Kisah Penyintas dan Kehilangan yang Tak Terlupakan Setelah 22 Tahun Tragedi Bom Bali
Bangkit dari Keterpurukan, Doa Bersama Jadi Pengingat
Setiap tahun, Lina bersama para penyintas lainnya mengadakan acara doa untuk perdamaian. Mereka berharap tragedi seperti Bom Bali tidak akan terulang kembali
MANGUPURA, NusaBali
Tanggal 12 Oktober 2002 menjadi momen kelam dalam sejarah Indonesia ketika dua ledakan besar mengguncang kawasan Kuta, Badung. Peristiwa mengerikan tersebut menewaskan 202 orang dan melukai ratusan orang lainnya. Bom Bali, yang merupakan salah satu aksi teroris terbesar di Asia Tenggara ini, tidak hanya meninggalkan luka fisik tetapi juga trauma mendalam bagi para korban yang selamat serta keluarga mereka. Di balik tragedi ini, banyak kisah menginspirasi dari para korban yang berhasil bertahan hidup dan bangkit dari keterpurukan.
Salah satu korban yang bertahan hidup dari ledakan tersebut adalah Theolina Marpaung, yang akrab disapa Lina. 22 tahun setelah kejadian, Lina masih mengenang hari mengerikan itu. Pada, Sabtu (12/10) malam itu, ketika dia dan dua temannya terjebak di tengah kepadatan lalu lintas di Jalan Legian, Kuta, tanpa mengetahui apa yang akan terjadi. Pada malam itu, Lina dan dua temannya baru saja meninggalkan acara dengan klien dan sedang dalam perjalanan pulang. Jalan Legian sudah dipenuhi kendaraan.
“Kami tidak bisa berbalik, jadi kami lanjutkan perjalanan meskipun macet,” kenangnya. Tak lama kemudian, Lina merasa seperti mobil mereka ditabrak dari belakang. Sebelum sempat menanyakan lebih lanjut kepada teman-temannya, suara ledakan besar menghentikan semuanya. Ledakan itu membuat dua temannya terhempas ke dashboard, sementara Lina tak lama kemudian kehilangan kesadaran. Ketika Lina akhirnya siuman, ia mendapati dirinya berada dalam kegelapan. “Saya berusaha membuka pintu mobil yang saya kendarai itu dari sisi kiri tetapi tidak bisa, saya coba lagi di sebalah kanan juga nggak bisa. Tetapi mulut saya bilang ‘help, help, help, tolong, tolong,” katanya saat ditemui di Tugu Peringatan Bom Bali, Jalan Raya Legian, Kecamatan Kuta, Badung, Jumat (11/10) sore.
Wanita kelahiran 2 September 1973 ini menceritakan bahwa kehadirannya di Bali bukan untuk berlibur, melainkan karena ia sedang bekerja. Kantornya diundang ke sebuah acara dan atas permintaan klien yang merupakan manajernya, mereka melewati Jalan Raya Legian. Karena klien tersebut yang mengemudikan mobil, Lina ikut bersamanya. Sementara temannya Manager Produksi ada di sebelah kiri. Ketika bom meledak, Lina berada sekitar lima mobil dari lokasi ledakan. Ledakan terjadi di tengah jalan, dan jaraknya sangat dekat dengan mobil mereka. Bahkan, ia merasa tidak mungkin mereka masih hidup karena di media elektronik nama mereka sudah disebut sebagai korban meninggal.
Mobil di depan mereka hancur, dan mobil mereka sendiri juga terkena ledakan. Bahkan saat ibunya yang di Medan, Sumatera Utara dihubungi saat itu, tidak menyangka kalau Lina masih hidup. “Imposible sekali orang bilang kami masih hidup karena kalau di media elektronik nama kami sudah disebut meninggal karena orang yang di depan kami meninggal, mobil kami meletup juga,” tuturnya dengan suara sedikit bergetar.
Di tengah kekalutan, seseorang akhirnya menariknya keluar dari kendaraan. Lina tak tahu siapa orang itu, namun ia berhasil diselamatkan dan dituntun ke sebuah mobil. Hingga kini, dia belum pernah bertemu kembali dengan penolongnya tersebut. “Orang itu bertanya siapa nama saya, mungkin dia bule, karena dia bertanya dalam bahasa Inggris,” tutur Lina.
