Nangluk Merana Antisipasi Sasih Gering
BANGLI, NusaBali - Upacara Nangluk Merana, salah satu jenis upacara yang digelar oleh desa adat di Bali, pada sasih Kalima dan Kanem (antara bulan November- Desember) ini. Sebagaimana namannya, Nangluk Merana, upacara dimaksud dengan makna menaklukan atau menghalangi, membatasi (nangkluk), merana yakni sesuatu yang memicu bahaya.
Dengan harapan, krama dan palemahan maupun lingkungan dalam keadaan rahayu. Bendesa Madya Desa Adat Kabupaten Bangli I Ketut Kayana mengatakan secara maknawi Upacara Nangkluk Merana merupakan gambaran dari kearifan lokal tetamian pangelingsir dalam menyikapi dan merawat alam lingkungan dan segala isinya dengan bijak.
“Saya kira ini kecerdasan dari para tetua,” ujar tokoh adat dari Desa Adat Sala, Desa Abuan, Susut, Bangli, Sabtu (30/11). Menurutnya, benntuk dan pengistilahan maupun tahapan-tahapan dari Upacara Nangkluk Merana, bisa jadi tidak sama antara satu desa adat dengan desa adat lain. Atau antara suatu daerah dengan di daerah yang lain.
Di daerah Bangli contohnya. Pada upacara Nangkluk Merana umumnya ditandai pemasangan sungga poling atau bambu runcing. Sebagai gambaran sungga poling semacam tanda pembatas di ujung-ujung pelemahan wewidangan desa adat, seperti batas masuk desa adat atau wilayah batas keluar.
Sungga poling dibuat dari potongan bambu dengan tinggi sekitar 4-5 meter, didirikan pada di kiri dan kanan bahu jalan. Ujung atas kedua bambu yang didirikan tersebut disambungkan potongan bambu lain secara melintang. Pada ruasnya dengan jarak tertentu dilubangi, kemudian diisi bambu yang dibelah memanjang, meruncing pada kedua ujungnya. Di pasang dalam posisi saling salingg silang, atau tapak dara. “Itu perlambang wujud pengharapan, agar segala sesuatu yang mengganggu, mengancam kenteraman desa adat, tak boleh masuk” terangnya.
Dari Upacara Nangkluk Merana, lanjut Kayana, bisa diartikan betapa para tetua di Bali, sejatinya sangat paham dengan perilaku siklus sasih berikut dampaknya terhadap manusia dan lingkungan.
Dikatakan Kayana, secara alamiah setiap peralihan atau transisi akan memicu guncangan, paling tidak getaran, yang potensial menyebabkan ketidakseimbangan atau disharmoni.
Dilihat dari konteks itulah lanjut Kayana, para tetua Bali mengatakan Sasih Kalima -Kanem, sebagai sasih tenget, moment yang sensitif. Dalam istilah permusiman disebut dengan musim pancaroba, rentang waktu yang menjadi peluang memicu merana(penyakit). Pada manusia, bisa berdampak pada gangguan kesehatan, karena memicu ragam penyakit seperti flu, batuk, pilek, demam dan lain sampai gangguan pencernaan seperti diare dan yang lainnya. Kalau pada lingkungan, bisa memicu longsor, banjir dan peristiwa alam lainnya. “Bisa kita pahami, para tetua memang bijak menyikapinya,” terangnya.
Penyikapan terhadap sasih tenget atau sasih gering, tak sebatas terhadap pemahaman secara sakala-realitas. Namun adalah sisi niskala. Sehingga menjadi sakala-niskala.”Itulah kita di Bali, tak hanya pada sebatas yang tampak, namun juga pada sesuatu yang tak kasat,” ujarnya. Yang dalam ungkapan lumrah disebut bhuta kala. Kata dia itulah yang menjadikan mengapa Upacara Nangluk Merana, lebih dilihat sebagai bagian dari jenis Upacara Butha Yadnya.
Menurut Kayana, rangkaian Upacara Nangkluk Merana merupakan rentetan dari tahapan upacara Butha Yadnya, yang puncaknya nanti pada Tawur Agung Sasih Kesanga.7k17
Komentar