Calon Tunggal Vs Kotak Kosong Ancaman Demokrasi
BRIN
Prof. Dr. R. Siti Zuhro, M.A
Calon Tunggal
Kotak Kosong
Junef Ismailiyanto
asekjen DPN Partai Gelora Indonesia
JAKARTA, NusaBali - Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof. Dr. R. Siti Zuhro, M.A mengatakan fenomena kotak kosong di Pilkada 2024 mengancam keberlanjutan demokrasi. Pada Pilkada 2024 terdapat 41 daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah atau calon tunggal. Terdiri dari satu provinsi, 35 kabupaten dan lima kota.
“Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal ambang batas itu sebenarnya melegakan dan mengurangi calon tunggal, meskipun masih ada sekitar 40-an yang melawan kotak kosong. Saya pastikan jumlahnya akan melonjak tajam, kalau tidak ada amar putusan tersebut,” kata Siti Zuhro dalam diskusi bertema 'Fenomena Pilkada 2024: Bersama atau Melawan Kotak Kosong?' yang ditayangkan Gelora TV, Rabu sore (11/9).
Siti Zuhro mengungkapkan, hal itu terjadi karena adanya himbauan koalisi besar di tingkat provinsi, kabupaten/kota dari elite partai politik (parpol) ditingkat nasional. Hal ini menjadi ironi, bahkan anomali dalam demokrasi Indonesia yang multi partai. Saat ini semua parpol justru bergabung dalam satu koalisi besar atau gemuk, karena adanya kepentingan pragmatis yang sama. “Itu bisa kita lihat di Pilkada Jawa Timur dan Jakarta, saat sebagian besar parpol mengusung Ibu Khofifah dan Pak Ridwan Kamil. Kalau yang memenuhi ambang batas, bisa mencalonkan, tapi kalau tidak bisa, maka akan melawan kotak kosong,” kata Siti Zuhro.
Situasi memprihantikan itu, menurut dia, merupakan dampak dari pelaksanaan Pemilu Serentak 2024, antara Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres), serta berlanjut di Pilkada sekarang. “Partai politik sedang kehilangan kedaulatannya dan kehilangan otonominya. Tidak percaya diri dalam mempromosikan kadernya. Mereka juga tidak merasa bersalah, malahan fine-fine saja,” ucapnya.
Padahal, kata dia, demokrasi Indonesia sedang dalam ancaman yang cukup serius, karena Pilkada 2024 tidak menghasilkan kompetisi dan calon yang layak. Ada kecenderungan untuk aklamasi dan tidak memberikan edukasi kepada publik. “Ini semacam warning terhadap kualitas demokrasi kita, demokrasi kita semakin mundur. Pembenahannya harus dimulai dari partai politik itu sendiri, dan tentunya kita mengapresiasi Partai Gelora yang telah mengangkat tema ini dalam diskusi,” tandas Siti Zuhro.
Siti Zuhro berpendapat, keberadaan sistem multi partai seperti sekarang, perlu ditinjau ulang dan dilakukan penyederhanaan, karena menjadi ancaman serius bagi pelaksanaan demokrasi di Indonesia. “Kita harus mendorong perbaikan Paket Undang-Undang (UU) Politik, karena mungkin usianya sudah sangat tua, sementara sekarang banyak perubahan yang sifatnya sangat mendasar. Perlu diadopsi atau direspon partai politik dan dipayungi undang-undang,” jelasnya.
Paket UU Politik saat ini, menurutnya, perlu dilakukan reformasi total agar demokrasi Indonesia lebih substantif, bukan demokrasi prosedural. Yakni antara lain dengan merevisi UU Parpol, UU Pilpres, UU MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD), UU Pemilu dan UU Pilkada. “Masa sih orang bernyawa harus disandingkan melawan kotak kosong yang tidak bernyawa. Ini pelecehan betul, menangnya tidak enak, kalahpun tidak enak. Ini yang harus kita benahi,”tegas Siti Zuhro.
Sementara Wakil Sekretaris Jenderal DPN Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Dr Junef Ismailiyanto menilai, fenomena calon tunggal melawan kotak kosong bukan hal positif bagi perkembangan demokrasi Indonesia. “Partai Gelora memandang ini bukan hal yang positif buat kami, apalagi demokrasi kita. Karena tidak sesuai dengan proses atau model pembangunan nasional ke depan, yang berbasis otonomi daerah,” kata Junef Ismailiyanto.k22
1
Komentar