'Waspadai Kenaikan Kredit Macet Sektor Pembiayaan'
Lesunya penyaluran kredit industri pembiayaan saat ini perlu diwaspadai, karena akan berdampak pada kenaikan kredit macet atau kredit bermasalah (non performing finace/NPF) terhadap industri pembiayaan keuangan.
JAKARTA, NusaBali
Demikian peringatan dari pengamat bisnis pembiayaan, Suhartono. Jumlah kredit macet sektor industri pembiayaan kini mungkin sudah di atas 5 persen, namun yang disampaikan kepada Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) hanya sekitar 2,7 persen.
"Jumlah itu menurut saya relatif cukup besar dan bisa berdampak pada pertumbuhan industri lainnya," kata mantan Dirut PT Federal International Finance (FIF) Grup, Suhartono di Jakarta, usai menyampaikan paparan pada workshop keuangan, Rabu (23/8).
Biasanya, katanya, perusahaan tidak melaporkan kredit yang tampak masih baik tetapi sesungguhnya sudah bermasalah, sehingga terjadi perbedaan angka dalam memperkirakan jumlah kredit macet.
Jumlah kredit yang disalurkan FIF tahun ini hampir mencapai Rp70 triliun, dan ACC sekitar Rp30 triliun, sehingga total kredit pembiayaan sampai saat ini bisa lebih dari Rp150 triliun. "Jika 5 persen yang macet, maka sekitar Rp7,5 triliun adalah macet. Itu jumlah yang cukup besar dan dapat membahayakan bagi kalangan industri lainnya, termasuk industri asuransi," ucapnya.
Workshop yang dilakukan Lembaga Study Hukum Indonesia (LSHI) dengan tema ‘Cara Bijak Menanggulangi Kredit Macet’, Suhartono menengarai adanya mal administrasi terhadap para staf dan pimpinan di perusahaan. "Kredit macet terjadi yang pertama karena tidak adanya kehati-hatan dalam menyalurkan kredit. Jika calon debetur tidak mampu mestinya tidak dipaksa diberikan kredit karena hal itu pasti akan bermasalah dikemudian hari. Biasanya, perusahaan hanya berfikir soal target penyaluran agar tercapai, tetapi tidak menganalis dampak dari kemacetan kredit itu, dan faktor kedua adanya daya beli masyarakat yang menurun, karena banyak faktor," katanya.
Dalam kaitan itu, Suhartono memberikan solusi agar jumlah NPL/kredit bermasalah tidak meningkat yakni, menata Sumber Daya Manusia (SDM)-nya yang kuat. Para pekerjanya harus dididik agar mempunyai mental dan karakter yang kuat terhadap visi dan misi perusahaan. Kedua, pimpinan dan para staf harus bekerja seiring, sesuai aturan yang ada. Jangan sampai staf atau bagian kredit menolak pengajuan dari konsumen, tetapi pimpinan justru merekomendasikan. Hal itu akan membuat perusahaan tidak sehat dan tidak taat aturan. Ketiga, suatu perusahaan pembiayaan harus mempunyai sistem internal yang baik yang dapat ditawaran kepada calon debetur dan mudah untuk dilaksanakan di lapangan.
Sementara itu, Ketua LSHI, Dr Laksanto Utomo dalam workshop yang diikuti sekitar 100 orang mengatakan perlunya perusahaan pembiayaan melakukan antisipasi atau penanggulangan sejak dini terhadap kemungkinan kenaikan kredit macet dari industri pembiayaan itu. Data Otoritas Jasa Keuangan/OJK, kata Laksanto, per Desember 2015 rata-rata NPF multifinance sebesar 1,45%. Adapun, pada Maret 2016 angkanya telah meningkat menjadi 1,56%, sementara saat ini sudah mencapai 2,7 %.
Jumlah itu artinya sudah sebagai lampu kuning, dulu orang biasa menggunakan jasa penagih debt collector, anggota tentara atau polisi untuk membantunya. Saat ini cara itu sudah tidak dimungkinkan lagi, karena hukum sudah mulai dijadikan acuan untuk menyelesaikan masalah perdata.
Oleh karenanya, kata Laksanto yang juga Direktur Pasca FH Universitas Kresna Dwipayana, perusahaan harus mulai banyak mengetahui berbagai peraturan yang disampaikan pemerintah agar tidak salah langkah dalam menjalankan operasional perusahaan. Misalnya, saat ini untuk penagihan kredit macet perusahaan tidak bisa kirim langsung debcollector, tetapi harus dengan pendamping atau memberitahukan surat kepada polisi. Biaya penagihan memang akan menjadi mahal, tetapi hal itu sebagai bagian dari penanggulangan kredit bermasalah.
