal Bali sekaligus budayawan didapuk membuka pameran Semaraloka, Rabu malam. Suasta mengingatkan para seniman Bali untuk berkarya di luar rentang dimensi estetika.
Menurut pria yang lebih senang disebut pengembara ini, seni sebagai estetika sudah melewati tapal batas waktu. Estetika harus dikuatkan dengan sejarah karya dan kreator karya itu sendiri. Dengan begitu, seni menjadi suatu gerakan dan bukan sekadar aktivitas estetis.
"Seniman Bali harus banyak baca buku untuk menambah literasi. Karya seseorang adalah karya sejarahnya, sosok di balik karya yang dipamerkan, makna di balik karyanya itu," beber Suasta. *rat
Adi Candra hadir dengan ke-Bali-annya. Mengangkat sisi magis kebudayaan Pulau Dewata via seni rupa dua dimensi. Melalui lukisan abstrak ekspresionis, ia menuangkan warna-warna gelap, dibubuhi aksara, dan elemen tidak biasa menggambarkan fenomena yang tidak terpikirkan.
Sementara itu, Gusti Buda hadir dengan inspirasi fenomena kasat mata seperti bentangan alam dan pergeseran nilai di masyarakat. Berbeda dengan Adi Candra, Buda menuangkan warna-warna dasar yang cerah, dengan elemen garis yang tegas, dan lebih agresif ketika mengeksplorasi bentuk.
Adi Candra menamai The Power of Balinese Calligraphy untuk 9 karyanya. Sedangkan, 11 karya Gusti Buda diberi tajuk Panorama Tidak Nyata. Gusti Buda menegaskan pesannya dalam tajuk lukisan sebagai sesuatu fenomena alam sakala namun menjadi tidak nyata ketika bertemu ekspresi seni.
Putu 'Bonuz' Sudiana, kurator pameran bertajuk Semaraloka: Dualitas Rupa, Manunggal Rasa ini menuturkan, kedua perupa memang memiliki karakter karya tersendiri. Yang satu mengeksplorasi magisme, niskala. Satu lainnya merekam sekulerisme, sakala.
"Tapi rasanya manunggal karena keduanya sama-sama mengelola batin untuk menghasilkan karya. Iya, Gusti Buda merekam (bentangan) alam tapi yang ditampilkan bukan alamnya, melainkan energi yang ditangkap dari alam, bersifat abstrak," tutur Bonuz, ditemui kala pembukaan pameran, Rabu (11/9/2024) malam.
Adi Candra juga mengelola batin. Merekam magisme sebagai objek visual tentu memerlukan proses batiniah. Bagaimana sesuatu yang tidak memiliki wujud itu dihidupkan dengan lukisan yang memvisualisasikan magisme yang berbentuk.
"Semaraloka bermakna alam cinta kasih untuk menumbuhkan cinta kasih antarsesama," buka Adi Candra. Cinta kasih dapat dilakukan melalui spiritualitas dan jasmaniah. "Ini juga bermakna (mencintai) dua alam, satu pada magisme dan satu lagi pada fenomena di sekitar," sambung Gusti Buda.
Setelah dibuka Rabu malam, pameran dua perupa yang sudah aktif menggelar pameran tunggal dan bersama sejak awal tahun 2000-an ini bakal berlangsung selama dua pekan. Adi Candra dan Gusti Buda menyambut penikmat seni lukis hingga Rabu (25/9/2024) nanti.
Di sisi lain, Putu Suasta, eks politisi kawakan asal Bali sekaligus budayawan didapuk membuka pameran Semaraloka, Rabu malam. Suasta mengingatkan para seniman Bali untuk berkarya di luar rentang dimensi estetika.
Menurut pria yang lebih senang disebut pengembara ini, seni sebagai estetika sudah melewati tapal batas waktu. Estetika harus dikuatkan dengan sejarah karya dan kreator karya itu sendiri. Dengan begitu, seni menjadi suatu gerakan dan bukan sekadar aktivitas estetis.
"Seniman Bali harus banyak baca buku untuk menambah literasi. Karya seseorang adalah karya sejarahnya, sosok di balik karya yang dipamerkan, makna di balik karyanya itu," beber Suasta. *rat
Komentar