Pelaku Wisata di Bali Malas Berorganisasi
Kenapa orang enggan masuk organisasi karena masalahnya tak terselesaikan. Kedua, pemerintah tidak sinkron dengan organisasi. Jadi ketika pemerintah memberikan izin tidak pernah berbicara dengan organisasi. (Akademisi Pariwisata Universitas Udayana Prof Putu Anom)
DENPASAR, NusaBali
Seorang warga negara asing (WNA) yang belakangan diketahui berpaspor Bangladesh kedapatan oleh pemandu wisata lokal tengah mengantar wisatawan ke Pelabuhan Sanur, Denpasar. Video tersebut viral di media sosial. Kejadian ini diyakini hanya fenomena gunung es.
Sudah jadi rahasia umum WNA di Bali menggunakan visa turis, justru sambil mencari nafkah di Pulau Dewata. Belum lama seorang turis India juga kedapatan menjadi tour guide di Bali. Beberapa sudah dideportasi ke negara asal, namun faktanya kejadian sama terus berulang.
Forum Perjuangan Driver Pariwisata Bali (FPDPB) dalam orasinya ketika mendatangi Gedung DPRD Bali juga menyinggung terkait masih maraknya WNA menjemput tamu di Bandara Ngurah Rai. Selain harus bersaing dengan taksi online yang tidak sedikit warga luar Bali, para sopir konvensional ini harus bersaing pula dengan WNA.
Akademisi Pariwisata Universitas Udayana Prof Putu Anom menyebut tata kelola transportasi di Bali jadi salah satu persoalan yang urgent diselesaikan pelaku pariwisata Bali. Kuncinya, menurut Prof Anom, kolaborasi organisasi profesi dan regulator atau pemerintah.
Menurut Prof Anom, para pelaku wisata di Bali malas masuk organisasi adalah lagu lama. Mereka enggan masuk komunitas resmi karena mandulnya peran organisasi memperjuangkan kepentingan mereka. Ditambah, Pemerintah juga tidak pernah mensyaratkan keanggotaan dalam organisasi profesi saat mengurus perizinan.
Beberapa objek wisata ternama di Bali yang tak luput dari praktik tamu asing yang jadi pemandu wisata. –SURYADI
“Kenapa orang enggan masuk organisasi karena masalahnya tak terselesaikan. Kedua, pemerintah tidak sinkron dengan organisasi. Jadi ketika pemerintah memberikan izin tidak pernah berbicara dengan organisasi,” ujar Prof Anom kepada NusaBali, Sabtu (18/1).
Karena itu, Prof Anom mendorong Pemerintah mewajibkan seluruh pelaku pariwisata Bali mulai pemilik hotel atau restoran, hingga sopir taksi pariwisata masuk organisasi profesi masing-masing. Hal itu, menurut Prof Anom, akan membuka pintu organisasi bergandeng tangan dengan Pemerintah dalam mengatur para pelaku pariwisata di Bali. “Kalau tidak masuk organisasi kan susah untuk berkoordinasi, apalagi untuk ikut mengatur keadaan,” ucapnya.
Menurut Prof Anom, salah satu penyebab berlarutnya kejadian WNA atau turis nyambi bekerja di Bali adalah lemahnya koordinasi antara Pemerintah dan organisasi. “Pemerintah kurang pengawasan ketat dan koordinasi kurang dengan asosiasi,” tuturnya.
Menyikapi tuntutan para sopir taksi konvensional ke DPRD Bali dan DPD RI Bali terkait pembatasan taksi online beberapa waktu lalu, Prof Anom sepakat Pemerintah Provinsi Bali segera merevisi Pergub Bali Nomor 40 Tahun 2019 tentang Kendaraan Angkutan Khusus Berbasis Aplikasi, terutama pada pasal 7 ayat 2, point f yang mengizinkan warga (WNI) berdomisili di Bali menjadi sopir taksi online di Bali.
Prof Anom khawatir jika dibiarkan berlarut-larut, maka para sopir di lapangan akan saling serobot mencari nafkah karena tidak ada yang mau mengalah.
“Harus platnya Bali karena dia bayar pajak di Bali. Memang negara kita NKRI di manapun boleh bekerja tetapi ini kan menyangkut online, pekerjaannya harus jelas. Bisa dia tinggal di Bali mungkin saja KTP Bali atau kalau tidak dia punya izin tinggal tetap,” ujar guru besar asal Kelurahan Kapal, Kecamatan Mengwi, Badung, ini.
Lebih jauh, Prof Anom menyebut tata kelola layanan transportasi adalah salah satu langkah perbaikan pariwisata Bali. Saat ini kemacetan jadi salah satu pertimbangan calon wisatawan berkunjung ke Bali. Dan, yang jauh lebih penting, kemacetan juga mulai sering dikeluhkan oleh warga Bali sendiri.
“Belum tentu semua orang bekerja di sektor pariwisata, tapi dia mengalami kemacetan kan dia jengkel. Kalau kita lihat respons masyarakat lokal terhadap pariwisata ada namanya ‘annoyance’ atau kecewa,” ungkapnya.
Prof Anom mengingatkan Pemerintah Daerah tidak mengukur keberhasilan pembangunan pariwisata semata-mata dari jumlah PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang mampu dikumpulkan. Jika pendapatan besar itu harus dibayar mahal dengan kerugian yang dialami masyarakat Bali akibat kemacetan, kemajuan pariwisata Bali tidak ada artinya.
“Masyarakat lokal juga harus dapat manfaat bukan sekadar dapat hibah,” cetus Prof Anom.
Sementara itu, Kepala Dinas Pariwisata (Dispar) Bali, Tjokorda Bagus Pemayun, menegaskan bahwa WNA tidak diperbolehkan menjadi pemandu wisata di Bali tanpa mengikuti aturan yang berlaku.
“Nggak boleh. Tentu berproses juga dia harus mengikuti diklat yang bekerja sama dengan kami. Sehingga dari sana baru kita mengajukan ke OSS (Online Single Submission),” kata Tjok Pemayun.7 adi
1
Komentar