Menelusuri Jejak Niskala Beji Waringin Pitu di Desa Adat Kapal, Mengwi, Badung
Mohon Keturunan, Bersihkan Sumbatan Reinkarnasi Leluhur
Tangkil ke Beji Waringin Pitu, umat diimbau membawa dua pejati, bungkak nyuh gading untuk melukat, dan bungkak nyuh gadang untuk tetambaan sesuai jumlah keperluan
MANGUPURA, NusaBali
Beji Waringin Pitu atau disebut pula Pura Taman Beji Waringin Pitu terletak di Banjar Celuk, Desa Adat Kapal, Mengwi, Badung. Pemandian yang disucikan di bantaran Tukad Yeh Penet ini diyakini sebagai tempat melukat dan memohon keturunan.
Beji Waringin Pitu tidak berkaitan langsung dengan prasasti bernama serupa peninggalan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Namun, beji ini berhubungan dengan Pura Kahyangan Dalem Dukuh, tidak jauh dari lokasi beji yang beririsan dengan wilayah Subak Dukuh, Kapal. Pamangku Pura Taman Beji Waringin Pitu, Jero Mangku Ida Bagus Suparsa,72, menuturkan bahwa awalnya beji ini dikelola secara mandiri oleh Geria Aseman, Banjar Celuk, Desa Adat Kapal. Dan sampai saat ini, Beji Waringin Pitu masih ada di areal lahan duwe (milik) geria namun terbuka untuk umum.
"Nah, sebelum dipakai melukat seperti sekarang ini, konon tetua saya dari Geria Aseman menjalankan tetambaan (pengobatan non medis) di sini. Kemudian, akhirnya berubah fungsi menjadi beji dari Pura Dalem Dukuh," ujar Mangku Suparsa, ditemui di beji, Kamis (17/10) bertepatan Purnama Sasih Kapat. Kata pamangku trah Brahmana Mas ini, beji Pura Kahyangan Dalem Dukuh sebelumnya berada di klebutan (mata air) di timur pelaba pura. Namun, suatu waktu di masa lalu, air dari sumber air itu kering sehingga Pura Dalem yang menaungi Banjar Celuk, Kapal dan sekitarnya ini kehilangan pemandian sucinya.
Setelah dikonsultasikan ke niskala, beji Pura Dalem Dukuh diputuskan digeser ke Beji Waringin Pitu seperti sekarang ini. Muasal nama 'Waringin Pitu' tidak diketahui secara jelas namun yang lumrah dipercayai adalah merujuk istilah 'tujuh beringin'. Dahulu, dipercayai ada tujuh beringin yang tumbuh di sekitar areal beji. "Sekarang beringin aslinya itu sudah tidak ada karena dahulu Tukad Yeh Penet ini terkena blabar agung (air bah). Tidak perlu jauh-jauh ke zaman dulu, dua tahun lalu itu kan juga ada air bah, tingginya sampai menutupi area pancoran panglukatan," beber Mangku Suparsa yang juga mantan pekerja pariwisata ini. Beji Waringin Pitu terdiri dari tiga undakan (tingkat) yaitu pura, klebutan, dan pancoran.
Paling atas adalah puranya di mana palinggih padmasari penghormatan kepada Dewa Wisnu dan palinggih papelik sari untuk penghormatan kepada Dewi Gangga berada. Mangku Suparsa menjelaskan, Dewi Gangga yang berstana di Pura Taman Beji Waringin Pitu juga disebut Ida Bhatari Manik Galih. "Disebut Ida Bhatari Manik Galih saat Ida (Dewi Gangga) mengeluarkan energi mistiknya ketika menjalankan pengobatan," ungkapnya.
Lantas, di undakan kedua di bawah pura terdapat mata air yang tidak putus-putus. Di atas sumber air itu terdapat patung arca Sanghyang Candra. Di sisi kiri dan kanan arca Candra, masing-masing terdapat tiga patung arca para acarya/resi yaitu Sanghyang Udaka, Bhaskara, Bregu, Shukra Guru, Wasu, dan Angkara. Di Undakan kedua ini juga terdapat relief pemutaran Gunung Mandara Giri untuk mencari Tirta Amertha.
Oleh karena itu, ada relief naga dan Bedawang Nala muncul dari bawah tanah di depan munculnya sumber mata air. Hal ini untuk simbolisasi mata air di Beji Waringin Pitu bertuah layaknya Tirta Amertha. Pada undakan paling bawah terdapat pancoran berjumlah tujuh. Masing-masing berasal dari mata air yang muncul dari bawah arca Sanghyang Candra di undakan tengah. Pasca penataan Beji Waringin Pitu tahun 1919 Saka/1997 Masehi, ketujuh pancoran itu diberikan relief titik cakra pada tubuh seperti kulit, mata, mulut, hidung, telinga, organ kelamin, dan anus.
