Audit KAP Sodikin Buka Fakta Baru, Terdakwa Kasus Penggelapan Dhyana Pura Harapkan Keadilan
DENPASAR, NusaBali.com – Kasus dugaan penggelapan dana Yayasan Dhyana Pura Bali yang melibatkan terdakwa I Gusti Ketut Mustika dan R Rulik Setyahadi akan memasuki tahap penentuan putusan di Pengadilan Negeri Denpasar.
Keduanya didakwa dengan Pasal 374 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, dengan ancaman hukuman lima tahun penjara, akibat dugaan penggelapan yang mengakibatkan kerugian mencapai Rp 25,5 miliar bagi yayasan.
Dalam sidang yang digelar pada 29 Agustus 2024, Gusti Ketut Mustika, mantan Ketua Yayasan Dhyana Pura, dituntut hukuman 1 tahun 6 bulan penjara, sedangkan R Rulik Setyahadi, mantan bendahara, dituntut 2 tahun penjara.
Kantor Hukum Syra Law Firm, yang bertindak sebagai penasehat hukum untuk I Gusti Ketut Agung Mustika (Terdakwa I), menegaskan harapan mereka untuk mendapatkan keadilan bagi kliennya. Dalam perjalanan persidangan, pihaknya menekankan bahwa tidak ada bukti atau saksi yang menunjukkan kliennya terlibat dalam tindakan yang didakwakan.
Menanggapi hasil audit yang dilakukan oleh KAP I Wayan Ramantha, terdakwa I menghadirkan ahli bernama Dr. Mohammad Mahsun dari Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI).
Dalam keterangannya, Dr. Mahsun menilai bahwa hasil audit tersebut tidak memenuhi standar profesional akuntan investigatif jika tidak didukung oleh empat bukti yang dimaksud. "Semakin tidak lengkap buktinya, maka semakin tidak berkualitas hasil investigasinya," terang Sabam Antonius Nainggolan SH dari Syra Law Firm.
Merespons hasil audit KAP Ramantha, pihak terdakwa meminta audit ulang oleh KAP Sodikin Budhananda Wandestarido. Dari audit tersebut, ditemukan fakta baru yang menunjukkan bahwa terdapat pencatatan pengeluaran berupa cek senilai Rp 46.021.638.389 yang tidak dicatat oleh KAP Ramantha.
“Pengeluaran ini diketahui merupakan pengeluaran operasional rutin Universitas Dhyana Pura dan PPLP yang seharusnya tidak dianggap sebagai kerugian yayasan,” kata Sabam.
Dengan adanya temuan baru tersebut, nilai kerugian yang sebelumnya dinyatakan sebesar Rp 25,5 miliar justru berkurang menjadi minus Rp 20,4 miliar.
“Jika melihat kecacatannya yang ditemukan di persidangan, kami menemukan bahwa pengeluaran cek atas operasional Universitas Dhyana Pura dan PPLP selama empat tahun tidak dicatat. Padahal, pengeluaran tersebut jelas merupakan pengeluaran rutin,” ujar Sabam didampingi Rudi Hermawan SH, Anindya Primadigantari SH MH, dan I Putu Sukayasa Nadi SH MH selaku tim kuasa hukum.
Sabam pun menguraikan jika keterangan yang diungkap dalam sidang mengindikasikan bahwa pengeluaran yang dianggap tidak ada oleh KAP Ramantha sebenarnya adalah pengeluaran rutin Universitas Dhyana Pura dan Pusat Pendidikan dan Latihan Pariwisata (PPLP).
“Bagaimana dapat dikategorikan sebagai penggelapan jika pengeluaran tersebut telah terjadi dan dapat dibuktikan penggunaannya?,” tanya Sabam.
Atas temuan yang disampaikan KAP Sodikin Budhananda Wandestarido, penasihat hukum terdakwa menegaskan bahwa alat bukti yang digunakan jaksa memiliki banyak kekurangan dan cacat prosedur.
“Selaku kuasa hukum terdakwa, kami telah melampirkan bukti temuan ini dalam pledoi kami dan berkeyakinan bahwa hakim akan mempertimbangkan bukti yang merupakan fakta hukum dalam persidangan. Kami berharap hakim akan memberikan putusan yang seadil-adilnya, yaitu membebaskan terdakwa dari tuntutan yang tidak terbukti,” jelas Sabam Antonius Nainggolan.
Menurut Sabam, tindak pidana penggelapan dengan pemberatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 374 KUHP, haruslah jelas mengenai barang apa yang digelapkan dan jumlahnya.
“Jadi bagaimana mungkin alat bukti tanpa kualitas bisa dipergunakan di persidangan. Dengan adanya fakta hukum ini, harapan kami adalah majelis hakim bisa memberikan putusan yang bijak demi mewujudkan hukum yang berkeadilan,” tutupnya.
1
Komentar