Menilik Ulang Tafsir Konsep Konservasi Landak
BEBERAPA hari terakhir, persoalan konservasi satwa liar khusunya Landak Jawa sangat menarik perhatian publik.
Pemicunya, ada pemelihara hewan berbulu duri tajam di wilayah Badung, Bali, didakwa dengan sangkaan pasal 21 ayat 2 Undang-undang No : 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Karena perkaranya masuk ke ranah hukum, kasus ini banyak diperbincangkan publik dan viral di pelbagai media sosial.
Kita sepakat bahwa satwa liar merupakan mata rantai penting dalam kelangsungan hidup spesies manusia. Satwa liar pun telah menjadi subjek sangat menarik karena diminati dunia. Ketika satwa liar pada habitat aslinya berada di bawah tekanan, sebagian besar spesies fauna liar terancam punah. Jawabannya, konservasi yang efektif sangatlah penting. Seperti pertimbangan terbitnya UU No : 5 Tahun 1990 untuk menjaga agar pemanfaatan sumber daya alam hayati dapat berlangsung dengan cara sebaik-baiknya. Dengan konservasi itu sumber daya alam hayati dan ekosistemnya terpelihara secara seimbang hingga melekat dengan pembangunan itu sendiri.
Setiap orang bergantung pada tumbuhan dan hewan hingga kesejahteraan semua komponen di dalamnya penting untuk dijaga. Kehidupan satwa dalam unit ekosistem telah berkontribusi terhadap kesejahteraan manusia dengan menyediakan manfaat materiel. Ekosistem ini juga sebagai wahana pengembangan pengetahuan tentang sumber daya genetik dan pelestariannya. Ekosistem ini juga berkontribusi signifikan terhadap kenikmatan hidup, misalnya rekreasi.
Kunci dari konsep konservasi satwa liar adalah dengan memahami hubungan antara perlindungan dan pemanfaatan satwa liar. Dari perspektif ini, perlindungan dan pemanfaatan satwa liar bersifat terpadu, tidak bertentangan antarkomponen. Namun, perlindungan dan pemanfaatan satwa liar sering kali dilakukan secara tidak tepat sehingga menjadi kontradiktif.
Keberhasilan dalam konservasi dapat diukur berdasarkan kelangsungan hidup. Sebaliknya, kegagalan diukur dengan kepunahan. Realitas biologis mengingatkan bahwa belum ada spesies yang hidupnya lebih dari juta tahun tanpa berevolusi menjadi sesuatu yang berbeda aatau sebaliknya sama sekali punah. Memang, kepunahan mengancam semua spesies, karena kerterkaitan baik secara langsung atau tidak langsung. Dengan demografi manusia dan ekspansi teknologi, eksploitasi spesies yang dikomersialkan, dan akibat ulah manusia serta perubahan lingkungan. Faktor-faktor ini, pada gilirannya, memengaruhi tingkat reproduksi hewan yang terancam punah dan kemampuan adaptasinya terhadap perubahan kondisi lingkungan.
Mengambil contoh kasus pemeliharaan Landak Jawa yang pemeliharannya harus berurusan dengan hukum, mungkin perlu dipertanyakan apakah ini termasuk wildlife crime (kejahatan terhadap satwa liar). Apakah pemeliharaan landak tersebut merupakan kejahatan yang telah meninggalkan dampak buruk serta mendatangkan malapetaka pada ekosistem dan keanekaragaman hayati? Untuk menjawabnya, mungkin perlu perluasan wawasan kita tentang konsep konservasi. Kunci konservasi satwa liar adalah kesadaran yang tepat dan apresiasi terhadap hubungan antarsatwa liar, konservasi, dan pemanfaatan.
Menilik Pasal 21 pada ayat 2 UU No : 5 Tahun 1990, yang berbunyi (2) Setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup. Di sini jelas bahwa ada kata memelihara dan memperniagakan. Kalau memperniagakan dengan tujuan nantinya dibunuh jelas konsep ini menghalangi perkembangbiakannya. Dari konsep ini, pelaku perniagaan untuk menghalangi perkembangbiakan satwa liar patut diganjar hukuman. Sebaliknya, jika dipelihara dan satwa mampu menunjukkan perilaku reproduksinya atau tidak dalam tekanan, maka kegiatan ini bisa didekatkan sebagai upaya konservasi. Kita tidak dalam mempertentangkan substansi antara kesejahteraan hewan dan hak hewan. Dari gagasan yang menekankan kesejahteraan hewan maka apa yang dilakukan oleh pemelihara secara substansi adalah memberikan kehidupan yang wajar pada landak tersebut. Bila perlu pemerintah memberikan insentif pada tindakan konservasi keanekaragaman hayati yang dilakukan, dengan catatan dipastikan terjadi peningkatan populasinya.
Karena itu perlu dikaji kebijakan hukuman terhadap kejahatan terhadap satwa liar dalam konteks ini. Hal ini sekaligus menguraikan pendekatan alternatif bagi mereka yang menangani kejahatan terhadap satwa liar. Perlu juga didorong dialog interdisipliner antara kriminologi dan ilmu konservasi.7 Oleh : Prof.Dr.Drh. I Ketut Puja,M.Kes (dosen Fakultas Peternakan Universitas Udayana) ----
1
Komentar