Lina kemudian dibawa ke rumah sakit SOS oleh bule tersebut, namun semua fasilitas medis penuh sesak dengan korban-korban lain. Lalu ia dipindahkan dengan ambulans ke RS Angkatan Darat selama tiga hari kemudian dipindahkan lagi ke RS Sanglah pada saat itu, di mana dokter mengatakan bahwa lensa mata kirinya pecah dan ia harus segera dioperasi. Meski begitu, Lina tidak sepenuhnya menyadari apa yang terjadi padanya saat itu, karena rasa sakit yang luar biasa. “Saya gak tahu saya diapain pada malam itu karena saya waktu itu sakit sekali. Kalau mata ini saya gerakkan serasa ada pasir di dalamnya tetapi ternyata itu kaca,” ujar wanita yang berprofesi sebagai marketing dan editor di salah satu Publisher ini.
Setelah dua minggu di RS Sanglah, Lina dipindahkan ke Jakarta. Di sana, dia menjalani perawatan di Rumah Sakit Aini di Menteng, Jakarta selama sebulan. Namun, perawatan di Indonesia tidak cukup untuk memulihkan penglihatannya. Dengan bantuan sebuah yayasan dari Bali, Lina mengaku akhirnya diterbangkan ke Australia untuk menjalani serangkaian operasi mata. “Sangat sulit mencari lensa mata yang cocok karena ukuran mata saya kecil, sementara di Australia mata mereka besar-besar,” ungkap Lina. Beruntung, sebuah donor dari Singapura memberikan lensa mata yang cocok untuknya.
Proses pemulihan, kata Lina, tidaklah mudah dan memakan waktu hingga tujuh tahun. Ia harus bolak-balik ke Australia untuk menjalani pemeriksaan rutin. Bahkan hingga saat ini, 22 tahun setelah tragedi tersebut, Lina masih harus melakukan pemeriksaan mata setiap bulan. Mata kirinya yang dipasangi bahan khusus seperti teflon membuatnya sensitif terhadap cahaya terang dan lampu mobil di malam hari.
“Setiap melihat ke bawah, saya bisa melihat ada cincin di dalam mata saya. Penglihatan sekarang kalau siang saya tidak kuat dengan cahaya apalagi kalau malam, ada lampu sorot mobil tidak kuat. Pasti buyar lampunya,” tambahnya.
Tidak hanya luka fisik yang menghantui Lina, tetapi juga trauma psikologis yang mendalam. Hingga kini, bau asap dan kemacetan sering memicu ingatan traumatis tentang malam ledakan tersebut.
Namun, sebelumnya, ia sempat trauma dengan kemacetan, suara mobil ambulans, rumah sakit, hingga pergi ke Kuta. “Kalau pagi-pagi mencium bau asap, pikiran saya langsung kembali ke peristiwa bom itu. Saya harus mencari tahu asal asapnya sebelum bisa merasa tenang,” tuturnya. Meski penuh dengan luka dan trauma, wanita yang juga menjadi Koordinator Yayasan Isana Dewata ini bertekad untuk terus menyuarakan perdamaian. Baginya, peristiwa ini adalah kesempatan kedua yang diberikan Tuhan. Setiap tahun, Lina bersama para penyintas lainnya mengadakan acara doa untuk perdamaian. Mereka berharap tragedi seperti Bom Bali tidak akan terulang kembali.
“Janji iman saya kepada Tuhan karena Tuhan baik kepada saya sudah memberikan hidup yang kedua, saya bilang sampai akhir hidup saya kalau saya bisa untuk melakukan (membuat acara doa perdamaian) pasti akan saya lakukan,” ucapnya penuh harap.
Di sisi lain, Kadek Wina Pawani, saat ini berusia 27 tahun, adalah salah satu korban tidak langsung dari tragedi Bom Bali yang terjadi pada 12 Oktober 2002. Ketika ledakan terjadi, Wina masih berusia lima tahun. Ayahnya, Ketut Sumarawat, adalah salah satu dari ratusan korban tewas dalam peristiwa tersebut. Sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, Wina hanya mengenal ayahnya melalui cerita-cerita yang didengarnya dari orang lain, dan bahkan tidak banyak yang ia ketahui tentang pekerjaannya.