Seorang umat sembahyang sebelum melukat di pancoran Beji Waringin Pitu, Banjar Celuk, Desa Adat Kapal, Mengwi, Badung, Kamis (17/10). –NGURAH RATNADI
"Tapi sebelum ditata, waktu saya kecil main-main ke beji, pancorannya memang sudah tujuh jumlahnya. Lay out areal pancoran juga sudah seperti sekarang. Kemudian ditata, dirapikan, dan diberi sentuhan filosofi oleh undagi (arsitek) yang memang beliau paham soal itu," jelas Mangku Suparsa. Selain dituju umat untuk melakukan panglukatan, Beji Waringin Pitu juga didatangi umat untuk pengobatan non medis. Mangku Suparsa mengungkapkan, kebanyakan umat datang selain untuk melukat, juga datang agar dianugerahi keturunan.
Ini pun menurut pengakuan umat yang datang kembali ke Beji Waringin Pitu untuk membayar sesangi (nazar), tidak jarang bersama anak cucu 'buah' sesangi mereka. "Kebanyakan memang memohon keturunan, itu pun saya baru tahu setelah mereka datang lagi dan bilang begitu. Tugas saya hanya melayani umat yang datang," kata Mangku Suparsa.
Jero Mangku Ida Bagus Suparsa. NGURAH RATNADI
Kata pamangku yang memelihara janggut putih ini, doa umat yang memohon keturunan merujuk ke Dewa Wisnu. Sebab, ada kaitannya dengan membersihkan 'jalan reinkarnasi' leluhur. Orang Bali biasanya mengenal istilah 'ngidih nasi' atau 'meminta nasi' yang mengarah ke proses punarbhawa (reinkarnasi). Secara spiritual, keluarga yang sukar dikaruniai keturunan bisa jadi disebabkan jalan reinkarnasi leluhur yang tersumbat. Ketersumbatan ini dapat dipicu lantaran sang santana (keturunan) di mana sang leluhur akan pulang masih kotor baik dari aspek sekala (jasmani) maupun niskala (rohani).
"Karena tersumbat, karena masih kotor baik jasmani dan rohani sehingga anak lingsir (leluhur) tidak mau pulang ngidih nasi. Maka perlulah dia melukat, membersihkan diri di beji. Kalau sepemahaman saya, filosofinya seperti itu," ujar Mangku Suparsa.
Umat yang menempuh jalur niskala untuk memperoleh keturunan tidak saja datang langsung ke Beji Waringin Pitu. Kadang ada pula mertuanya yang datang memohon tirta panglukatan. Tirta itu diambil dari ketujuh pancoran dan disimpan dalam tujuh wadah terpisah. Lantas, dihaturkan lebih dulu ke Pura Taman Beji Waringin Pitu. Sesampai di rumah, ketujuh tirta dari tujuh pancoran itu dicampur ke dalam wadah periuk, diberi benang tridatu, dan sebelas uang kepeng. Kemudian, matur piuning (beri tahu) kepada Ida Bhatara Hyang Guru di merajan untuk memohon panglukatan dengan sumber air dari Beji Waringin Pitu.
"Supaya Ida Bhatara Hyang Guru yang melukat (secara niskala). Melukatnya jangan di dalam merajan tetapi di lebuh (di depan pintu masuk) merajan," imbuh Mangku Suparsa. Selanjutnya, soal keyakinan apakah benar bisa terkabulkan atau tidak, Mangku Suparsa mengembalikan ke diri masing-masing umat. Kata dia, satu pesan yang selalu dikatakan ke umat adalah kalau dikabulkan, jangan eforia. Kalau tidak, jangan larut dalam kesedihan.
Untuk tangkil (datang sembahyang) ke Beji Waringin Pitu, umat diimbau membawa dua pejati, bungkak nyuh (kelapa) gading untuk melukat, dan bungkak nyuh gadang (hijau) untuk tetambaan sesuai jumlah keperluan. Jangan lupa untuk menyiapkan pula perlengkapan sembahyang. Menurut pantauan NusaBali Kamis pagi, umat juga tampak berkegiatan secara mandiri. Untuk yang sekadar melukat, umat datang membawa canang lantas dihaturkan ke palinggih di areal beji. Kemudian, mereka sembahyang sebelum masuk ke area panglukatan di pancoran pitu.
Mangku Suparsa mengatakan, Beji Waringin Pitu lebih dominan dikunjungi umat dari luar Desa Adat Kapal. Umat dari seluruh kabupaten/kota di Bali disebut sudah pernah berkunjung, begitu juga dari luar Bali dan luar negeri seperti turis Eropa Timur. 7 ol1
Komentar