Kasus Dokter Diduga Melakukan Kelalaian Medis
Penasihat Hukum Sebut Ada Indikasi Kriminalisasi
DENPASAR, NusaBali - Tim penasihat hukum terdakwa dr Shillea Olimpia Melyta, 30, asal Banto Utara, Kalimantan Tengah, membantah isi surat dakwaan jaksa atas kasus dugaan kelalaian medis yang menyebabkan pasien Warga Negara Asing (WNA) bernama Jamie Irena Rayer Keet, mengalami efek medis tak diinginkan, dalam sidang lanjutan agenda eksepsi di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Selasa (29/10) sore. Tim penasihat hukum bahkan menyebut ada indikasi kriminalisasi dalam kasus tersebut.
Tim kuasa hukum, yang dipimpin oleh I Wayan ‘Gendo’ Suardana, menyampaikan eksepsi dengan tiga poin utama, yaitu dakwaan jaksa tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) karena tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap. Gendo mengkritisi dakwaan jaksa yang tidak mencantumkan dua dokumen penting, yaitu surat persetujuan tindakan medis dan surat penolakan rujukan.
“Suami korban, Alain David Dick Keet, telah menandatangani persetujuan medical injection dan juga surat penolakan rujukan ketika korban dirawat. Namun, jaksa tidak menyebutkan ini dalam dakwaannya, seolah-olah terdakwa melakukan injeksi tanpa persetujuan,” kata Gendo ditemui usai sidang.
Dia menilai ketiadaan dokumen ini dalam dakwaan membuat fakta hukum menjadi tidak lengkap. Padahal, lanjutnya, dua dokumen tersebut menunjukkan bahwa tindakan medis yang dilakukan oleh terdakwa sudah berdasarkan persetujuan pasien atau perwakilannya. Fakta bahwa suami korban menolak rujukan ke rumah sakit juga menunjukkan bahwa pasien memilih tetap ditangani di klinik, meski sudah disarankan untuk dirujuk ke rumah sakit.
Dalam pemberitaan sebelumnya, diterangkan meskipun sudah mengetahui alergi tersebut, terdakwa tetap memberikan serangkaian injeksi obat, termasuk Antrain, yang diketahui berasal dari golongan obat yang sama dengan Ibuprofen dan Aspirin. Akibatnya, setelah kurang lebih 30 menit menerima injeksi obat-obatan tersebut, Jamie mulai merasakan efek samping berupa pembengkakan di wajah dan mata, serta mengalami sesak napas yang signifikan.
Dalam hal ini, Gendo menjelaskan ketika korban meminta anti-penghilang nyeri, karena dokter tidak memiliki kewenangan untuk memberikan pengobatan narkotik, dokter mengambil langkah untuk memberikan Antrain, meskipun menyadari bahwa obat tersebut dapat memicu reaksi alergi. Tindakan ini diambil dengan risiko yang sudah diperhitungkan, bukan sebagai bentuk kelalaian, ditambah saat itu korban menolak untuk dirujuk ke rumah sakit.
“Dokter sudah memasang anti-alergi untuk mengurangi dampak alergi yang mungkin terjadi. Pemberian obat dilakukan karena korban menolak rujukan, dan terdakwa hanya punya dua pilihan, meninggalkan pasien dalam keadaan kesakitan atau memberikan pengobatan yang diperlukan sesuai sumpah Hippokrates-nya sebagai dokter,” kata Gendo.
Gendo juga menyoroti bahwa saat ini kondisi pasien sudah membaik dan tidak lagi mengalami rasa sakit setelah ditangani. “Faktanya posisi korban saat ini sudah sembuh,” sebutnya.
Lebih lanjut, Gendo menyoroti dua versi rekam medis yang digunakan sebagai bukti dalam perkara ini, yaitu rekam medis yang difoto oleh suami korban dan rekam medis resmi yang disusun oleh terdakwa di klinik. “Nah itu yang di foto dan dibilang rekam medisnya, padahal itu adalah orek-orek (coretan) untuk mengingat obat. Tapi kemudian terdakwa membuat rekam medisnya setelah sampai di tempat praktiknya. Kenapa itu dilakukan? karena pada waktu itu menangani pasien lebih serius dari pada membuat ini,” tegas Gendo.
Menurutnya, penggunaan dua versi rekam medis tersebut seharusnya tidak dijadikan dasar tuduhan pidana karena pelanggaran administratif adalah urusan pemerintah, bukan pengadilan pidana. Dalam hal ini, Gendo menganggap bahwa jaksa telah mencampuradukkan antara permasalahan administratif dan pidana. Selain ketiga poin utama eksepsi tersebut, Gendo juga menegaskan bahwa kasus ini menunjukkan indikasi kriminalisasi terhadap profesi dokter. Gendo menduga bahwa sejak tahap penyelidikan, kasus ini sudah diarahkan ke ranah pidana, meskipun tindakan yang dilakukan oleh terdakwa lebih kepada risiko medis yang diperhitungkan.
“Dokter Shillea tidak pernah meminta bayaran untuk perawatan yang diberikan. Bahkan tagihan sebesar Rp 5 juta yang diberikan kepada korban hingga saat ini belum dibayar. Ini bukan masalah uang, tapi jangan sampai dokter yang menjalankan sumpah profesinya malah diperlakukan sebagai pelaku pidana,” ujar Gendo.
Sebelumnya diberitakan, seorang dokter cantik asal Banto Utara, Kalimantan Tengah bernama Shillea Olimpia Melyta, 30, dihadapkan pada persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar pada Selasa (22/10) lantaran diduga melakukan kelalaian saat menangani seorang pasien. Shillea diduga memberikan injeksi obat kepada pasien Warga Negara Asing (WNA), meskipun pasien sudah menyatakan alergi terhadap obat-obatan tertentu, bukannya sehat pasien malah mengalami luka berat.
Atas kelalaian ini, Shillea Olimpia Melyta didakwa melanggar Pasal 440 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Ancaman hukuman dalam pasal tersebut berupa pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 250 juta. 7 cr79
Komentar