Kadek Wina Pawani, korban tak langsung tragedi Bom Bali. –RIKHA
“Ayah saya seorang driver di sebuah hotel. Saat kejadian bom, ayah sedang mengantarkan tamu ke Sari Club dan menjadi salah satu korban,” ungkap Wina dengan suara lirih. Ayahnya meninggalkan istrinya Nyoman Rencini, dan tiga anak yang masih sangat kecil saat itu, yakni kakaknya Ni Luh Putu Noni Maherni berusia 10 tahun, Wina berusia 5 tahun, dan adiknya Komang Sustapeni yang baru berumur 3 tahun. Namun, yang paling menyedihkan bagi Wina adalah minimnya kenangan tentang sosok sang ayah. Karena ayahnya sering bekerja jauh di Legian, sedangkan Wina tinggal di Singaraja, ia merasa tidak memiliki banyak ingatan tentang sosok ayahnya.
Di rumah, hanya ada satu foto hitam putih sang ayah, yang tidak banyak membantu Wina untuk mengingat kembali kenangan masa kecilnya. "Jujur, saya tidak ingat seperti apa ayah saya. Bahkan wajahnya pun saya lupa," katanya. Kepergian sang ayah tidak hanya meninggalkan luka emosional, tetapi juga tekanan ekonomi yang besar bagi keluarga. Ibunya harus berjuang sendirian untuk menghidupi ketiga anaknya. "Setahun setelah ayah meninggal, ibu saya memutuskan merantau ke Sanur, Denpasar. Ibu bekerja sebagai pedagang keliling di Benoa, sementara kami bertiga masih kecil dan bersekolah. Ibu jarang punya waktu untuk bercerita tentang ayah," kenangnya.
Perjuangan ekonomi yang berat menjadi salah satu hal yang sangat memengaruhi kehidupan mereka. Ibu Wina, yang sebelumnya seorang ibu rumah tangga, harus menghadapi kenyataan membesarkan tiga anak dengan sumber penghasilan yang terbatas. Beruntung, ada banyak orang baik yang membantu mereka, termasuk yayasan yang memberikan beasiswa pendidikan. "Saya dan saudara-saudara saya dapat beasiswa dari yayasan. Tanpa mereka, mungkin kami tidak akan bisa sekolah," ujar Wina penuh syukur.
Wina juga berbagi tentang trauma yang dialaminya. Meskipun trauma fisik tidak terlalu ia rasakan, trauma psikologis terus menghantuinya hingga dewasa. Ia mengaku takut kehilangan orang-orang terdekatnya, terutama sang ibu. "Saya trauma buat ninggalin ibu, takut kehilangan lagi. Trauma ini lebih ke perasaan takut ditinggalkan. Trauma di fisik saya gak terlalu," ungkapnya. Meskipun hidup penuh dengan kesulitan, Wina dan keluarganya terus bertahan. Setiap tahun, Wina mengaku jika dirinya tidak pernah absen dalam peringatan Bom Bali. Peringatan ini menjadi momen penting bagi mereka untuk mengenang sang ayah dan para korban lainnya.
Wina bahkan terlibat aktif dalam acara tersebut, menjadi pembawa acara atau membaca harapan dari perwakilan keluarga korban. Selain itu, jika setiap kali ia pulang kampung ke Sawan, Buleleng, dia selalu melewati makam ayahnya yang sudah diaben dalam upacara Hindu. Setiap kali melewati makam tersebut, ia selalu mengucapkan salam perpisahan, dengan perasaan sedih. “Da dada yaa ke bapak” ungkapnya sedih.
Wina berharap peringatan Bom Bali tetap diadakan setiap tahun agar masyarakat tidak melupakan tragedi yang memilukan ini. Baginya, peringatan ini bukan hanya untuk berduka, tetapi juga sebagai pengingat bahwa satu tindakan kekerasan bisa merusak hidup satu keluarga secara keseluruhan. "Saya berharap pemerintah Bali dan Indonesia lebih memperhatikan korban-korban yang masih hidup. Meskipun kejadian ini sudah lama, tapi luka yang ditinggalkan masih sangat membekas. Kita ingin menyampaikan bahwa kita bertahan. Mari saling merangkul dan tidak menyakiti orang lain. Karena ketika satu orang meninggal, seluruh keluarganya ikut merasakan penderitaan," pungkasnya. 7 ol3
Komentar