Astungkara, Svaha, dan Tathastu
Tiga diksi religi, yaitu ‘Astungkara’, ‘Svaha’, dan ‘Tathastu’ sering terucap oleh krama Hindu Bali saat bertemu atau lainnya.
Prof Dewa Komang Tantra Msc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya)
Namun, beberapa krama yang tidak tahu persis makna yang sebenarnya saat mengucapkan ketiga kata tersebut. Atau, kapan tepatnya mengucapkan kata tersebut? Secara etimologis, ‘Astungkara’ berasal dari kata ‘Astu’ dan ‘Kara’, yang mendapat sisipan ‘ng’. ‘Astu’ berarti semoga terjadi dan ‘Kara’ berarti penyebab yang merujuk kepada Tuhan. Jadi, Astungkara berarti semoga terjadi atas kehendak-Nya. ‘Svaha’ bermakna semoga diberkati. ‘Svaha’ adalah ucapan yang umumnya terjadi di akhir mantra. Seperti kata ‘Om’ yang diucapkan di awal mantra, ‘Svaha’ diucapkan di akhir mantra. ‘Tathastu’ berasal dari kata ‘Tat dan Astu’, Tat berarti itu, kata ‘itu’ merujuk pada doa atau permohonan yang diucapkan, sedangkan ‘Astu’ berarti semoga terjadi. Jadi ‘Tathastu’ berarti terjadilah seperti itu.
Saat kapan sebaiknya menggunakan kata Astungkara, Svaha, dan Tathastu Astungkara ? Secara umum, ketiganya diucapkan saat sedang menyampaikan harapan, keinginan atau doa pribadi kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Seseorang yang berucap demikian terkategori etis atau religius. Tetapi, ucapan seharusnya disertai dengan makna tulus. Pengucap yang bijak seharusnya mempertimbangkan segala akibat dari ucapannya. Pikiran yang diolah dengan kematangan rasa akan berimplikasi pada kelurusan tujuan. Sebaliknya ucapan yang tidak matang akan menjadikan pendengar tidak nyaman. Ketenteraman dapat diperoleh dari cara menyampaikan pesan. Demikian halnya, ucapan bisa menyadarkan pendengar dengan baik walau isinya tajam . Sebuah ucapan bisa berkualitas karena pesan yang dikandungnya. Sebuah ucapan setidaknya dibingkai dalam bentuk bahasa dan isi. Isi atau pesan yang akan diungkapkan merupakan bagian terpenting dari komunikasi. Hal yang baik dapat berakibat buruk karena cara menyampaikannya. Bujukan berakibat pada loyalitas dikarenakan cara penyampaian yang tepat.
Bahasa dan isi saling bergantungan. Apa pun yang disampaikan tergantung pada tata bahasa. Bahasa menunjukkan bangsa, bisa diterapkan dalam ucapan. Dukungan bahasa terhadap isi menentukan keberhasilan pencapaian tujuan. Bahasa memang bisa tidak berarti apapun tanpa isi. Demikian pula isi tanpa dukungan bahasa tidak akan berarti apa pun. Kandungan ucapan adalah pikiran dan bahasa adalah saluran yang merujuk pada kemampuan berpikir, tata tingkat pendidikan, dan sosial.
Mengapa ucapan itu penting. Pertama, ia mewakili pikiran dan perasaan pengucap. Apa yang terdapat dalam ucapan itu adalah sepenuhnya milik pengucap. Ia bertanggungjawab atas apa pun yang tercantum di dalamnya.
Penghindaran adalah sesuatu yang sulit karena ia tercetak dalam bentuk tulisan. Meski dalam bentuk lisan, pada saat diubah dalam bentuk tulisan menjadi dokumen otentik yang tidak dapat dibantah.
