Imigrasi Perketat Pengawasan WNA, Gelar Operasi Jagratara 2024
Operasi Jagratara 2024 dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia, bertujuan memperketat pengawasan terhadap warga negara asing.
DENPASAR, NusaBali
Kantor Imigrasi di Bali memulai kembali rangkaian operasi pengawasan warga negara asing (WNA) dengan sandi ‘Jagratara’ untuk memastikan orang asing mematuhi aturan hukum di Indonesia.
“Pengawasan keimigrasian diharapkan menciptakan situasi aman bagi masyarakat Indonesia,” kata Direktur Jenderal Imigrasi KemenkumHAM Silmy Karim pada apel pasukan di Pelabuhan Benoa, Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Rabu (2/10).
Dalam operasi itu, Imigrasi mengerahkan sebanyak 125 personel yang terdiri atas penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), petugas patroli, dan petugas tempat pemeriksaan imigrasi.
Operasi yang dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia ini bertujuan memperketat pengawasan terhadap WNA, khususnya di Bali dan Jabodetabek dengan harapan dapat menegakkan aturan keimigrasian dan memberikan sanksi berat bagi WNA yang melanggar.
Hadir dalam apel Penjabat (Pj) Gubernur Bali Sang Made Mahendra Jaya, Ketua DPRD Bali Dewa Made Mahayadnya, serta Kapolda Bali Irjen Pol Daniel Adityajaya.
Dalam apel ini diserahkan secara simbolis 20 unit kendaraan patroli baru (dari total 265 kendaraan patroli) kepada kantor imigrasi di Bali untuk meningkatkan mobilitas tim di lapangan. Alokasi mobil patroli imigrasi menyesuaikan konsentrasi WNA di setiap wilayah. “Dengan penambahan sarana prasarana tersebut respons imigrasi dalam menindak akan lebih cepat, dan jangkauan operasi yang bisa dicapai petugas lebih luas dan merata,” ujar Silmy Karim.
Operasi Jagratara 2024 memiliki tujuan utama untuk menanamkan rasa gentar di kalangan WNA yang melanggar hukum dan mengganggu ketertiban umum di Indonesia. Silmy Karim menegaskan bahwa langkah ini bukan hanya bersifat represif, namun juga preventif, dengan harapan bahwa pengawasan ketat ini akan membuat para WNA berpikir dua kali sebelum melanggar aturan yang berlaku di Indonesia.
“Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi sektor pariwisata, namun kenyamanan harus dibarengi dengan ketertiban. Kami ingin WNA yang datang ke Indonesia memahami dan mengikuti aturan serta norma yang berlaku di negara ini. Kami juga berupaya memastikan yang datang adalah pelancong berkualitas, melalui juga dengan penguatan kerja sama intelijen dan pertukaran informasi dengan negara lain,” ujar Silmy Karim.
Silmy Karim menjelaskan, setelah resmi disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, membawa perubahan signifikan dalam kebijakan pengawasan terhadap WNA di Indonesia, terutama terkait dengan sanksi bagi mereka yang melanggar hukum.
Dengan berlakunya aturan baru ini, sanksi penangkalan yang sebelumnya hanya berlaku selama enam bulan hingga satu tahun kini meningkat menjadi 10 tahun, plus tambahan hingga 10 tahun, artinya maksimum 20 tahun atau bisa seumur hidup. Bahkan, bagi WNA yang melakukan pelanggaran serius seperti menjadi tersangka pidana dengan hukuman penjara di atas lima tahun, sanksi penangkalan dapat diterapkan seumur hidup.
Perubahan dalam UU Keimigrasian ini juga merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk mengatasi masalah overstay yang marak terjadi, terutama di daerah-daerah yang menjadi destinasi wisata utama. Melalui kebijakan baru ini, pemerintah berkomitmen untuk menegakkan hukum secara lebih tegas dan efektif.
Selain itu, Silmy Karim juga menerangkan salah satu pelanggaran yang banyak ditemukan dalam operasi sebelumnya adalah penyalahgunaan visa investor oleh WNA, terutama di Bali dan Jakarta. Silmy Karim menjelaskan bahwa banyak WNA yang menggunakan visa investor untuk menghindari pembayaran izin tinggal terbatas (ITAS) tahunan.
“Visa investor dianggap lebih murah karena tidak perlu membayar ITAS tiap tahun. Setelah kami dalami, modal yang disetor ternyata hanya Rp 1 miliar, artinya itu lebih rendah lagi kalau ditempatkan, bisa seperempat atau seperlimanya saja itu, artinya cuma Rp 250 juta. Itu kan UMKM atau mikro, hanya Rp 1 miliar itu mikro masuknya, makanya kita tertibkan, bahkan kita kasih kesempatan batas sampai akhir Desember untuk meningkatkan modal yang disetor sampai Rp 10 miliar. Ini hal yang saya rasa perlu kita tegakkan,” bebernya.
Saat ditanya mengenai perbandingan antara pelanggaran WNA di Bali dan Jakarta, Silmy Karim mengakui bahwa karakteristik pelanggaran berbeda di tiap daerah. “Di Bali, pelanggaran lebih banyak terkait dengan sektor pariwisata, seperti penyalahgunaan visa dan izin tinggal. Sedangkan di Jakarta, pelanggaran overstay lebih dominan,” jelasnya.
Meskipun demikian, penyalahgunaan visa investor merupakan pelanggaran yang ditemukan di kedua wilayah.
Selain itu, dalam UU terbaru Keimigrasian soal pengadaan perlengkapan senjata api bagi petugas imigrasi, Silmy Karim menyatakan bahwa senjata tersebut digunakan sebagai langkah keamanan diri dalam menghadapi risiko yang semakin meningkat.
“Karena kita ketahui selama saya menjabat ada 2 anggota yang gugur dalam tugas. Senjata api ini untuk mengantisipasi risiko tinggi yang dihadapi petugas saat menjalankan tugasnya. Di negara lain seperti Singapura, Australia, dan Amerika Serikat, petugas imigrasi juga dilengkapi dengan senjata api. Jadi, ini hal yang wajar,” tegasnya.
“Intinya, kami ingin memastikan bahwa Indonesia merupakan destinasi yang nyaman bagi wisatawan maupun investor mancanegara yang taat terhadap aturan. Di sisi lain, pengawasan keimigrasian diharapkan menciptakan situasi aman bagi masyarakat Indonesia, khususnya dari kejahatan lintas negara atau orang asing yang mengganggu ketertiban umum,” tandas Silmy Karim. 7 cr79
Komentar