Diburu, Klien Pengorder Kebencian di Saracen
Badan Reserse Kriminal Polri tengah mendalami pihak-pihak yang menjadi klien grup Saracen untuk memesan konten ujaran kebencian serta bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) di media sosial, khususnya Facebook.
JAKARTA, NusaBali
Kepala Bagian Mitra Divisi Humas Polri Komisaris Besar Awi Setiyono mengatakan, penyidik harus mencari alat bukti berupa transaksi pemesanan penyebaran konten ujaran kebencian dan bernuansa SARA yang dilakukan antara klien dengan pengelola grup Saracen.
"Tidak semudah membalikkan tangan dan perlu ada yang bisa melengkapi alat buktinya. Ini tidak mudah, karena dunia maya dan transaksi-transaksinya tidak semua melalui dunia maya dan kopi darat," ucap Awi di Markas Besar Polri, Jakarta Selatan, Jumat (25/8) seperti dilansir cnnindonesia.
Dia menambahkan, penyelidikan terkait pihak yang pernah menjadi klien grup Saracen juga dilakukan untuk mengungkap tujuan dan motivasi di balik pemesanan konten ujaran kebencian dan bernuansa SARA tersebut. "Itu masih jadi pekerjaan rumah penyidik untuk mengungkap. Makanya data riilnya kami belum bisa sampaikan fakta-faktanya," tutur dia.
Polisi saat ini juga tengah melakukan pemeriksaan digital forensik terhadap 120 gigabyte (GB) data milik grup penyebar kebencian Saracen yang disimpan di dalam komponen penyimpan data, berupa hard disk drive (HDD) dan flashdisk.
Pemeriksaan ini dilakukan lantaran data-data tersebut diduga berkaitan dengan aktivitas grup Saracen dalam membuat dan menyebarkan konten ujaran kebencian dan SARA di media sosial, khususnya Facebook.
"Kami dalam proses pendalaman. Saat ini sedang dilakukan analisis lapor terkait barang bukti yang ada. Data yang baru bisa diperiksa baru 27 GB dan masih ada sekitar 93 GB," kata Awi.
Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim sebelumnya menangkap tiga orang pengelola grup Saracen yang diduga menyebarkan ujaran kebencian dan SARA di media sosial. Ketiganya berinisial JAS (32), MFT (43), dan SRN (32).
Tiga orang itu ditangkap di tiga lokasi berbeda, yakni Jakarta Utara, Cianjur (Jawa Barat), dan Pekanbaru (Riau) dalam rentang waktu 21 Juli hingga 7 Agustus.
Mereka dijerat dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Sementara itu sindikat Saracen membuka mata publik bahwa kejahatan internet telah menjadi ladang pendapatan baru bagi para penjahat. Dengan tarif hingga Rp100 juta, sindikat Saracen membuktikan kepada publik bahwa penyedia jasa untuk kejahatan itu nyata dan ada.
"Jaringan Saracen telah membuka mata kita semua. Bahwa jasa untuk melakukan tindakan-tindakan yang melanggar hukum ternyata memang benar adanya," ujar Ketua Pusat Studi Forensika Digital (PUSFID) Universitas Islam Indonesia Yudi Prayudi, Jumat (25/8).
Menurutnya jasa sejenis ini adalah bagian dari cybercrime blackmarket. Bagi kalangan tertentu, cybercrime adalah sebuah potensi ekonomi yang sangat besar, komunitas pengguna dan penyedia selalu tumbuh untuk saling memanfaatkan satu sama lainnya.
"Dalam kasus Saracen, produk dari blackmarket tersebut adalah jasa untuk membuat, menyebarkan meme dan konten negatif yang mengarah pada SARA dan ujaran kebencian," katanya. *
1
Komentar