nusabali

JPU Ngotot Tetap Tuntut Bendesa Berawa 6 Tahun

  • www.nusabali.com-jpu-ngotot-tetap-tuntut-bendesa-berawa-6-tahun

DENPASAR, NusaBali - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar, pada Senin (23/9), kembali menggelar sidang lanjutan kasus dugaan pemerasan terhadap investor yang melibatkan Bendesa Adat Berawa I Ketut Riana.

Agendanya, jawaban jaksa atas nota pembelaan (replik) yang disampaikan tim penasehat hukum terdakwa sebelumnya.

Dalam repliknya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) I Nengah Astawa dkk, menolak seluruh argumen penasihat hukum terdakwa, Gede Pasek Suardika dkk, yang meminta untuk membebaskan terdakwa dari dakwaannya. Sehingga JPU tetap pada tuntutannya.

JPU meminta majelis hakim untuk menyatakan I Ketut Riana terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dalam bentuk pemerasan dalam jabatan secara berlanjut. “Menuntut agar terdakwa dijatuhi hukuman penjara selama 6 tahun, denda sebesar Rp 200 juta subsidair tiga bulan kurungan, serta pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp 50 juta,” tegas JPU, di hadapan majelis hakim yang diketuai oleh Gede Putra Astawa.

Salah satu poin utama yang diperdebatkan dalam pledoi penasihat hukum terdakwa, bahwa I Ketut Riana bukanlah pegawai negeri sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2021. Penasihat hukum berargumen bahwa terdakwa tidak dapat diklasifikasikan sebagai pegawai negeri karena tidak menerima gaji atau upah dari negara, sehingga tidak bisa dijerat dengan pasal korupsi tersebut.

Namun, JPU membantah argumen tersebut dan menjelaskan bahwa definisi pegawai negeri dalam undang-undang tindak pidana korupsi tidak hanya terbatas pada pegawai yang menerima gaji dari keuangan negara. Tetapi juga mencakup pihak-pihak yang memiliki kekuasaan atau wewenang dalam kapasitas publik.

“Tumpuan pembelaan penasihat hukum terkait gaji atau upah terlihat dipaksakan. Terdakwa telah memanfaatkan jabatannya sebagai Bendesa Adat untuk kepentingan pribadi, meminta uang sebesar Rp10 miliar kepada saksi Andianto Nahak T. Moruk tanpa sepengetahuan Prajuru Desa Adat Berawa,” tegas JPU.

JPU menambahkan bahwa insentif dan uang jasa yang diterima terdakwa dari Keuangan Daerah Provinsi Bali dan Kabupaten Badung merupakan kompensasi atas tugasnya sebagai Bendesa Adat Berawa. Menurut Pasal 5 jo Pasal 38 Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali, terdakwa memiliki wewenang untuk mengelola alokasi anggaran dari Pemerintah Provinsi Bali dan bantuan dari Pemerintah Kabupaten Badung untuk kepentingan Desa Adat Berawa. 

“Namun, meskipun insentif tersebut diberikan sebagai kompensasi tugas adat, tindakan terdakwa yang meminta uang secara pribadi kepada investor merupakan pelanggaran yang serius dan melanggar hukum,” tukas JPU.

JPU menegaskan bahwa seluruh argumen yang diajukan oleh penasihat hukum dalam pleidoi mereka tidak dapat menghapus unsur pemerasan dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh terdakwa. Mereka menyebutkan bahwa insentif dan uang jasa yang diterima terdakwa tidak relevan dikaitkan dengan perbedaan definisi gaji atau upah, seperti yang diuraikan penasihat hukum dalam pleidoinya.

JPU meminta agar majelis hakim tetap berpegang pada tuntutan yang telah diajukan, yaitu hukuman berat bagi I Ketut Riana atas tindakan pemerasan yang merugikan investor dan masyarakat Desa Adat Berawa. 7 cr79

Komentar