Menelusuri Kisah Niskala di Pura Wulakan/Dang Kahyangan Tamansari di Banjar Alangkajeng, Mengwi, Badung (2-Habis)
Tempat Pandita Anyar Memohon Taksu Kesulinggihan
Calon pandita biasanya memohon panglukatan atau membersihkan diri lebih dulu, serta sembahyang di wulakan, setelah itu memohon restu kepada sang leluhur
MANGUPURA, NusaBali
Pura Dang Kahyangan Tamansari di Banjar Alangkajeng, Desa/Kecamatan Mengwi, Badung merupakan salah satu jejak sejarah perjalanan dharmayatra Danghyang Dwijendra. Di dalam Dwijendra Tattwa, pura dang kahyangan ini disebut sebagai Pura Wulakan.
Dinamai Pura Wulakan lantaran tempat suci ini asal usulnya dari wulakan (mata air) yang mencuri perhatian sang pandita leluhur para Brahmana di Bali ini. Wulakan itu berada di belakang utama mandala Pura Dang Kahyangan Tamansari, tepat di bantaran Sungai Taep, Mengwi. Dikisahkan dalam Dwijendra Tattwa, Pura Wulakan sekarang ini adalah titik persinggahan kesembilan Danghyang Dwijendra yang juga dikenal sebagai Danghyang Nirartha atau Pedanda Sakti Wawu Rauh ini ketika berdharmayatra menuju Desa Mas, Ubud, Gianyar atas undangan Pangeran Mas.
“Bisa dibilang ini pura para pedanda, sudah banyak sekali pedanda yang berkunjung ke sini. Karena Ida Danghyang Nirartha berstana di pura dang kahyangan ini dan wulakan ini adalah pasiraman Ida,” ujar Pamangku Pura Wulakan/Pura Dang Kahyangan Tamansari Jero Mangku I Nyoman Raka Wijaya,60, ketika ditemui NusaBali di lokasi, bertepatan Tilem Sasih Kanem, Senin (30/12).
Jero Mangku I Nyoman Raka Wijaya –NGURAH RATNADI
Pura Dang Kahyangan Tamansari tidak hanya dikunjungi para pandita atau sulinggih yang datang untuk menghormati leluhurnya, Danghyang Dwijendra. Para calon pandita yang hendak madwijati/diksa pariksa atau diupacarai untuk menjadi seorang pandita turut berkunjung dalam rangka memohon restu. Kata Mangku Raka, mereka biasanya memohon panglukatan atau membersihkan diri lebih dulu, serta sembahyang di wulakan. Setelah itu, sang calon pandita menuju utama mandala untuk menghaturkan pejati dan memohon restu kepada sang leluhur, Danghyang Dwijendra untuk melaksanakan diksa pariksa.
“Nah, setelah melaksanakan diksa pariksa, kemudian mulai ngalinggihang Weda, membunyikan genta, baru kemudian Ida (para pandita anyar) kembali ke sini memohon papintonan,” beber Mangku Raka yang mulai ngayah sebagai pamangku sejak tahun 2007 silam ini.
Papintonan yang dimaksud adalah semacam taksu kesulinggihan. Kata Mangku Raka, sang pandita anyar memohon anugerah kepada leluhurnya, Danghyang Dwijendra, agar ketika berweda atau melakukan prosesi kesulinggihan, sang pandita anyar mampu menyatu dan mantap dengan mantra dan bunyi genta. “Papintonan itu seperti meminta cap (validasi) kepada lelangit Ida (Danghyang Dwijendra) supaya ketika berjapa mantra, membunyikan genta bisa menyatu dengan itu,” imbuh Mangku Raka.
Upacara papintonan ini juga melibatkan praktik langsung prosesi kesulinggihan di hadapan niskala Danghyang Dwijendra. Pengalaman Mangku Raka, Pura Dang Kahyangan Tamansari pernah dikunjungi beberapa pandita anyar secara bersamaan dan serentak mempraktikkan prosesi masing-masing. Dikatakan Mangku Raka, kebanyakan calon pandita dan pandita anyar yang datang memohon restu dan papintonan berasal dari dalam Kabupaten Badung. Meski begitu, ada pula yang datang dari Kabupaten Tabanan dan Kota Denpasar. 7 ol1
Komentar