Oleh karena itu, segalanya harus melalu proses yang matang termasuk dalam pemiliran dan cara agar terhindar dari masalah. Masalah memang muncul setelah peristiwa itu, setelah ducapakan. Jika tidak berhati-hati dengan mempertimbangkan hati dan pikiran yang matang akan terkena masalah yang juga berakibat pada hati dan pikiran. Banyak orang yang terkena menjadi bagian yang menyertakan rasa dan pikirnya atas ucapan itu. Kedua, ucapan membuka berbagai peluang respons. Publik adalah bagian terbuka yang memiliki kemampuan untuk membuka segala yang terungkap melalui media itu. Apa yang tertulis adalam surat kabar atau majalah adalah bagian masyarakat. Publik berhak mengomentarinya, berhak menilainya. Pengucap harus siap menerima segala akibat yang dimunculkannya.
Respons muncul beragam. Beberapa orang mendukungnya dengan memberikan komentar positif, mereka melengkapi dengan mengemukakan pendapat. Beberapa orang tidak sependapat dan mereka menyampaikan pendapat sebaliknya. Argumen-argumen ilmiah akan memperkaya kazanah perbincangan di antara para pakar. Dengan demikian memunculkan dampak positif, yaitu perbincangan keilmuan dengan dukungan argumen kuat. Akan tetapi, bila ucapan itu bukan sekitar keilmuan bisa menjadi pertengkaran yang berjalan melalui jalur hukum. Hal yang tidak diinginkan terjadi adalah perpindahan gagasan ke wilayah hukum.
Kini tampaknya orang terlalu mudah mengalihkan masalah adu gagasan, pikiran ke wilayah hukum. Padahal perbincangan gagasan sangat indah, berguna untuk pengembangan gagasan tertentu. Perkembangan gagasan terjadi karena banyak orang yang memikirkannya, karena orang tidak berhenti memikirkannya. Orang pandai adalah oran g yang tidak pernah takut menerima pendapat orang lain, siap untuk memperbaiki pendapatanya, siap untuk melengkapi pendapatnya dengan pendapat orang lain. Dia selalu berpendapat menjadi besar karena kebesaran pendapat orang lain juga. Apa artinya sebuah gagasan tanpa dukungan orang lain. Gagasan menyebar dan besar karena dibaca, karena direspons. Dia tidak akan menjadi besar dengan sendirinya. Semoga. *
Namun, beberapa krama yang tidak tahu persis makna yang sebenarnya saat mengucapkan ketiga kata tersebut. Atau, kapan tepatnya mengucapkan kata tersebut? Secara etimologis, ‘Astungkara’ berasal dari kata ‘Astu’ dan ‘Kara’, yang mendapat sisipan ‘ng’. ‘Astu’ berarti semoga terjadi dan ‘Kara’ berarti penyebab yang merujuk kepada Tuhan. Jadi, Astungkara berarti semoga terjadi atas kehendak-Nya. ‘Svaha’ bermakna semoga diberkati. ‘Svaha’ adalah ucapan yang umumnya terjadi di akhir mantra. Seperti kata ‘Om’ yang diucapkan di awal mantra, ‘Svaha’ diucapkan di akhir mantra. ‘Tathastu’ berasal dari kata ‘Tat dan Astu’, Tat berarti itu, kata ‘itu’ merujuk pada doa atau permohonan yang diucapkan, sedangkan ‘Astu’ berarti semoga terjadi. Jadi ‘Tathastu’ berarti terjadilah seperti itu.
Saat kapan sebaiknya menggunakan kata Astungkara, Svaha, dan Tathastu Astungkara ? Secara umum, ketiganya diucapkan saat sedang menyampaikan harapan, keinginan atau doa pribadi kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Seseorang yang berucap demikian terkategori etis atau religius. Tetapi, ucapan seharusnya disertai dengan makna tulus. Pengucap yang bijak seharusnya mempertimbangkan segala akibat dari ucapannya. Pikiran yang diolah dengan kematangan rasa akan berimplikasi pada kelurusan tujuan. Sebaliknya ucapan yang tidak matang akan menjadikan pendengar tidak nyaman. Ketenteraman dapat diperoleh dari cara menyampaikan pesan. Demikian halnya, ucapan bisa menyadarkan pendengar dengan baik walau isinya tajam . Sebuah ucapan bisa berkualitas karena pesan yang dikandungnya. Sebuah ucapan setidaknya dibingkai dalam bentuk bahasa dan isi. Isi atau pesan yang akan diungkapkan merupakan bagian terpenting dari komunikasi. Hal yang baik dapat berakibat buruk karena cara menyampaikannya. Bujukan berakibat pada loyalitas dikarenakan cara penyampaian yang tepat.
