nusabali

Bullying pada Anak dengan Kanker: Bukti Hak Anak Belum Terpenuhi

  • www.nusabali.com-bullying-pada-anak-dengan-kanker-bukti-hak-anak-belum-terpenuhi

DENPASAR, NusaBali.com- Bullying atau perundungan bukan permasalahan baru di Indonesia. Data UNICEF (2020) menunjukkan, 41% anak-anak usia pelajar di Indonesia pernah mengalami perundungan lebih dari sekali dalam satu bulan. Perilaku ini dapat diidentifikasi dengan adanya kesengajaan untuk menyakiti, perbedaan relasi kuasa antara pelaku dan korban, dan terjadi berulang kali.

Meski bullying dapat dialami oleh siapa saja, anak-anak dari kelompok rentan seperti anak dengan kanker, memiliki risiko lebih besar menjadi korban (Collins et al., 2018). Sebuah penelitian menyebutkan tingkat bullying pada anak dengan kanker 32.2% lebih sering terjadi dibandingkan anak pada umumnya (Fardell et al., 2024). Adanya bullying terhadap anak dengan kanker adalah bukti hak anak belum terpenuhi secara sempurna. 

Foto: Pita Kuning Sosialisasi dan Beraktivitas dengan Sekolah Swasta Jakarta. -IST

Bentuk dan Penyebab Bullying pada Anak dengan Kanker

Secara umum, perundungan terbagi menjadi 4 bentuk yakni: fisik, verbal, sosial, dan siber  (Smith et al., 2008). Perundungan fisik adalah aksi yang mengakibatkan cedera fisik seperti memukul dan menendang. Sedangkan perundungan verbal adalah upaya menyakiti dengan kata-kata seperti mengejek, memaki, atau mengancam. Apabila tindakan ditujukan untuk pengucilan dan merusak reputasi seseorang maka disebut perundungan sosial. Terakhir, jika bullying terjadi secara daring disebut cyber-bullying.

Ketua Yayasan Pita Kuning Anak Indonesia (Pita Kuning), Tyas Amalia, menyampaikan anak dengan kanker kerap menjadi korban bullying, terutama verbal, karena dampak dari perawatan yang dijalani. 

“Saat anak-anak melakukan perawatan, fisik mereka mengalami perubahan – seperti kebotakan atau penggunaan kursi roda karena kesulitan berjalan. Perbedaan fisik, yang tidak biasa ditemui pada teman seumurannya inilah yang menyebabkan anak pejuang kanker dapat perlakuan tidak menyenangkan,” jelas Tyas. 

Selain perubahan fisik, perubahan sosial juga berpengaruh dengan penerimaan anak dengan kanker di lingkungan sekitar. Ketika anak kurang terlibat pada aktivitas bermain dan bersekolah misalnya, membuat anak dengan kanker banyak menerima olokan dan target bullying (Collins et al., 2018). 

Dampak Bullying pada Anak dengan Kanker

Bullying yang dialami anak dengan kanker, baik di sekolah maupun lingkungan sekitar, berdampak pada psikologis dan sosial anak. 

“Salah satu anak di Pita Kuning karena badannya sangat kurus, tidak memiliki rambut, berbeda dari teman-teman lainnya, sehingga suka diledek dengan panggilan buruk oleh teman-temannya. Akhirnya ia jadi lebih suka menyendiri, tidak mau pergi ke sekolah, dan memilih untuk selalu memakai topi karena takut akan di-bully kembali,” cerita Shaqila Noor, social service officer atau pekerja sosial profesional – pendamping anak dengan kanker di Pita Kuning. 

Selain penurunan prestasi dan putus sekolah, perundungan pada anak dengan kanker juga memicu masalah mental (takut atau cemas berlebihan), gangguan tidur, dan kehilangan teman di sekolah atau di luar sekolah. 

Hentikan Perundungan, Penuhi Hak Anak

Hak-hak anak belum sepenuhnya terpenuhi selama masih ada perundungan. Banyaknya dampak negatif ditimbulkan, khususnya pada anak dengan kanker di Indonesia, adalah peringatan bullying harus dihentikan. Hal ini sesuai dengan komitmen yang telah disepakati pada Konvensi Hak Anak yang menjamin keamanan serta pendidikan setiap anak. 

Pita Kuning, selaku yayasan yang bervisi meningkatkan kualitas hidup anak dengan kanker, melakukan advokasi kepada sekolah-sekolah dan lingkungan rumah anak Pita Kuning untuk menangani perundungan. 

“Yang semula lingkungan sekolah mengira bahwa kanker itu menular, belum paham kenapa beberapa anak harus tinggal kelas karena pengobatan, akhirnya menjadi lebih paham. Hasilnya, bullying tidak terjadi kembali karena stigma negatif warga sekolah mengenai kanker pada anak dapat  diatasi,” ungkap Tyas Amalia, Ketua Pita Kuning. 

Meski demikian, untuk membentuk lingkungan yang sepenuhnya aman diperlukan campur tangan seluruh elemen. Mulai dari keluarga, sekolah, pemangku kepentingan, hingga masyarakat secara luas. “Sudah saatnya kita semua bergandengan tangan untuk menghentikan perundungan. Karena bermain, bersekolah, dan merasa aman adalah hak bagi seluruh anak,” tutup Tyas Amalia. *

Komentar