Janji dan Sumpah Serapah
SEJAK pensiun, dua lelaki itu, satu berkumis, seorang jangkung-berjanji joging saban hari, lima kali sepekan. Mereka pilih silih berganti, Senin sampai Rabu di alun-alun Puputan Badung, kalau Kamis dan Jumat di alun-alun Renon.
Sabtu dan Minggu mereka libur, dengan pertimbangan yang joging terlalu banyak di hari libur, berdesak-desak sampai susah melangkahkan kaki.
Semester pertama mereka melakukannya dengan disiplin, terutama yang jangkung, tapi berubah sejak ia terserang flu. “Aku libur tiga hari ya,” si jangkung kirim WA. Tapi kemudian ia sering tidak joging, kendati sehat dan bugar. “Lagi malas,” alasannya.
Si kumis mulai kesal. Ketika mereka jalan suatu hari kemudian, ia menggerutu. “Kita kan sudah berjanji jalan sehat lima kali sepekan, ternyata kamu mengingkari kesepakatan.” “Itu kan janji,” si jangkung membela diri. “Bukan sumpah. Kalau aku bersumpah pasti sebisa-bisanya aku taati.”
Si kumis kesal. Ia merasa dipermainkan. Baginya janji itu bukan sekadar kesediaan bersepakat, tapi juga untuk ditepati. Jalan pagi bersama itu pun bubar, masing-masing jalan sendiri-sendiri. Jika kebetulan mereka bersua pas joging, cukup menyapa dengan lambaian tangan. Di alun-alun Renon selain banyak orang joging, juga tidak sedikit muda-mudi memadu kasih duduk berhimpitan selepas petang. Seorang gadis lagi termenung lesu di sebelah lelakinya. Ia lagi dirundung nestapa.
“Engkau berjanji dan bersumpah kita akan bersetia, menikah, bersama sampai tua, berpisah hanya kalau ajal menjemput. Kini, kamu ingkari janji, mengkhianati sumpahmu.” “Ini masih mending, kusampaikan langsung kita berpisah. Banyak laki-laki yang memutuskan hubungan dengan pacarnya cuma lewat WA,” jawab si lelaki enteng. “Janganlah kamu cengeng.”
Si gadis berdiri, ketus, melangkah tergopoh-gopoh ke seberang jalan, memesan ojek online pulang. Dia bersumpah tak percaya lagi sama laki-laki mana pun. “Biarkan aku tua, bertapa dalam kesendirian seperti Dewi Amba,” bisik hatinya nelangsa. Memangnya, adakah beda antara janji dan sumpah? Bukankah sumpah itu juga janji? Jika menagih kesetiaan dan kerelaan berkorban seseorang, tidak cukupkah meminta dia berjanji?
Dalam pilkada janji-janji diobral. Tapi, nyaris tak terdengar ada sumpah disampaikan. Yang bergema ke mana-mana, ke sudut-sudut desa adat, adalah janji-janji. Tak terdengar sumpah diucapkan. Janji bisa saja palsu, bak angin surga. Tapi, sumpah tidak. Sumpah itu suci, ikrar nan teguh disaksikan Tuhan. Banyak orang gampang berjanji, tapi ciut nyalinya jika bersumpah.
Risiko mengingkari janji tidak sedahsyat kalau mengabaikan sumpah. Orang-orang yakin, mengingkari sumpah bisa beresiko kutukan. Ada sumpah yang berakibat bencana sampai tujuh turunan jika diingkari. Itu mungkin sebabnya para calon pemimpin cukup mengobral janji, tak usah bersumpah kepada pendukung mereka, karena janji gampang dilupakan, dan jangan gegabah mengkhianati sumpah. Jika ada pemimpin terpilih yang senang berjanji justru harus diwaspadai. Sesungguhnya tanpa disadari ia memulai berbohong.
Semakin sering ia berjanji, kian terbuka jalan bagi dia untuk tidak menepati. Seperti lirik “Tinggi Gunung Seribu Janji” karya Ismail Marzuki: memang lidah tidak bertulang/ tak berbekas kata-kata/ tinggi gunung seribu janji/ lain di bibir lain di hati. Sumpah juga bisa diartikan kata-kata buruk, tak senonoh. Dalam kehidupan sehari-hari kita mengenalnya sebagai sumpah serapah, berarti makian, lontaran kata-kata kotor dan kasar, misalnya, karena seseorang dikibuli, diolok-olok, atau karena menjadi korban ingkar janji. Makian sangat kencang bisa membuat tekanan darah melonjak, bisa menyebabkan si pelontar kata stroke atau terkapar pingsan ini, dikelompokkan sebagai sumpah serapah. Pendendam yang sakit hati, ambyar, sering melontarkan sumpah serapah.
Dalam Mahabharata, kita menemukan bagaimana kesucian sumpah berjalan dan berevolusi menunaikan tugasnya. Simaklah sumpah Dewi Amba untuk membunuh Bhisma, melewatkan seluruh hidupnya yang hancur dengan bertapa, memohon pada dewa-dewa agar mengabulkan dendamnya. Ia meyakinkan jagat raya, untuk memenuhi janji dan sumpah, orang harus bertapa, tekun, khusuk, sepenuhnya meyakinkan diri.
Seperti itulah semestinya sikap para pemimpin, memegang teguh janji-janji, agar tidak berbiak menjadi sumpah serapah. Jika mereka dilantik memegang tampuk kekuasaan, saatnya masyarakat menagih janji-janji itu. Agar omongan-omongan semasa kampanye tidak merebak menjadi buaian, olok-olok atau bualan, tidak meliuk-liuk dan melenggang menjadi angin surga. 7
1
Komentar