Kuliner NKRI di Badak Agung
Sekelompok orang yakin mesti bersatu ketika ada yang berusaha memecah mereka.
Aryantha Soethama
Pengarang
Itu sebabnya tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) belakangan berulang-ulang didengungkan karena Tanah Air lagi diguncang radikalisme dan terorisme. Jika pentingnya persatuan tidak dikumandangkan berulang-ulang, si pemecah belah bisa melenggang mengguncang. Sampai-sampai muncul gerakan NKRI harga mati. Bukan berarti NKRI tidak punya harga (mati), tapi NKRI harus dibela sampai mati, karena tak ada harga, semahal apa pun, bisa mengganti harga NKRI.
Banyak cara dilakukan agar Tanah Air tetap bersatu. Misalnya, ketika merayakan tujuh belas agustusan di Jakarta, para pemimpin mengenakan aneka ragam pakaian daerah. Itu isyarat, kendati kita berbeda tetapi tetap harus satu. Merayakan ulang tahun kemerdekaan memang sebuah kesempatan untuk meyakinkan semua orang bahwa kita harus bersatu.
Kadang banyak orang tidak begitu menyadari betapa kita berbeda. Tahu-tahunya kita sudah bersatu. Atau, kita baru menyadari perbedaan itu justru ketika sudah menikmati persatuan yang disatukan oleh perbedaan. Tanpa disadari seseorang dari Palembang merasa sangat menyatu dengan Bali karena ia sering mengenakan kain endek. Ada orang Bali yang sangat senang mengenakan sarung dan kopiah hitam, sampai-sampai banyak tetangga menduga ia orang Madura. Setelah itu baru lelaki Bali itu sadar, ia telah melakukan sesuatu yang berbeda, sehingga ia mudah bersatu dengan tetangganya dari berbagai etnik yang tinggal di satu gang di Denpasar Barat.
Betapa NKRI menyatukan berbagai etnik, tanpa kita sadari juga bisa ditemukan di Jalan Badak Agung, Denpasar. Mudah menemukan tempat ini, yang berjarak kurang dari 500 meter dari alun-alun dengan monumen Bajra Sandhi di Renon. Bahkan cuma 200 meter di sebelah utara kantor Gubernur. Belum juga ketemu? Buka saja Google Maps.
Di Jalan Badak Agung bisa ditemui makanan dari bermacam suku di Tanah Air. Ada masakan Bali, pasti. Masakan Jawa? Ada. Manado? Ada, menu ayam rica-rica. Masakan Padang apalagi, pasti ada. Mereka yang menyukai masakan Jawa Timur mudah menemukan di jalan yang memanjang selatan ke utara ini.
Seseorang dari Klungkung, yang ikut demo tolak reklamasi Teluk Benoa ke kantor DPRD dan kantor Gubernur, senang sekali makan babi guling di warung Penuktukan, sebuah desa di Kecamatan Tejakula, Buleleng. “Baru kali ini saya makan lawar dan babi guling khas Bali Utara,” ujarnya senang. Saat lain ia ikut demo menentang taksi online, ia makan di warung vegetarian persis depan warung babi guling itu. Setelah itu ia tak lagi makan di Jalan Badak Agung, karena tak pernah lagi ikut demo. Tentu ia tak tahu kalau di jalan ini ada lagi penjual makanan etnik lain.
Seorang lelaki paruh baya dari Kintamani suatu hari tak sengaja menelusuri Jalan Badak Agung. Ia naik sepeda motor ke Pesta Kesenian Bali (PKB) Taman Budaya, Abiankapas, Denpasar. Selepas siang ia mengarahkan motornya ke selatan, maunya ia ke ke arah Sanur, untuk bisa masuk ke Bypass Ngurah Rai, pulang ke Kintamani. Di ujung selatan Jalan Hayam Wuruk mestinya ia belok kiri, tapi ia keliru belok kanan. Setelah berkelok-kelok bingung di seputar Renon, ia tersesat, masuk ke Jalan Badak Agung. Lapar karena lelah dan stres, ia makan di Warung Sang Ayu. Ia pesan nasi campur, dan heran ketika menikmati rasa dan menu nasi ayam itu persis seperti yang pernah ia santap di pasar senggol Gianyar.
