MUTIARA WEDA : Vedanta Vs Ritualisme
Berasal dari yang tidak nyata kembali ke tidak nyata, berasal dari yang nyata kembali ke nyata. Karenanya, ada dua hal yang dialami manusia, yakni baik dan buruk, tidur dan terjaga, mati dan hidup, semuanya diikuti oleh upacara.
Rawuh Saking niskala mulih saking niskala,
Né rawuh saking sekala, mulihnya saking sekala, krana roro lakuning manusa
Ala lawan ayu, sirep lawan atangi, pati kalawan urip, sami makta upakara
(Tutur Gong Besi)
Menurut Tutur Gong Besi, hakikat manusia adalah niskala-sekala. Yang datang dari niskala akan kembali ke niskala, demikian juga yang datang dari sekala akan kembali ke sekala. Karena pertemuan kedua ini pada diri manusia, dualisme dalam kehidupannya senantiasa menjadi bagiannya. Sepanjang manusia hidup, susah-senang, baik-buruk, panas-dingin, dan yang sejenisnya akan senantiasa dialaminya. Tidak ada kekuatan apapun yang mampu mengatasinya, kecuali mereka yang telah mencapai jivan mukti. Bahkan seorang jiwan mukti pun ketika masih berada dalam badannya tidak luput dari keadaan itu, hanya jiwanya saja tidak terpengaruh dengan keadaan tersebut.
Keadaan ini telah diuraikan secara panjang lebar di dalam teks-teks Vedanta. Sepanjang manusia terikat dengan keduniawian, selamanya ia berada dalam samsara. Hanya ketika dia mampu melihat secara jernih kehidupan melalui viveka jnana-nya, dia akan mampu melampaui kekuatan maya yang menyelubunginya. Menurut Advaita Vedanta, hanya melalui pengetahuan, kekuatan maya tersebut mampu dihalau. Sementara dalam Dvaita Vedanta mengatakan hanya Bhakti yang mampu melenyapkan selubung maya tersebut, sehingga samsara tidak lagi membelenggunya. Niskala dan sekala di sini mungkin bisa dihubungkan dengan konsep Purusa dah Prakerti dalam Samkhya. Niskala berhubungan dengan aspek Purusa, sementara sekala berhubungan dengan aspek Prakerti. Ketika Purusa terbungkus dalam Prakerti, rasa senang dan sedih, panas dan dingin, dan yang lainnya terus terjadi. Ketika mereka kembali ke asalnya masing-masing, dualitas kehidupan itu lenyap dengan sendirinya.
Yang menarik di dalam teks ini adalah, baik niskala maupun sekala dihubungkan dengan upakara. Niskala maupun sekala ada upakaranya. Upakara di sini disebut prakerti sekala dan prakerti niskala. Prakerti sekala adalah upacara saat hidup, sementara prakerti niskala, upacara pada seseorang setelah kematiannya. Dalam ranah teologi hal ini tentu sangat menarik dicermati, sebab, terkadang, ketidaktahuan akan melahirkan keraguan bahkan kegamangan. Pengklaiman akan kebenaran sering terjadi di ranah ini sehingga menimbulkan ekses sosial. Tidak tertutup kemungkinan, rasa fanatisme di dalamnya menjadi sumber permusuhan dan peperangan.
Mengapa mesti upacara? Bukankah bagi Vedanta, karma adalah penentu bagi setiap individunya. Untuk memperoleh keselamatan tidak mungkin dengan jalan upacara saja, jika karmanya masih mengikat dirinya. Demikian juga, jika karma seseorang telah termurnikan, ada tidaknya upacara tidak menjadi masalah. Tetapi di Bali, konsep yang diterapkan berbeda. Setiap tahapan kehidupan, dari kelahiran sampai kematiannya mesti diikuti dengan upacara. Lalu, apakah hal ini bertentangan? Secara penampakan fisik, hal itu tampak berbeda dan bertentangan. Tetapi, secara esensi keduanya itu luluh menjadi satu.
Bagaimana menyambungkan kedua yang sangat berbeda itu? Jika dilihat dari metodologi, hal ini tentu bisa diselesaikan dengan manis. Orang yang menekuni Vedanta, praktik ritual tidak menjadi penting baginya. Bahkan mereka mengatakan praktik ritual adalah rintangan menuju pembebasan. Penekun Vedanta menggunakan metode yang lain untuk mencapai pembebasan. Sementara itu, mereka yang menggunakan ritual, mereka menyebut bahwa tanpa ritual tidak mungkin mencapai pembebasan. Ritual adalah sebuah keharusan. Rupanya, Teks Tutur Gong Besi dibuat oleh mereka penekun ritual, karena menuturkan tentang itu. Bagi penekun ritual, kegiatan inilah yang dijadikan metode. Goalnya tetap mencapai pembebasan.