Laksanto juga mengatakan, masih lemahnya daya beli masyarakat dan kondisi makro ekonomi yang belum kondusif, perusahan pembiayaan agar tidak terlalu ekspansif dulu, perlu lebih selektif dalam menerima pengajuan kredit dari konsumen. "Kondisi ekonomi seperti ini kalau dipaksa meningkatkan jumlah pembiayaan, efeknya NPF nantinya dikhawatirkan akan naik, karena itu agar tetap selektif, yakni hanya konsumen yang layak-lah yang perlu dibiayai," pungkasnya. *ant
"Jumlah itu menurut saya relatif cukup besar dan bisa berdampak pada pertumbuhan industri lainnya," kata mantan Dirut PT Federal International Finance (FIF) Grup, Suhartono di Jakarta, usai menyampaikan paparan pada workshop keuangan, Rabu (23/8).
Biasanya, katanya, perusahaan tidak melaporkan kredit yang tampak masih baik tetapi sesungguhnya sudah bermasalah, sehingga terjadi perbedaan angka dalam memperkirakan jumlah kredit macet.
Jumlah kredit yang disalurkan FIF tahun ini hampir mencapai Rp70 triliun, dan ACC sekitar Rp30 triliun, sehingga total kredit pembiayaan sampai saat ini bisa lebih dari Rp150 triliun. "Jika 5 persen yang macet, maka sekitar Rp7,5 triliun adalah macet. Itu jumlah yang cukup besar dan dapat membahayakan bagi kalangan industri lainnya, termasuk industri asuransi," ucapnya.
Workshop yang dilakukan Lembaga Study Hukum Indonesia (LSHI) dengan tema ‘Cara Bijak Menanggulangi Kredit Macet’, Suhartono menengarai adanya mal administrasi terhadap para staf dan pimpinan di perusahaan. "Kredit macet terjadi yang pertama karena tidak adanya kehati-hatan dalam menyalurkan kredit. Jika calon debetur tidak mampu mestinya tidak dipaksa diberikan kredit karena hal itu pasti akan bermasalah dikemudian hari. Biasanya, perusahaan hanya berfikir soal target penyaluran agar tercapai, tetapi tidak menganalis dampak dari kemacetan kredit itu, dan faktor kedua adanya daya beli masyarakat yang menurun, karena banyak faktor," katanya.
Dalam kaitan itu, Suhartono memberikan solusi agar jumlah NPL/kredit bermasalah tidak meningkat yakni, menata Sumber Daya Manusia (SDM)-nya yang kuat. Para pekerjanya harus dididik agar mempunyai mental dan karakter yang kuat terhadap visi dan misi perusahaan. Kedua, pimpinan dan para staf harus bekerja seiring, sesuai aturan yang ada. Jangan sampai staf atau bagian kredit menolak pengajuan dari konsumen, tetapi pimpinan justru merekomendasikan. Hal itu akan membuat perusahaan tidak sehat dan tidak taat aturan. Ketiga, suatu perusahaan pembiayaan harus mempunyai sistem internal yang baik yang dapat ditawaran kepada calon debetur dan mudah untuk dilaksanakan di lapangan.
Sementara itu, Ketua LSHI, Dr Laksanto Utomo dalam workshop yang diikuti sekitar 100 orang mengatakan perlunya perusahaan pembiayaan melakukan antisipasi atau penanggulangan sejak dini terhadap kemungkinan kenaikan kredit macet dari industri pembiayaan itu. Data Otoritas Jasa Keuangan/OJK, kata Laksanto, per Desember 2015 rata-rata NPF multifinance sebesar 1,45%. Adapun, pada Maret 2016 angkanya telah meningkat menjadi 1,56%, sementara saat ini sudah mencapai 2,7 %.
Jumlah itu artinya sudah sebagai lampu kuning, dulu orang biasa menggunakan jasa penagih debt collector, anggota tentara atau polisi untuk membantunya. Saat ini cara itu sudah tidak dimungkinkan lagi, karena hukum sudah mulai dijadikan acuan untuk menyelesaikan masalah perdata.
Oleh karenanya, kata Laksanto yang juga Direktur Pasca FH Universitas Kresna Dwipayana, perusahaan harus mulai banyak mengetahui berbagai peraturan yang disampaikan pemerintah agar tidak salah langkah dalam menjalankan operasional perusahaan. Misalnya, saat ini untuk penagihan kredit macet perusahaan tidak bisa kirim langsung debcollector, tetapi harus dengan pendamping atau memberitahukan surat kepada polisi. Biaya penagihan memang akan menjadi mahal, tetapi hal itu sebagai bagian dari penanggulangan kredit bermasalah.
Laksanto juga mengatakan, masih lemahnya daya beli masyarakat dan kondisi makro ekonomi yang belum kondusif, perusahan pembiayaan agar tidak terlalu ekspansif dulu, perlu lebih selektif dalam menerima pengajuan kredit dari konsumen. "Kondisi ekonomi seperti ini kalau dipaksa meningkatkan jumlah pembiayaan, efeknya NPF nantinya dikhawatirkan akan naik, karena itu agar tetap selektif, yakni hanya konsumen yang layak-lah yang perlu dibiayai," pungkasnya. *ant
Komentar