Meningkatkan Lahan Pangan per Kapita untuk Kedaulatan Pangan
JAKARTA, (ANTARA) - Indonesia harus memperluas lahan pangan jika serius ingin mewujudkan kedaulatan pangan. Saat ini, luas lahan pangan Indonesia hanya 0,026 hektare (ha) atau 260 meter persegi per kapita sehingga menjadi yang paling sempit di dunia.
Padahal, populasi penduduk Indonesia adalah yang terpadat keempat di dunia. Sebagai perbandingan, Amerika Serikat, yang memiliki populasi ketiga terbesar di dunia, memiliki lahan pangan sebesar 0,511 ha per kapita, sementara India, yang populasinya terbesar di dunia, memiliki lahan pangan 0,131 ha per kapita.
Data ini berbanding terbalik dengan luas kawasan hutan. Hampir 69 persen dari daratan Indonesia, yang luasnya mencapai 189,9 juta hektar, berstatus kawasan hutan.
Sementara itu, kawasan hutan di Amerika Serikat dan India masing-masing hanya 33 persen dan 23 persen.
Secara hukum, kawasan hutan di Indonesia tidak boleh diganggu gugat, meskipun dalam kenyataannya banyak yang telah digunakan untuk berbagai peruntukan, mulai dari semak belukar, tanah terbuka, hingga pertambangan, pemukiman, kawasan transmigrasi, bahkan kota.
Hal ini menciptakan ketimpangan yang cukup signifikan antara lahan yang berpotensi untuk pertanian dengan kawasan yang dilindungi sebagai hutan.
Dengan data ini, sebutan Indonesia sebagai negara agraris sebetulnya hanyalah mitos, sehingga impor pangan memang sulit dihindari dalam kondisi saat ini.
Pemerintah dapat mempertimbangkan pemanfaatan kawasan hutan yang telah terbuka untuk dijadikan lahan pangan.
Namun, ini bukan perkara mudah. Dibutuhkan proses yang kompleks agar status kepemilikan lahan yang digunakan untuk lahan pangan menjadi jelas dan bersih.
Dalam hal ini, peran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional menjadi sangat penting untuk mendukung kedaulatan pangan.
Dalam konteks ini, upaya mewujudkan kedaulatan pangan oleh Kementerian Pertanian tidak hanya terkait dengan pengelolaan sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, tetapi juga tidak bisa dipisahkan dari aspek agraria yang berhubungan dengan status kepemilikan lahan.
Persoalan kepemilikan ini juga terkait dengan aspek sosial termasuk adat sehingga dibutuhkan peran sosiolog dan antropolog agar masyarakat setempat dan publik luas dapat mendukung upaya mewujudkan kedaulatan pangan.
Tanpa adanya dukungan sosial yang kuat, upaya ini akan menghadapi banyak tantangan di lapangan, terutama terkait dengan konflik agraria dan tata ruang wilayah.
Saat ini, masih ada lahan pangan yang diklaim sebagai kawasan hutan yang tidak berhutan seluas 31,8 juta hektare sehingga masalah ini masih terus berlanjut.
Persoalan-persoalan yang dihadapi termasuk masih ada provinsi, kabupaten, dan kota yang belum memiliki rencana tata ruang wilayah (RTRW); lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) belum menjadi bagian integral dari RTRW sehingga alih fungsi lahan sawah menjadi sulit dikendalikan; dan konflik antara RTRW dan penetapan kawasan hutan.
Kemudian masalah sengketa/konflik agraria yang belum terselesaikan; lemahnya konsistensi dalam pelaksanaan aturan; dan perencanaan tanah dan lahan yang belum terintegrasi dengan baik sehingga berbagai masalah tersebut terus muncul.
Kondisi ini menciptakan kerawanan agraria yang pada akhirnya dapat berdampak pada kerawanan nasional.
Kerawanan pangan ini harus segera diatasi dengan tindakan nyata dan cepat. Idealnya, langkah-langkah strategis harus diambil untuk memperkuat sektor pertanian dan mengurangi ketergantungan terhadap impor pangan.
Langkah-langkah tersebut mencakup pemerintah pusat harus memastikan bahwa setiap provinsi, kabupaten, dan kota memiliki RTRW yang terintegrasi; peta LP2B harus dimasukkan ke dalam peta RTRW untuk mencegah alih fungsi lahan sawah yang tidak terkendali; dan status lahan pangan di kawasan hutan harus segera diselesaikan agar status kepemilikannya menjadi jelas, termasuk kemungkinan pembentukan Kawasan Strategis Nasional Pangan (KSNP).
Lalu juga langkah menyelesaikan konflik agraria yang masih berlangsung; penegakan aturan yang lebih tegas untuk mencegah konversi lahan pangan, terutama sawah; dan intensifikasi dan mekanisasi dalam penyelenggaraan pertanian yang lebih terintegrasi dan berkelanjutan.
Perencanaan Matang
Upaya memperluas lahan pangan, seperti mencetak sawah baru, tidak boleh dipahami sebagai langkah instan yang dapat memberikan hasil dalam waktu singkat.
Proses menambah lahan pangan adalah perjalanan panjang yang memerlukan perencanaan matang.
Tanah yang semula berupa lahan terbuka atau semak belukar harus mengalami perubahan fisik, kimia, dan biologi yang signifikan sebelum dapat menjadi media tumbuh yang stabil untuk tanaman pangan.
Proses ini bisa memakan waktu bertahun-tahun, tergantung pada kondisi tanah dan jenis tanaman yang ditanam.
Dalam kasus pencetakan sawah, mengubah lahan kering menjadi lahan basah memerlukan serangkaian proses yang tidak bisa dipercepat.
Jangan berharap bahwa produktivitas sawah akan mencapai 5 ton per hektare hanya dalam 1--2 tahun. Sawah yang baru dibuka biasanya hanya mampu menghasilkan 1--2 ton per hektare pada awalnya.
Hal ini bukanlah kegagalan, melainkan bagian dari proses menuju stabilitas lahan. Lahan sawah di Pulau Jawa, yang mampu menghasilkan 5--10 ton per hektare, adalah hasil dari proses budaya dan pertanian yang panjang, yang melibatkan teknik pengelolaan tanah yang terus berkembang selama berabad-abad.
Hal ini menunjukkan bahwa kedaulatan pangan tidak dapat dicapai dengan cepat, tetapi membutuhkan komitmen jangka panjang dari semua pihak.
Selain itu, penting untuk mempertimbangkan input yang tepat diberikan pada pembukaan lahan pangan baru.
Setiap lahan memiliki karakteristik dan masyarakat yang spesifik sehingga membutuhkan input dan pendekatan masyarakat yang spesifik.
Pelibatan ahli tanah, ahli agronomi, ahli ekonomi, serta ahli sosial seperti sosiolog dan antropolog yang spesifik penting dilakukan agar mimpi Indonesia untuk mewujudkan kedaulatan pangan mencapai hasil yang baik.
*) Penulis adalah Guru Besar Ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB.
1
Komentar