MUTIARA WEDA : Manusia Abu-abu
Pengetahuan yang diberikan hanya kepada penerima yang sesuai yang akan menghasilkan sesuai harapan.
Kriyaa hi vastoopahutaa praseedati.
(Raghuvamsam, Mahakavi Kalidasa)
Kalidasa, dalam karya monumentalnya, ‘Raghuvamsa’, menyatakan sebuah kebenaran yang tak terbantahkan, tetapi sangat menyakitkan bagi kita. Mengapa demikian? Karena kebenarannya seperti demikian, seperti halnya keris dengan sarungnya, dimana keris itu bisa masuk ketika sarungnya tepat. Kenapa menyakitkan? Karena sistem pendidikan dewasa ini memaksakan jenis dan bentuk keris yang sama agar bisa masuk ke dalam jenis dan bentuk sarung yang berbeda. Sisi gelap pendidikan adalah menampilkan jenis pengetahuan yang seragam kepada murid yang yoninya (kapasitasnya) beragam.
Tapi apa boleh buat, sebab membuat standar pendidikan berdasarkan pada kapasitas murid itu sangatlah sulit. Bagaimana kita mampu memberikan sebuah penilaian dalam suatu pendidikan dengan standar pada kapasitas murid? Secara nasional hal itu tidak mungkin. Hanya ketika jenis pengetahuan yang diberikan standar dan kemudian diikuti oleh seluruh siswa, penilaian bisa ditentukan sesuai standar tersebut. Dengan cara seperti itu, Negara mampu mengukur kualitas pendidikan yang diselenggarakan secara nasional. Maka dari itu, tugas para pendidik di sekolah adalah mencoba dengan berbagai cara agar pengetahuan yang telah distandarisasi tersebut mampu mempenetrasi siswa di sekolah. Anak akan dinilai pintar apabila mampu mengikuti semua pelajaran dengan baik. Orang tua, yang menginginkan anaknya kelihatan pintar juga ikut ambil bagian dalam proses pempenetrasian standar pengetahuan tersebut. Para orang tua sibuk mengirim anaknya untuk mengikuti les tambahan setelah jam sekolah berakhir.
Anak-anak akhirnya belajar dari baru bangun sampai malam sepanjang hari agar dianggap mampu menguasai berbagai jenis pelajaran yang distandarkan. Namun, apakah pelajaran yang mereka berhasil kuasai berbanding lurus dengan hasilnya? Apakah kemudian anak-anak mampu menerapkan semua itu dalam kehidupannya? Apakah mereka menjadi serba bisa setelah mengikuti berbagai pengetahuan yang telah distandarkan tersebut? Setelah beberapa tahun berlalu, biasanya, hampir sebagian besar anak-anak melupakan apa yang telah dipelajarinya itu. Dia hanya mengingat sedikit saja, dan itu pun karena anak itu tertarik dengan pelajaran itu. Akhirnya hanya pengetahuan yang sedikit diingatnya itulah yang menjadi penuntunnya, apa yang harus dia lalukan dalam kehidupannya. Dan, karena dia ingat sedikit, dia juga tidak bisa berekspresi dan berinovasi secara maksimal. Akhirnya, sampai menjelang mati, dia tidak mampu mencapai puncak. Dia tetap menjadi manusia setengah-setengah. Sukses tidak, gagal juga tidak. Gelap tidak, terang juga tidak. S
emuanya abu-abu.
Seperti itulah mengapa ungkapan di atas menyakitkan bagi kita. Lalu apa yang bisa kita lakukan agar kebenaran itu bisa diraih? Bagaimana agar sistem pendidikan kita tepat sasaran, yakni, pengetahuan yang diberikan kepada siswa agar tidak sia-sia? Sia-sia yang dimaksudkan seperti ini: pelajaran matematika diberikan kepada siswa dari SD sampai SMA.
Ratusan rumus diberikan kepada mereka. Tetapi hanya beberapa siswa saja yang suka matematika. Karena harus dipelajari, sebagian besar siswa lainnya harus pontang-panting bagaimana pelajaran itu bisa masuk ke benaknya. Namun, setelah beberapa tahun tamat, anak itu akhirnya melupakan ratusan rumus tersebut dan hanya mengingat empat saja yang biasa digunakan sehari-hari, yakni: penambahan, pengurangan, pembagian dan pengalian. Jadi pegetahuan matematika mereka akhirnya sama dengan mereka yang tidak sekolah sama sekali. Ini yang dimaksudkan sia-sia. Apa yang bisa dilakukan sebenarya sederhana, tetapi memerlukan keberanian, dedikasi, totalitas, kontinyuitas, dan strategi yang tangguh.