Bahasa dan isi saling bergantungan. Apa pun yang disampaikan tergantung pada tata bahasa. Bahasa menunjukkan bangsa, bisa diterapkan dalam ucapan. Dukungan bahasa terhadap isi menentukan keberhasilan pencapaian tujuan. Bahasa memang bisa tidak berarti apapun tanpa isi. Demikian pula isi tanpa dukungan bahasa tidak akan berarti apa pun. Kandungan ucapan adalah pikiran dan bahasa adalah saluran yang merujuk pada kemampuan berpikir, tata tingkat pendidikan, dan sosial.
Mengapa ucapan itu penting. Pertama, ia mewakili pikiran dan perasaan pengucap. Apa yang terdapat dalam ucapan itu adalah sepenuhnya milik pengucap. Ia bertanggungjawab atas apa pun yang tercantum di dalamnya.
Penghindaran adalah sesuatu yang sulit karena ia tercetak dalam bentuk tulisan. Meski dalam bentuk lisan, pada saat diubah dalam bentuk tulisan menjadi dokumen otentik yang tidak dapat dibantah.
Oleh karena itu, segalanya harus melalu proses yang matang termasuk dalam pemiliran dan cara agar terhindar dari masalah. Masalah memang muncul setelah peristiwa itu, setelah ducapakan. Jika tidak berhati-hati dengan mempertimbangkan hati dan pikiran yang matang akan terkena masalah yang juga berakibat pada hati dan pikiran. Banyak orang yang terkena menjadi bagian yang menyertakan rasa dan pikirnya atas ucapan itu. Kedua, ucapan membuka berbagai peluang respons. Publik adalah bagian terbuka yang memiliki kemampuan untuk membuka segala yang terungkap melalui media itu. Apa yang tertulis adalam surat kabar atau majalah adalah bagian masyarakat. Publik berhak mengomentarinya, berhak menilainya. Pengucap harus siap menerima segala akibat yang dimunculkannya.
Respons muncul beragam. Beberapa orang mendukungnya dengan memberikan komentar positif, mereka melengkapi dengan mengemukakan pendapat. Beberapa orang tidak sependapat dan mereka menyampaikan pendapat sebaliknya. Argumen-argumen ilmiah akan memperkaya kazanah perbincangan di antara para pakar. Dengan demikian memunculkan dampak positif, yaitu perbincangan keilmuan dengan dukungan argumen kuat. Akan tetapi, bila ucapan itu bukan sekitar keilmuan bisa menjadi pertengkaran yang berjalan melalui jalur hukum. Hal yang tidak diinginkan terjadi adalah perpindahan gagasan ke wilayah hukum.
Kini tampaknya orang terlalu mudah mengalihkan masalah adu gagasan, pikiran ke wilayah hukum. Padahal perbincangan gagasan sangat indah, berguna untuk pengembangan gagasan tertentu. Perkembangan gagasan terjadi karena banyak orang yang memikirkannya, karena orang tidak berhenti memikirkannya. Orang pandai adalah oran g yang tidak pernah takut menerima pendapat orang lain, siap untuk memperbaiki pendapatanya, siap untuk melengkapi pendapatnya dengan pendapat orang lain. Dia selalu berpendapat menjadi besar karena kebesaran pendapat orang lain juga. Apa artinya sebuah gagasan tanpa dukungan orang lain. Gagasan menyebar dan besar karena dibaca, karena direspons. Dia tidak akan menjadi besar dengan sendirinya. Semoga. *
1
Komentar