nusabali

GPS: Kasus Nyoman Sukena Pelajaran untuk Penegak Hukum

  • www.nusabali.com-gps-kasus-nyoman-sukena-pelajaran-untuk-penegak-hukum

DENPASAR, NusaBali.com - Kasus kepemilikan empat ekor satwa dilindungi, landak Jawa, yang menyeret I Nyoman Sukena disebut sebagai pelajaran untuk penegak hukum. Kasus ini dinilai sebagai kasus kealpaan bukan tindak pidana.

Hal ini disampaikan penasihat hukum Sukena, Gede Pasek Suardika (GPS) usai kliennya itu divonis bebas Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Denpasar dalam sidang Pembacaan Putusan Majelis Hakim, Kamis (19/9/2024).

"Ini pelajaran untuk penegak hukum. Dari pertimbangan hakim kan lebih banyak pelajaran untuk penegak hukumnya agar punya hati nurani dan bisa membedakan kasus-kasus mana yang harus ke pengadilan," ungkap GPS.

Penasihat hukum Sukena dari Berdikari Law Office ini menguatkan pertimbangan hakim saat membaca putusan di Ruang Sidang Kartika, PN Denpasar, Kamis siang. GPS menekankan, penegak hukum harus bisa memilah kasus mana yang harus ke pengadilan dan kasus mana yang bisa selesai dengan restorative justice.

Kasus yang menyeret Sukena, kata GPS, adalah kealpaan. Sukena terbukti tidak mengetahui bahwa landak Jawa (Hystrix javanica) adalah satwa dilindungi menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/MENLHK/SEWTJEN/KUM.1/12/2018.

Kemudian, dalam hal kepemilikan landak Jawa ini Sukena tidak memiliki niat batin jahat. Melainkan, karena tabiatnya yang hobi memelihara binatang. Selain itu, landak Jawa itu diselamatkan dari ladang lantaran masyarakat setempat di Desa Bongkasa Pertiwi menganggap hewan berduri ini sebagai hama.

Meski begitu, dalam memelihara satwa dilindungi, masyarakat wajib mengantongi dokumen tertentu. Dalam hal ini, Sukena pun tidak mengetahui dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali pun belum pernah melakukan sosialisasi perihal satwa dilindungi di Desa Bongkasa Pertiwi, Abiansemal, Badung.

"Bukan sengaja, tapi culpa, kelalaian, kealpaan. Beda pasalnya. Sukena bebas karena tidak terbukti (bersalah) bukan karena penghapusan pidana," tegas GPS.

Sementara itu, Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya menyoroti keterangan saksi ahli pejabat Polisi Hutan (Polhut) BKSDA Bali Suhendarto SP SH. Bahwa, perbuatan terdakwa memelihara landak yang dilindungi tanpa izin, apalagi terdakwa tidak mengetahui satwa itu dilindungi adalah pelanggaran administrasi.

Karena termasuk pelanggaran administrasi, maka cukup diberikan peringatan dan yang bersangkutan wajib dilakukan pengurusan izin. Jika tidak dimungkinkan, satwa yang dilindungi itu diserahkan ke BKSDA. Dengan ini, Majelis Hakim menilai Sukena tidak memenuhi unsur perbuatan melanggar hukum pidana.

"Untuk menguji apakah seseorang terdakwa bersalah, memenuhi unsur-unsur dari tindak pidana sudah tepat dilakukan pengujian di pengadilan berdasarkan alat bukti yang sah bukan arogansi kekuasaan," ujar Ketua Majelis Hakim IB Bamadewa Patiputra saat membaca putusan, Kamis siang.

Majelis Hakim menekankan, dalam menilai perbuatan terdakwa tidak semata-mata mengedepankan pendekatan kepastian hukum. Akan tetapi, rasa keadilan dan kemanfaatan di masyarakat juga dipertimbangkan.

"Penegakan hukum yang ideal bisa terwujud bilamana semua aparat penegak hukum dengan cerdas, tanggap, dan mempunyai insting nurani yang kuat, menelaah dan memilah perkara yang mana harus diselesaikan dengan cara represif, rehabilitatif, restribusif, sehingga supremasi hukum bisa terwujud," imbuh Majelis Hakim.

Majelis Hakim yang terdiri dari Hakim Ketua IB Bamadewa Patiputra, Hakim Anggota Gede Putra Astawa dan AA Made Aripathi Nawaksara berharap, semua aparat penegak hukum yang punya kapasitas kewenangan lebih berhati-hati. Penegak hukum diminta lebih mengedepankan pendekatan restorative justice dalam menyelesaikan suatu masalah. *rat

Komentar