Jadi, jika kita lihat seperti apa yang diajarkan oleh Krishna dalam Bhagavad-gita, maka apapun yang dilakukan dalam proses sadhana, semuanya itu akan mengarahkan pada tujuan yang sama. Bukan jenis metode yang membedakan apakah orang mampu mencapai pembebasan atau tidak, namun kualitas dan intensitas melaksanakan metode itulah yang mengantarkan pada pembebasan.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Né rawuh saking sekala, mulihnya saking sekala, krana roro lakuning manusa
Ala lawan ayu, sirep lawan atangi, pati kalawan urip, sami makta upakara
(Tutur Gong Besi)
Menurut Tutur Gong Besi, hakikat manusia adalah niskala-sekala. Yang datang dari niskala akan kembali ke niskala, demikian juga yang datang dari sekala akan kembali ke sekala. Karena pertemuan kedua ini pada diri manusia, dualisme dalam kehidupannya senantiasa menjadi bagiannya. Sepanjang manusia hidup, susah-senang, baik-buruk, panas-dingin, dan yang sejenisnya akan senantiasa dialaminya. Tidak ada kekuatan apapun yang mampu mengatasinya, kecuali mereka yang telah mencapai jivan mukti. Bahkan seorang jiwan mukti pun ketika masih berada dalam badannya tidak luput dari keadaan itu, hanya jiwanya saja tidak terpengaruh dengan keadaan tersebut.
Keadaan ini telah diuraikan secara panjang lebar di dalam teks-teks Vedanta. Sepanjang manusia terikat dengan keduniawian, selamanya ia berada dalam samsara. Hanya ketika dia mampu melihat secara jernih kehidupan melalui viveka jnana-nya, dia akan mampu melampaui kekuatan maya yang menyelubunginya. Menurut Advaita Vedanta, hanya melalui pengetahuan, kekuatan maya tersebut mampu dihalau. Sementara dalam Dvaita Vedanta mengatakan hanya Bhakti yang mampu melenyapkan selubung maya tersebut, sehingga samsara tidak lagi membelenggunya. Niskala dan sekala di sini mungkin bisa dihubungkan dengan konsep Purusa dah Prakerti dalam Samkhya. Niskala berhubungan dengan aspek Purusa, sementara sekala berhubungan dengan aspek Prakerti. Ketika Purusa terbungkus dalam Prakerti, rasa senang dan sedih, panas dan dingin, dan yang lainnya terus terjadi. Ketika mereka kembali ke asalnya masing-masing, dualitas kehidupan itu lenyap dengan sendirinya.
Yang menarik di dalam teks ini adalah, baik niskala maupun sekala dihubungkan dengan upakara. Niskala maupun sekala ada upakaranya. Upakara di sini disebut prakerti sekala dan prakerti niskala. Prakerti sekala adalah upacara saat hidup, sementara prakerti niskala, upacara pada seseorang setelah kematiannya. Dalam ranah teologi hal ini tentu sangat menarik dicermati, sebab, terkadang, ketidaktahuan akan melahirkan keraguan bahkan kegamangan. Pengklaiman akan kebenaran sering terjadi di ranah ini sehingga menimbulkan ekses sosial. Tidak tertutup kemungkinan, rasa fanatisme di dalamnya menjadi sumber permusuhan dan peperangan.
Mengapa mesti upacara? Bukankah bagi Vedanta, karma adalah penentu bagi setiap individunya. Untuk memperoleh keselamatan tidak mungkin dengan jalan upacara saja, jika karmanya masih mengikat dirinya. Demikian juga, jika karma seseorang telah termurnikan, ada tidaknya upacara tidak menjadi masalah. Tetapi di Bali, konsep yang diterapkan berbeda. Setiap tahapan kehidupan, dari kelahiran sampai kematiannya mesti diikuti dengan upacara. Lalu, apakah hal ini bertentangan? Secara penampakan fisik, hal itu tampak berbeda dan bertentangan. Tetapi, secara esensi keduanya itu luluh menjadi satu.
Bagaimana menyambungkan kedua yang sangat berbeda itu? Jika dilihat dari metodologi, hal ini tentu bisa diselesaikan dengan manis. Orang yang menekuni Vedanta, praktik ritual tidak menjadi penting baginya. Bahkan mereka mengatakan praktik ritual adalah rintangan menuju pembebasan. Penekun Vedanta menggunakan metode yang lain untuk mencapai pembebasan. Sementara itu, mereka yang menggunakan ritual, mereka menyebut bahwa tanpa ritual tidak mungkin mencapai pembebasan. Ritual adalah sebuah keharusan. Rupanya, Teks Tutur Gong Besi dibuat oleh mereka penekun ritual, karena menuturkan tentang itu. Bagi penekun ritual, kegiatan inilah yang dijadikan metode. Goalnya tetap mencapai pembebasan.
Jadi, jika kita lihat seperti apa yang diajarkan oleh Krishna dalam Bhagavad-gita, maka apapun yang dilakukan dalam proses sadhana, semuanya itu akan mengarahkan pada tujuan yang sama. Bukan jenis metode yang membedakan apakah orang mampu mencapai pembebasan atau tidak, namun kualitas dan intensitas melaksanakan metode itulah yang mengantarkan pada pembebasan.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
1
Komentar