Sayangi Mental, Kenali Orang dengan Narcissistic Personality Disorder
DENPASAR, NusaBali.com - Kepedulian terhadap kesehatan mental digaungkan Kartika Soeminar, perempuan paruh baya yang pernah menjadi korban mantan suaminya yang mengalami narcissistic personally disorder (NPD). Perempuan asal Surabaya, JawaTimur, ini berjuang melawan depresi selama 23 tahun akibat perlakuan abusive dari orang terdekat pengidap NPD.
Bidang psikologi mengelompokkan NPD sebagai salah satu gangguan patologis atau kejiwaan. Seorang penderita NPD umumnya memiliki gejala narsistik yang berlebihan, sehingga dia merasa perlu dipuji secara terus menerus dan haus akan validasi dari orang orang di sekitarnya.
Gejala lain yang bisa dilihat yakni sifat superior dan nir-empati, di mana para pengidapnya sulit memiliki sensitivitas terhadap hak hidup orang lain dan lihai memainkan perasaan ‘korban’. Sayangnya, penderita NPD sering tak menyadari gejala psikologis ekstrem ini dalam diri mereka.
Setelah melewati serangkaian fase panjang terapi pemulihan trauma dan mental healing, Kartika perlahan bangkit menata mental dan kesehatan batinnya. Kini, perempuan pengusaha ini pun terlepas dari jerat seorang pengidap NPD dan menjalani hidup dalam versi terbaiknya.
“NPD tidak hanya terjadi dalam sebuah hubungan rumah tangga, tapi juga bisa di lingkungan kerja, keluarga,” ujar Kartika saat diskusi bertajuk #BrokenButUnbroken, di Sanur, Denpasar, Sabtu (28/9/2024).
Berangkat dari kisah hidupnya, Kartika ingin membangkitkan kesadaran masyarakat akan pentingnya memahami gangguan NPD.
Sebelumnya ia telah berkeliling ke sejumlah kota besar yakni Jakarta, Bandung, Semarang, Jogja, Solo, Surabaya. Dalam beberapa waktu dekat, Kartika juga akan melaunching buku yang menceritakan pengalaman pahitnya berdampingan dengan gangguan NPD.
“Di luar sana mungkin ada yang lebih dari 23 tahun terbelenggu dan dia tidak bisa ngapa-ngapain. Buku ini mungkin bisa memberikan manfaat buat mereka,” ucapnya.
Psikolog RSUP Prof dr I GNG Ngoerah, Dra Retno IG Kusuma, MKes mengungkapkan kesadaran terhadap kesehatan mental telah meningkat dalam beberapa waktu terakhir. Dalam sebulan 3-5 orang melakukan konsultasi terkait NPD di ruang praktiknya.
Retno memaparkan dua faktor utama seseorang bisa terdiagnosis NPD, yakni genetik dan pola asuh (parenting). Menurutnya banyak anak yang berkembang menjadi NPD lantaran sang anak kerap menyerap perilaku orang tuanya yang memiliki gejala NPD
"Penting untuk menerapkan pola asuh dan membangun kesadaran kepada anak agar kemudian tidak berkembang gejalanya. Jika orang tuanya tidak sanggup, maka butuh bantuan profesional seperti psikolog atau psikiater agar anak sadar bahwa ada yang tidak beres," ungkap Retno.
Menurut Retno, kekerasan psikologis yang dilakukan seorang NPD akan meninggalkan masalah bagi korban, sehingga sang korban selalu merasa bersalah padahal tidak pernah melakukan apapun, Selain itu korban merasa harus bertanggung jawab dan tidak berhak untuk bahagia.
Oleh karena itu. Retno menguraikan beberapa cara yang bisa diterapkan agar well-being kita tetap terjaga walaupun hidup berdampingan dengan NPD.
Pertama, membangun kesadaran. Korban harus mempunyai kesadaran yang tinggi karena biasanya setelah penderita NPD memberikan perlakuan abussive secara mental maupun fisik, setelah itu akan ada masa-masa honeymoon di mana korban akan disayangi oleh penderita NPD. Korban akan merasa bahwa pasangan NPD ini baik dan sayang kepadanya. Dinamika seperti ini yang membuat korban sulit lepas dari penderita NPD.
Berikutnya dukungan sosial. Memiliki komunitas dan dukungan sosial yang positif akan sangat membantu. Apalagi kalau bisa berdaya secara finansial, dan lingkungan sosial yang positif maka korban kadang merasa tidak peduli lagi apa yang dilakukan oleh pasangan NPD.
“Kita semua berhak untuk memiliki hidup yang berkualitas dan baik,” tekannya.
Langkah lainnya adalah terapi pemulihan. Psikoterapi yang dilakukan psikolog membantu untuk membuat korban sadar. Berbagai metode lainnya seperti CBT (Cognitive Behavior Therapy), hypnoterapi, self-healing, family therapy dan lain-lain sesuai dengan kondisi yang bersangkutan.
“Pendampingan antara profesional, psikolog atau psikiater, maupun komunitas sangat disarankan. tenaga profesional bisa melihat apakah ada gejala psikis yang bisa membuat korban menjadi semakin buruk,” ujar Retno.
Komentar