Ia jadi ketagihan makan di Jalan Badak Agung. Seminggu kemudian, masih dalam rangkaian ke PKB nonton joged, ia beli babi guling di jalan lebar ini. Usai bersantap ia mencoba menelusuri jalan ini dari utara ke selatan bolak-balik. Boleh jadi ada yang memperhatikan, menduga ia orang udik yang kebingungan menemukan alamat seseorang. Padahal ia senang memperhatikan betapa jalan yang panjangnya kurang dari dua kilometer ini menyuguhkan berbagai masakan Tanah Air. ”Bapak sebut ini jalan kuliner NKRI,” katanya kepada anak-anak SMA tempat ia mengajar di Kintamani.
Seorang anak bertanya, “Apakah warung pecel lele seperti di Kintamani sini ada Pak?” “Wah banyak, pedagang soto ada, apalagi pedagang bakso. Kalian kan tahu ada bakpia pathok, kue khas Jogja itu. Ternyata di Jalan Badak Agung ada soto bathok khas Jogja dijual di warung gudeg Bu Retno,” jelas laki-laki paro baya itu.
“Perlu dong Pak kita piknik ke Jalan Badak Agung untuk menikmati kuliner NKRI,” komentar seorang siswi. “Kita ke sana nanti menjelang akhir semester.
“Setujuuu..... setujuuu.... setujuuu.....” sahut siswa serentak. Ada anak menelan air liur membayangkan masakan enak aneka nusantara. Beberapa siswi bahkan ngobrol, mengapa tidak ada pesta kuliner nusantara untuk merayakan ulang tahun kemerdekaan oleh pemerintah kabupaten atau provinsi. Kalau digelar di kecamatan, wah, keren. “Yang penting gratis, hehehe,” ujar mereka. *
Pengarang
Itu sebabnya tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) belakangan berulang-ulang didengungkan karena Tanah Air lagi diguncang radikalisme dan terorisme. Jika pentingnya persatuan tidak dikumandangkan berulang-ulang, si pemecah belah bisa melenggang mengguncang. Sampai-sampai muncul gerakan NKRI harga mati. Bukan berarti NKRI tidak punya harga (mati), tapi NKRI harus dibela sampai mati, karena tak ada harga, semahal apa pun, bisa mengganti harga NKRI.
Banyak cara dilakukan agar Tanah Air tetap bersatu. Misalnya, ketika merayakan tujuh belas agustusan di Jakarta, para pemimpin mengenakan aneka ragam pakaian daerah. Itu isyarat, kendati kita berbeda tetapi tetap harus satu. Merayakan ulang tahun kemerdekaan memang sebuah kesempatan untuk meyakinkan semua orang bahwa kita harus bersatu.
Kadang banyak orang tidak begitu menyadari betapa kita berbeda. Tahu-tahunya kita sudah bersatu. Atau, kita baru menyadari perbedaan itu justru ketika sudah menikmati persatuan yang disatukan oleh perbedaan. Tanpa disadari seseorang dari Palembang merasa sangat menyatu dengan Bali karena ia sering mengenakan kain endek. Ada orang Bali yang sangat senang mengenakan sarung dan kopiah hitam, sampai-sampai banyak tetangga menduga ia orang Madura. Setelah itu baru lelaki Bali itu sadar, ia telah melakukan sesuatu yang berbeda, sehingga ia mudah bersatu dengan tetangganya dari berbagai etnik yang tinggal di satu gang di Denpasar Barat.
