PHDI Pusat Gelar Abhiseka Samapta Dwiyottama Siwala dan Parisudha Agung Paripurna Candi Prambanan
Diharapkan Dapat Menguatkan Ikatan Umat Hindu Nusantara
Melalui berbagai kajian diketahui Abhiseka pertama Candi Prambanan dilakukan pada tanggal Ekadasi Suklapaksa Margasira atau 12 November 856 Masehi
JOGJAKARTA, NusaBali
Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) untuk pertama kalinya menggelar Abhiseka Samapta Dwiyottama Siwala bersamaan dengan Parisudha Agung Paripurna atau Pujawali/Piodalan di Candi Prambanan, Kabupaten Sleman, DI Jogjakarta yang puncaknya dilaksanakan pada Anggara Pon Merakih, Selasa (12/11).
"Untuk pertama kalinya, PHDI Pusat melaksanakan upacara Parisudha Agung Paripurna di Candi Prambanan. Upacara ini merupakan Pujawali atau Piodalan bagi Candi Prambanan yang dirayakan berdasarkan perhitungan penanggalan Sasih," ujar Ketua Umum Pengurus Harian PHDI Pusat, Mayjen TNI (Purn) Wisnu Bawa Tenaya dalam sambutannya pada acara Abhiseka Samapta Dwiyottama Siwala dan Parisudha Agung Paripurna pada, Selasa kemarin.
Upacara gabungan Abhiseka dan Parisudha Agung Paripurna ini berjalan lancar dihadiri dan dipuput oleh 7 pandita di antaranya Ida Pandita Agung Putra Nata Siliwangi yang juga adalah Sekretaris Sabha Pandita PHDI Pusat, Ida Pandita Mpu Jaya Brahmananda, dan Romo Rsi Asto Dharmo Eka Telabah. Sebagai informasi Parisudha Agung Paripurna adalah puncak pujawali yang dirayakan di hari sakral. Waktu pelaksanaannya ditentukan berdasarkan kajian mendalam yang melibatkan FGD (Focus Group Discussion) pada bulan Oktober 2023 di Universitas Hindu Negeri (UHN) IGB Sugriwa Denpasar.
Para Penari JakJaBan saat pentas menari di Pelataran Candi Prambanan. –IST
Diskusi ini menghadirkan pakar-pakar terkemuka, termasuk Guru Besar Arkeologi dari Universitas Indonesia Prof Arismunandar, serta Pakar Wariga dari UHN IGB Sugriwa Dr Gede Sutarya. Melalui kajian tersebut, diketahui bahwa Abhiseka pertama untuk Candi Prambanan dilakukan pada tanggal Ekadasi Suklapaksa Margasira atau 12 November 856 Masehi.
Dalam sambutannya, Wisnu Bawa Tenaya juga menyampaikan bahwa upacara ini menjadi simbol kebangkitan spiritual Hindu di Nusantara. "Tahun 2024 adalah tahun yang istimewa, karena Abhiseka dan Parisudha Agung Paripurna jatuh di hari yang sama. Semoga ini adalah sinyal dari semesta, bahwa umat Hindu akan semakin kuat dalam ikatan persatuan. Sebagaimana yang kita lihat hari ini di pelataran Candi Prambanan, warisan kejayaan leluhur Hindu di Nusantara," ujar Wisnu Bawa Tenaya yang juga menjabat Sekretaris Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila ini.
"Peradaban Hindu dalam perjalanan sejarahnya yang panjang di Nusantara telah memberikan sumbangsih yang signifikan bagi bangsa Indonesia, salah satunya melalui spirit Bhinneka Tunggal Ika. Selain itu ajaran Panca Satya sebagai basis moral untuk membangun umat yang rukun, kuat dan berintegritas," jelasnya lebih lanjut.
Ketua Umum Pengurus Harian PHDI Pusat, Mayjen TNI (Purn) Wisnu Bawa Tenaya saat memberikan sambutan.-IST
Upacara Parisudha Agung Paripurna ini diharapkan dapat menguatkan ikatan umat Hindu di seluruh Nusantara, sekaligus meneguhkan Candi Prambanan sebagai warisan budaya yang menjadi simbol persatuan. Prambanan, dengan arsitektur dan nilai spiritualnya, tidak hanya merupakan warisan kebanggaan Indonesia, namun juga simbol bagi kesatuan dan keharmonisan seluruh umat Hindu di Indonesia. Sejak tahun 2019, upacara Abhiseka rutin dilaksanakan, dan tahun ini menjadi yang kelima.
