MUTIARA WEDA: Fakta vs Angan-angan
Nākrocamicchenna mṛṣā vadecca napaiṣunyam janavādaṁ na kuryāt, satyavrato mitabhāṣo pramattastya vagdvāramupaiti guptim. (Sãrasamuccaya, 124)
Oleh karena itu, orang yang arif bijaksana, orang yang berjanji atas dirinya berpegang kepada kebenaran, tidak mencaci orang, tidak memfitnah, tidak mencela, lagi pula tidak berkata dusta (berbohong), melainkan giat berusaha menahan ucapan-ucapannya, dan memelihara agar orang lain jangan sampai terluka karenanya.
MEMBACANYA sederhana, tidak perlu banyak perenungan. Pernyataan teks ini mudah dimengerti. Katanya, orang yang berpegang pada kebenaran memiliki 6 ciri, yakni tidak mencaci, tidak memfitnah, tidak mencela, tidak berdusta, santun berucap, dan suka membuat orang lain senang. Kita gampang membacanya, gampang mengertinya, dan gampang menghafalkannya, tapi laku kita bisa sepenuhnya tidak seperti itu. Kalau toh berupaya mempraktikkannya, aksi kita tidak pernah real. Mengapa tidak real? Karena ajaran di atas tidak untuk dipraktikkan. Tampak itu seperti ajaran etika luhur yang mesti dipraktikkan dalam keseharian. Dan, sepertinya inilah pemahaman kita sepenuhnya. Namun, kebenarannya tidak demikian.
Bagaimana melihatnya? Mari kita perhatikan narasi teks di atas. Proposisinya seperti ini: ‘Jika orang arif, yang berpegang pada kebenaran, maka perilakunya sesuai dengan 6 sifat yang disebutkan’. Artinya, hanya ketika orang arif bijaksana yang perilakunya demikian. Jadi, keenam kualitas atau sifat tersebut bukan untuk dipraktikkan agar menjadi arif bijaksana. Bedakan dengan proposisi kedua: ‘agar menjadi bijaksana, maka kita mesti melakukan keenam kualitas itu’. Proposisi kedua ini baru berhubungan dengan praktik, bahwa dengan mempraktikkan keenam laku (sifat) itu, orang akan diarahkan menjadi arif bijaksana.
Pemahaman kita selama ini atas teks di atas sepenuhnya sesuai dengan proposisi kedua. Makanya, teks di atas seolah-olah ajaran etika yang harus dikerjakan perintahnya. Namun, teks di atas tidak concern pada proposisi kedua. Teks di atas hanya mengindikasikan sebuah kebenaran, sebuah fenomena. “Jika fenomenanya A, maka perilakunya B”. Hal ini tidak bisa dibalik, perilaku B tidak serta merta menjadikan kebenarannya A. Bisa jadi, orang berupaya menahan ucapannya, tidak menyakiti orang dan yang lainnya, agar tampak dan dianggap arif bijaksana. Hanya karena ingin dianggap bijaksana, orang terpaksa melakukan keenam laku di atas. Padahal, di dalam dirinya tidak ada sifat-sifat itu. Sankaracharya menyebutnya fake sadhu.
Jadi, dengan melakukan keenam laku itu (sesuai dengan pemahaman kita) tidak bisa dijadikan jaminan bahwa kita telah benar-benar arif bijaksana. Jika kita mampu membaca teks di atas seperti ini, maka kita tidak memahaminya hanya sekadar ajaran etika, melainkan lebih dari itu. Apa itu? Teks di atas mengajak orang untuk menumbuhkan kebenaran, kebijaksanaan di dalam diri. Ketika kebenaran atau kebijaksanaan ini mekar dan tumbuh subur di dalam, buahnya adalah 6 perilaku itu. Keenam perilaku itu adalah konsekuensi, akibat dari adanya kebenaran atau kebijaksanaan di dalam diri. Sebaliknya, hanya dengan menempelkan keenam laku di atas, belum tentu kebenaran atau kebijaksanaan eksis di dalam diri.
Sehingga dengan demikian, teks di atas mengajak kita untuk merenungkan secara mendalam, kemudian memahaminya, dan menginternalisasi seperti apa kebenaran itu, bagaimana kebenaran itu, di mana kebenaran itu, mengapa kebenaran itu, dan bagaimana menjadi seperti kebenaran itu. Jika kita masih pelajar atau sadhaka pemula, teks di atas ingin memberitahukan bahwa kita harus membaca teks lanjutan seperti Upanisad dan teks Vedanta lainnya agar kita terinspirasi untuk mengenal kebenaran, memahami kebenaran, menginternalisasikan kebenaran dan kemudian menjadi kebenaran itu.
Selebihnya, jika kita telah advance atau mahir dalam belajar atau sadhaka, teks di atas hanya memberikan gambaran saja, memberikan informasi saja, bahwa orang yang telah face to face dengan kebenaran, orang yang telah menumbuhkan kebenaran di dalam hatinya, memiliki semua dari keenam kualitas di atas. Durian yang matang akan menghadirkan bau buah yang menyengat. Bau tersebut adalah konsekuensi dari adanya durian yang matang. Jika kemudian kita berangan-angan akan bau tersebut, tidak serta-merta menjadikan buah durian itu ada. Mari kita renungkan! 7
Komentar