Orang Bali Tak Maju-maju?
JIKA ada yang ingin tahu dan mendalami, bagaimana orang-orang menghargai masa lalu, datanglah ke Bali.
Bagi orang Bali, masa silam, sejarah, tak cuma rentetan peristiwa, tapi masa-masa suci yang terus mengintip kehidupan seseorang sampai kapan pun, dan di mana pun ia berada. Tak seorang Bali pun bisa terbebas dari masa lalu. Bahkan hampir semua yakin dan percaya, setiap orang adalah jelmaan dari masa silam, serpihan sejarah.
Masa lalu itu adalah waktu dan tempat para leluhur dan nenek moyang hidup. Apa pun yang mereka lakukan, tetap saja berbias hingga kini dan nanti. Orang Bali percaya, peristiwa-peristiwa yang menimpa nenek moyang mereka, akan terulang kembali pada kehidupan anak cucu. Artinya, kehidupan yang dialami orang-orang Bali kini adalah hukum alam, pengulangan dan kelanjutan dari kehidupan leluhur mereka dulu.
Ada sebuah keluarga yang terlalu fanatik pada masa lalu, sehingga setiap anak perempuan kawin di keluarga itu, mereka diliputi kecemasan. Lazimnya, jika si anak perempuan kawin dan mapamit, dibuatkan banten natab begitu hendak diboyong pengantin laki. Namun turun temurun di keluarga itu percaya, membuat banten untuk si gadis, pasti mendatangkan malapetaka.
Tentu tak setiap generasi sudi menerima aturan ini. “Apa dosa putri saya sehingga saya dilarang membuatkan banten?” keluh seorang ibu di keluarga itu.
Konon, sudah berulangkali terjadi, setiap gadis yang berangkat kawin di keluarga besar itu, dan dibuatkan sesaji mapamit, rumah tangga mereka berantakan. Beberapa bercerai, yang lain tak punya keturunan, selebihnya berselingkuh. Pokoknya kacau.
Tapi banyak juga orang Bali yang berani melabrak masa lalu, melawan arus sejarah.
Seorang anak muda di Klungkung dilarang oleh orangtuanya menikahi gadis satu desa, karena pernikahan pasangan satu desa biasanya berakhir dengan cekcok, perceraian, yang dapat merembet menjadi perseteruan antarkeluarga. Contohnya ada beberapa, dan pasti banyak kalau ditelusuri terus sejarahnya ke zaman silam. Tapi, dasar anak muda, ia mendobraknya.
“Saya mencintainya, dia tulus menerima saya, mengapa saya dilarang kawin hanya karena kita percaya pada takhayul? Memangnya saya kawin sama legenda dan mitos?” teriak laki-laki itu sengit.
“Saya sudah pacaran berulangkali, dengan banyak perempuan dari separo Indonesia. Saya pernah lengket dengan bule dan cewek Jepang. Tapi, sungguh, wanita ini adalah pilihan terakhir saya,” kata laki-laki bertato di dada itu, yang dijuluki playboy nomor wahid oleh kawan-kawannya. Karena itu banyak yang menuduh, ia kawin dengan gadis sedesa cuma untuk main-main saja, mempermainkan si gadis, meremehkan keluarganya.
Sang ayah mencoba menentang, namun lelaki belia itu ngotot. Mereka akhirnya kawin, kini beranak dua, hidup bahagia. Entahlah nanti, mudah-mudahan seterusnya mereka gembira, bebas dari kutukan sejarah, lepas dari cengkeraman masa lalu, terhindar dari hujatan leluhur.
Bagi orang Bali, setelah Hyang Widhi, yang paling mereka takuti adalah leluhur. Setelah Tuhan, yang mereka paling cintai, paling dihargai, paling mereka banggakan, paling dipuja, adalah nenek moyang. Dan leluhur berarti masa silam, zaman lampau, saat-saat yang sebenarnya begitu sulit dibayangkan, sangat susah diraba. Namun orang Bali sangat mencintai dan mendambakannya. Hidup bahagia, sedih dan gembira, bergelimang harta, atau menderita hina papa, semua itu sesungguhnya tak semata atas kehendak Hyang Widhi, namun juga keinginan leluhur.
Jika sebuah keluarga buut (kacau balau), sanak saudara sakit tak jelas juntrungannya, banyak anggota keluarga ngandang nganjuh (bertingkah aneh macam-macam), nyeleneh, semau gue, tindak tanduknya seperti orang sinting, malas sekolah, suka berjudi; orang Bali percaya, semua itu atas kehendak leluhur. Mereka menganggap para pitara memberi peringatan keras agar mereka ingat pada leluhur.
Biasanya, orang-orang Bali yang ditimpa kemalangan semacam itu akan memperbaiki sanggah (merajan), tempat ibadah keluarga, palinggih leluhur, pitara, nenek moyang, yang bahkan mereka yakini telah menjadi dewa batara. Di merajan, mereka melantunkan doa-doa sarat permohonan ampun karena keliru menghayati masa silam.
Kalau sudah begini, tidakkah berarti orang Bali sesungguhnya lebih sering berkiblat ke masa silam tinimbang berpikir kreatif untuk masa depan? Tidakkah pertanyaan ini lambat laun menjadi kesimpulan dan tudingan: kalau begitu, pantas banyak orang Bali tak maju-maju, karena waktu mereka habis untuk mikirin masa lalu. 7
Komentar