Betapa NKRI menyatukan berbagai etnik, tanpa kita sadari juga bisa ditemukan di Jalan Badak Agung, Denpasar. Mudah menemukan tempat ini, yang berjarak kurang dari 500 meter dari alun-alun dengan monumen Bajra Sandhi di Renon. Bahkan cuma 200 meter di sebelah utara kantor Gubernur. Belum juga ketemu? Buka saja Google Maps.
Di Jalan Badak Agung bisa ditemui makanan dari bermacam suku di Tanah Air. Ada masakan Bali, pasti. Masakan Jawa? Ada. Manado? Ada, menu ayam rica-rica. Masakan Padang apalagi, pasti ada. Mereka yang menyukai masakan Jawa Timur mudah menemukan di jalan yang memanjang selatan ke utara ini.
Seseorang dari Klungkung, yang ikut demo tolak reklamasi Teluk Benoa ke kantor DPRD dan kantor Gubernur, senang sekali makan babi guling di warung Penuktukan, sebuah desa di Kecamatan Tejakula, Buleleng. “Baru kali ini saya makan lawar dan babi guling khas Bali Utara,” ujarnya senang. Saat lain ia ikut demo menentang taksi online, ia makan di warung vegetarian persis depan warung babi guling itu. Setelah itu ia tak lagi makan di Jalan Badak Agung, karena tak pernah lagi ikut demo. Tentu ia tak tahu kalau di jalan ini ada lagi penjual makanan etnik lain.
Seorang lelaki paruh baya dari Kintamani suatu hari tak sengaja menelusuri Jalan Badak Agung. Ia naik sepeda motor ke Pesta Kesenian Bali (PKB) Taman Budaya, Abiankapas, Denpasar. Selepas siang ia mengarahkan motornya ke selatan, maunya ia ke ke arah Sanur, untuk bisa masuk ke Bypass Ngurah Rai, pulang ke Kintamani. Di ujung selatan Jalan Hayam Wuruk mestinya ia belok kiri, tapi ia keliru belok kanan. Setelah berkelok-kelok bingung di seputar Renon, ia tersesat, masuk ke Jalan Badak Agung. Lapar karena lelah dan stres, ia makan di Warung Sang Ayu. Ia pesan nasi campur, dan heran ketika menikmati rasa dan menu nasi ayam itu persis seperti yang pernah ia santap di pasar senggol Gianyar.
Ia jadi ketagihan makan di Jalan Badak Agung. Seminggu kemudian, masih dalam rangkaian ke PKB nonton joged, ia beli babi guling di jalan lebar ini. Usai bersantap ia mencoba menelusuri jalan ini dari utara ke selatan bolak-balik. Boleh jadi ada yang memperhatikan, menduga ia orang udik yang kebingungan menemukan alamat seseorang. Padahal ia senang memperhatikan betapa jalan yang panjangnya kurang dari dua kilometer ini menyuguhkan berbagai masakan Tanah Air. ”Bapak sebut ini jalan kuliner NKRI,” katanya kepada anak-anak SMA tempat ia mengajar di Kintamani.
Seorang anak bertanya, “Apakah warung pecel lele seperti di Kintamani sini ada Pak?” “Wah banyak, pedagang soto ada, apalagi pedagang bakso. Kalian kan tahu ada bakpia pathok, kue khas Jogja itu. Ternyata di Jalan Badak Agung ada soto bathok khas Jogja dijual di warung gudeg Bu Retno,” jelas laki-laki paro baya itu.
“Perlu dong Pak kita piknik ke Jalan Badak Agung untuk menikmati kuliner NKRI,” komentar seorang siswi. “Kita ke sana nanti menjelang akhir semester.
“Setujuuu..... setujuuu.... setujuuu.....” sahut siswa serentak. Ada anak menelan air liur membayangkan masakan enak aneka nusantara. Beberapa siswi bahkan ngobrol, mengapa tidak ada pesta kuliner nusantara untuk merayakan ulang tahun kemerdekaan oleh pemerintah kabupaten atau provinsi. Kalau digelar di kecamatan, wah, keren. “Yang penting gratis, hehehe,” ujar mereka. *
1
Komentar