Merasa Bangga, Warga Jepang Kunjungi Nenek Moyang yang Gugur di Margarana
Puputan
Margarana
Jepang
Perang Dunia II
Kataoka Akiyuki
Konjen Jepang
I Gusti Ngurah Rai
Ciung Wanara
Puputan Margarana
TABANAN, NusaBali.com - Selain masyarakat Bali, warga Jepang juga turut mengunjungi Taman Pujaan Bangsa (TPB) Margarana saat Hari Puputan Margarana, Rabu (20/11/2024). Bukan sebagai wisatawan, tetapi menengok jejak nenek moyang mereka yang gugur pada peristiwa bersejarah 78 tahun silam.
Setiap peringatan Hari Puputan Margarana, sekelompok warga Jepang pasti terlihat di antara kerabat pejuang yang sedang berziarah di tugu nisan TPB Margarana. Mereka berkeliling melakukan tabur bunga dari tugu nisan I Gusti Ngurah Rai, kemudian ke tugu-tugu nisan yang lain.
Apa yang dilakukan warga Jepang ini bukannya tanpa alasan. Sebab, di antara Pasukan Ciung Wanara yang gugur dalam pertempuran melawan pasukan Belanda di Banjar Kelaci, Desa Marga Dauh Puri, Marga, Tabanan pada 20 November 1946 silam, ada sebelas Warga Negara Jepang yang ikut berjuang.
Satu di antara warga Jepang yang berziarah ke TPB Margarana, Rabu pagi, adalah Kataoka Akiyuki, pejabat Konsul di Konsulat-Jenderal Jepang di Bali. Ia berziarah selain karena untuk menengok nenek moyang, juga mewakilkan Konsul Jenderal Miyakawa Katsutoshi yang tidak dapat hadir.
“Ada 2.000 warga kami di Bali, di antaranya tergabung dalam Japan Club. Hampir setiap tahun mereka ke sini untuk melihat nenek moyangnya yang gugur di sini (Puputan Margarana)," kata Kataoka kepada NusaBali.com, dengan Bahasa Indonesia yang fasih.
Kataoka mengaku terharu karena warga Bali bisa menerima orang Jepang bahkan dalam situasi perang di masa lalu. Apalagi, mereka ini selain warga sipil, juga sebagian merupakan pelarian tentara Kerajaan Jepang yang kalah Perang Dunia II sehingga Sekutu, termasuk Belanda, datang kembali untuk menancapkan cakar kolonialnya.
“Bahkan kini mereka diterima sebagai sosok pahlawan. Ini merupakan bentuk toleransi dan nilai Pancasila yang dimiliki orang Bali. Kami juga bangga nenek moyang kami berjuang dan mengorbankan diri di sini,” beber Kataoka yang sudah pernah bertugas di Indonesia, tahun 1993 silam.
Kata Kataoka, di antara warga Jepang yang paling dikenal kerap berziarah ke TPB Margarana adalah Inagawa Yoshiro. Ia adalah mantan anggota sipil Angkatan Laut Kerajaan Jepang waktu Perang Dunia II yang bertugas di Buleleng. “Beliau bukan tentara tapi anggota sipil. Teman-teman Beliau banyak yang gugur di sini,” ujarnya.
Karena ikatan personal ini, Inagawa berjanji selalu menengok kawan-kawannya saat Hari Puputan Margarana. Namun, Rabu pagi, sosok Inagawa ini tidak datang lantaran ia telah menyusul kawan-kawannya yang gugur lebih dulu. Kataoka menuturkan, Inagawa telah berpulang sebelum pandemi COVID-19 saat berusia 90 tahun lebih.
Pada tugu nisan warga Jepang yang gugur kala Puputan Margarana, nama yang tertera sudah tidak memakai nama Jepang. Hal ini, menurut Kataoka, untuk menjaga identitas sebagai pelarian tentara Kerajaan Jepang di masa lalu. Misalkan, mereka lebih memilih menggunakan nama I Made Putera daripada nama aslinya, Yoneharu Takagi.
Ada pula yang nama aslinya tidak diketahui lantaran memakai nama samaran seperti Bung Ali. “Tapi, ini tidak mengurangi rasa hormat kami atas keberanian nenek moyang kami yang mengorbankan diri demi tanah Bali,” imbuh Kataoka.