Tahun 2024 menjadi sangat istimewa, karena waktu Parisudha Agung Paripurna yang mengacu pada kalender Sasih, jatuh tepat pada tanggal 12 November, bersamaan dengan peringatan Abhiseka berdasarkan penanggalan Masehi. Dengan demikian, upacara Abhiseka dan Parisudha Agung Paripurna berlangsung bersamaan, menandai keharmonisan perhitungan waktu antara tradisi Sasih dan Masehi.
Turut menghadiri peristiwa langka dan istimewa ini, di antaranya Mayjen TNI (Purn) Wisnu Bawa Tenaya, Ketua Umum Pengurus Harian PHDI Pusat, Gede Narayana, Ketua Umum Panitia Perayaan Hari Suci Nyepi Tahun Saka 1947, I Gusti Ngurah Putra, Ketua Panitia Abhiseka ke 6, I Nyoman Ariawan Atmaja, Ketua Team Kerja Pemanfaatan Candi Prambanan, I Wayan Dharmawan, Ketua Umum Pimpinan Pusat KMHDI, I Gede Eka Sudarwitha, Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Badung dan Nyoman Warta, Ketua PHDI DI Jogjakarta.
Sementara berbagai pihak turut terlibat dalam rangkaian upacara Abhiseka Samapta Dwiyottama Siwala dan Parisudha Agung Paripurna atau Pujawali/Piodalan Candi Prambanan. Seperti yang dilakukan para penari dari Provinsi Jakarta, Jawa Barat dan Banten berkolaborasi mengisi salah satu rangkaian acara Abhiseka Candi Prambanan ke 1.168 ini. Mereka yang tergabung dalam Paguyuban JakJaBan ini membawakan Tarian Pendet dan Tarian Rejang Taksu Bhuana dalam acara ini.
"Setiap 12 November ada Abhiseka Candi Prambanan. Sebelum puncak acara, ada sejumlah rangkaian acara yang dilakukan pada tanggal 10 dan 11 November. Kami ibu-ibu penari dari JakJaBan membawakan dua tarian," ujar Koordinator Penari JakJaBan, Putu Prapti Utami kepada NusaBali, Selasa kemarin. Prapti Utami mengatakan, Penari JakJaban mengisi acara pada Minggu (10/11). Minggu pagi, mereka membawakan tari Pendet saat pembukaan dan penyambutan tamu-tamu kehormatan seperti pandita, pinandita, rsi, pamangku dan pejabat setempat. Sore hari, mereka menari tarian Rejang Taksu Bhuana saat Upacara Matur Piuning.
Mereka juga ikut Purwadaksina atau mengelilingi Candi Prambanan sebanyak tiga kali. Ada 32 penari yang membawakan tarian tersebut. Mereka dilatih oleh Ni Ketut Sukarni.
Latihan berlangsung di lokasi masing-masing. Kemudian, mereka melakukan latihan gabungan tiga kali di Pura Aditya Jaya, Rawamangun, Jakarta Timur. Putu Prapti Utami menjelaskan, Penari JakJaBan terbentuk secara spontan karena memiliki spirit yang sama untuk melestarian budaya selain menjalani ritual. Penari Jakarta berasal dari Jakarta Timur, Jakarta Barat dan Jakarta Selatan. Sementara penari Jawa Barat dari Ciangsana, Bekasi dan Bogor. Penari Banten berasal dari Serang, Sodong dan Ciledug. Ketika mengisi acara, lanjut Putu Prapti Utami, cuaca sejuk. Mereka pun, terbawa oleh suasana sakral saat itu. Beberapa penari JakJaBan ada yang menangis, karena merasa haru dengan suasana tersebut. Terlebih, tidak semua orang bisa menari di sana.
"Suasana religi, kebatinan dan sakral sangat terasa sehingga ada penari yang menangis. Kami sangat bersyukur bisa menari di Candi Prambanan, karena tidak sembarangan orang bisa menari di sana tanpa se izin panitia," papar Prapti Utami. 7
1
Komentar