Apa itu? Pendidikan harus mengarah pada student oriented. Yang seperti apa student oriented tersebut? Sistem ini hanya bisa terlaksana hanya ketika tugas guru berubah. Seperti apa perubahannya? Guru tidak lagi hanya bertugas mendidik atau mengajar murid dari yang tidak tahu agar menjadi tahu. Lebih dari itu adalah guru bertugas menemukan yoni atau kapasitas yang ada pada diri murid dan kemudian men-treatment-nya secara tepat.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Dosen Fak. Brahma Widya IHDN Denpasar
(Raghuvamsam, Mahakavi Kalidasa)
Kalidasa, dalam karya monumentalnya, ‘Raghuvamsa’, menyatakan sebuah kebenaran yang tak terbantahkan, tetapi sangat menyakitkan bagi kita. Mengapa demikian? Karena kebenarannya seperti demikian, seperti halnya keris dengan sarungnya, dimana keris itu bisa masuk ketika sarungnya tepat. Kenapa menyakitkan? Karena sistem pendidikan dewasa ini memaksakan jenis dan bentuk keris yang sama agar bisa masuk ke dalam jenis dan bentuk sarung yang berbeda. Sisi gelap pendidikan adalah menampilkan jenis pengetahuan yang seragam kepada murid yang yoninya (kapasitasnya) beragam.
Tapi apa boleh buat, sebab membuat standar pendidikan berdasarkan pada kapasitas murid itu sangatlah sulit. Bagaimana kita mampu memberikan sebuah penilaian dalam suatu pendidikan dengan standar pada kapasitas murid? Secara nasional hal itu tidak mungkin. Hanya ketika jenis pengetahuan yang diberikan standar dan kemudian diikuti oleh seluruh siswa, penilaian bisa ditentukan sesuai standar tersebut. Dengan cara seperti itu, Negara mampu mengukur kualitas pendidikan yang diselenggarakan secara nasional. Maka dari itu, tugas para pendidik di sekolah adalah mencoba dengan berbagai cara agar pengetahuan yang telah distandarisasi tersebut mampu mempenetrasi siswa di sekolah. Anak akan dinilai pintar apabila mampu mengikuti semua pelajaran dengan baik. Orang tua, yang menginginkan anaknya kelihatan pintar juga ikut ambil bagian dalam proses pempenetrasian standar pengetahuan tersebut. Para orang tua sibuk mengirim anaknya untuk mengikuti les tambahan setelah jam sekolah berakhir.
Anak-anak akhirnya belajar dari baru bangun sampai malam sepanjang hari agar dianggap mampu menguasai berbagai jenis pelajaran yang distandarkan. Namun, apakah pelajaran yang mereka berhasil kuasai berbanding lurus dengan hasilnya? Apakah kemudian anak-anak mampu menerapkan semua itu dalam kehidupannya? Apakah mereka menjadi serba bisa setelah mengikuti berbagai pengetahuan yang telah distandarkan tersebut? Setelah beberapa tahun berlalu, biasanya, hampir sebagian besar anak-anak melupakan apa yang telah dipelajarinya itu. Dia hanya mengingat sedikit saja, dan itu pun karena anak itu tertarik dengan pelajaran itu. Akhirnya hanya pengetahuan yang sedikit diingatnya itulah yang menjadi penuntunnya, apa yang harus dia lalukan dalam kehidupannya. Dan, karena dia ingat sedikit, dia juga tidak bisa berekspresi dan berinovasi secara maksimal. Akhirnya, sampai menjelang mati, dia tidak mampu mencapai puncak. Dia tetap menjadi manusia setengah-setengah. Sukses tidak, gagal juga tidak. Gelap tidak, terang juga tidak. S
emuanya abu-abu.
Seperti itulah mengapa ungkapan di atas menyakitkan bagi kita. Lalu apa yang bisa kita lakukan agar kebenaran itu bisa diraih? Bagaimana agar sistem pendidikan kita tepat sasaran, yakni, pengetahuan yang diberikan kepada siswa agar tidak sia-sia? Sia-sia yang dimaksudkan seperti ini: pelajaran matematika diberikan kepada siswa dari SD sampai SMA.
Ratusan rumus diberikan kepada mereka. Tetapi hanya beberapa siswa saja yang suka matematika. Karena harus dipelajari, sebagian besar siswa lainnya harus pontang-panting bagaimana pelajaran itu bisa masuk ke benaknya. Namun, setelah beberapa tahun tamat, anak itu akhirnya melupakan ratusan rumus tersebut dan hanya mengingat empat saja yang biasa digunakan sehari-hari, yakni: penambahan, pengurangan, pembagian dan pengalian. Jadi pegetahuan matematika mereka akhirnya sama dengan mereka yang tidak sekolah sama sekali. Ini yang dimaksudkan sia-sia. Apa yang bisa dilakukan sebenarya sederhana, tetapi memerlukan keberanian, dedikasi, totalitas, kontinyuitas, dan strategi yang tangguh.
Apa itu? Pendidikan harus mengarah pada student oriented. Yang seperti apa student oriented tersebut? Sistem ini hanya bisa terlaksana hanya ketika tugas guru berubah. Seperti apa perubahannya? Guru tidak lagi hanya bertugas mendidik atau mengajar murid dari yang tidak tahu agar menjadi tahu. Lebih dari itu adalah guru bertugas menemukan yoni atau kapasitas yang ada pada diri murid dan kemudian men-treatment-nya secara tepat.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Dosen Fak. Brahma Widya IHDN Denpasar
Komentar