Hubungan baik ini, terlepas dari jejak kelam di masa lalu, telah membentuk hubungan antarmasyarakat Indonesia dan Jepang yang baik di Bali. Kataoka menilai, generasi sekarang dapat berkaca bagaimana warga Bali dan warga Jepang di bawah pimpinan Ngurah Rai bisa bekerja sama di tengah perbedaan. *rat
Apa yang dilakukan warga Jepang ini bukannya tanpa alasan. Sebab, di antara Pasukan Ciung Wanara yang gugur dalam pertempuran melawan pasukan Belanda di Banjar Kelaci, Desa Marga Dauh Puri, Marga, Tabanan pada 20 November 1946 silam, ada sebelas Warga Negara Jepang yang ikut berjuang.
Satu di antara warga Jepang yang berziarah ke TPB Margarana, Rabu pagi, adalah Kataoka Akiyuki, pejabat Konsul di Konsulat-Jenderal Jepang di Bali. Ia berziarah selain karena untuk menengok nenek moyang, juga mewakilkan Konsul Jenderal Miyakawa Katsutoshi yang tidak dapat hadir.
“Ada 2.000 warga kami di Bali, di antaranya tergabung dalam Japan Club. Hampir setiap tahun mereka ke sini untuk melihat nenek moyangnya yang gugur di sini (Puputan Margarana)," kata Kataoka kepada NusaBali.com, dengan Bahasa Indonesia yang fasih.
Kataoka mengaku terharu karena warga Bali bisa menerima orang Jepang bahkan dalam situasi perang di masa lalu. Apalagi, mereka ini selain warga sipil, juga sebagian merupakan pelarian tentara Kerajaan Jepang yang kalah Perang Dunia II sehingga Sekutu, termasuk Belanda, datang kembali untuk menancapkan cakar kolonialnya.
“Bahkan kini mereka diterima sebagai sosok pahlawan. Ini merupakan bentuk toleransi dan nilai Pancasila yang dimiliki orang Bali. Kami juga bangga nenek moyang kami berjuang dan mengorbankan diri di sini,” beber Kataoka yang sudah pernah bertugas di Indonesia, tahun 1993 silam.
Kata Kataoka, di antara warga Jepang yang paling dikenal kerap berziarah ke TPB Margarana adalah Inagawa Yoshiro. Ia adalah mantan anggota sipil Angkatan Laut Kerajaan Jepang waktu Perang Dunia II yang bertugas di Buleleng. “Beliau bukan tentara tapi anggota sipil. Teman-teman Beliau banyak yang gugur di sini,” ujarnya.
Karena ikatan personal ini, Inagawa berjanji selalu menengok kawan-kawannya saat Hari Puputan Margarana. Namun, Rabu pagi, sosok Inagawa ini tidak datang lantaran ia telah menyusul kawan-kawannya yang gugur lebih dulu. Kataoka menuturkan, Inagawa telah berpulang sebelum pandemi COVID-19 saat berusia 90 tahun lebih.
Pada tugu nisan warga Jepang yang gugur kala Puputan Margarana, nama yang tertera sudah tidak memakai nama Jepang. Hal ini, menurut Kataoka, untuk menjaga identitas sebagai pelarian tentara Kerajaan Jepang di masa lalu. Misalkan, mereka lebih memilih menggunakan nama I Made Putera daripada nama aslinya, Yoneharu Takagi.
Ada pula yang nama aslinya tidak diketahui lantaran memakai nama samaran seperti Bung Ali. “Tapi, ini tidak mengurangi rasa hormat kami atas keberanian nenek moyang kami yang mengorbankan diri demi tanah Bali,” imbuh Kataoka.
Hubungan baik ini, terlepas dari jejak kelam di masa lalu, telah membentuk hubungan antarmasyarakat Indonesia dan Jepang yang baik di Bali. Kataoka menilai, generasi sekarang dapat berkaca bagaimana warga Bali dan warga Jepang di bawah pimpinan Ngurah Rai bisa bekerja sama di tengah perbedaan. *rat
Komentar