MUTIARA WEDA : Dunia Ini Membingungkan?
Dunia yang tampak ini sungguh membingungkan, bahkan warna biru langit pun merupakan ilusi optikal. Aku pikir akan lebih baik supaya tidak terjebak di dalamnya, lebih baik menolaknya.
Bhrahmasya jāgatasyā ‘sya jātasyā ‘kāsavarnavat
Apunah smaranam manye sādho vismaranam varam.
(Yoga Vasistha, I.3.2)
Hampir sebagian besar teks, baik Vedanta maupun Yoga menyatakan bahwa dunia yang kita tempati, yang setiap hari kita lihat, yang setiap saat kita rasakan, tidak lebih hanya sebuah ilusi. Dunia ini tidak ubahnya seperti langit yang berwarna biru, kalau dicari terus ke atas, tidak ada sesuatu yang berwarna biru. Itu hanya ilusi optik belaka. Oleh karena itu, teks tersebut mempertanyakan, mengapa kita harus terikat dengan benda-benda duniawi? Mengapa kita mau diperdaya dan mudah dibohongi olehnya? Mengapa kita tidak langsung saja melepaskan semua itu dan meraih kebebasan, sebab kebebasan adalah sifat sejati kita? Seperti itulah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan yang dampaknya bisa mempengaruhi dan memprovokasi pikiran kita.
Jika kita renungkan apakah betul seperti itu? Bukankah yang selama ini kita kenal hanya dunia ini yang nyata, yang sesuai dengan apa yang dicerap oleh indria kita? Kalau pun kita melepaskan ikatan dengan dunia material ini, lalu kemerdekaan yang seperti apa yang bisa kita temukan? Apakah indria kita yang benar atau kitab suci itu yang benar? Secara inderawi, kita secara langsung dapat membuktikan bahwa benda-benda yang ada di depan mata dapat dilihat, suara yang ada bisa didengar, suhu yang ada di sekeliling bisa dirasakan, rasa makanan bisa dikecap, dan yang lainnya. Sementara teks itu, dengan bahasa yang ‘provokatif’ tidak bisa secara langsung memberikan bukti bahwa konten yang disampaikannya itu benar dan valid. Teks mana yang mampu memberikan bukti secara langsung kalau bumi ini adalah ilusi? Alat ukur apa yang bisa diberikan untuk membuktikannya. Teks tersebut paling tidak hanya mampu memberikan analogi.
Jika dipertanyakan dalam konteks itu memang, teks tersebut tidak akan mampu memberikan lebih. Hanya analogi yang bisa diberikannya dan itu pun tampak kontradiktif dengan pengalaman indrawi kita. Tetapi, keunikannya adalah teks seperti di atas tidak ditujukan untuk berkonflik dengan pengalaman indrawi kita. Jika orang telah merasa bosan dengan kehidupan duniawi ini, ketika seseorang telah merasa bahwa kehidupan duniawi tidak mampu memuaskannya, maka teks ini diharapkan mampu memberikan alternatif. Olah karena demikian, teks ini tidak diperuntukkan oleh mereka yang masih nyaman dengan kehidupan duniawi. Namun, sekali orang bosan dengan dunia ini, kemungkinan yang terjadi hanya dua. Pertama, bisa bunuh diri, atau kedua bisa tercerahkan. Jika ia yang telah buntu dalam hidup kebetulan tidak lagi beruntung, ia akan berakhir dengan bunuh diri. Tetapi, jika dia memiliki sedikit keberuntungan, teks seperti di atas akan menyelamatkannya.
Provokasi yang diberikan di dalam teks tersebut baru bisa bekerja. Apa yang dinyatakan oleh teks di atas merupakan pengalaman subjektif langsung dari mereka yang telah lama mencari. Ketika dia akhirnya menemukan, maka ia berkesimpulan seperti teks di atas. Tidak ada alat yang bisa memberikan bukti secara langsung. Teks tersebut tidak lebih dari ujaran semata. Namun, sekali orang menyadari bahwa apa yang dicarinya dalam kehidupan di dunia ini tidak mampu memenuhinya, maka turning point itulah yang akan menjadi turbo untuk melesatkan dirinya menuju realitas sejati. Apa yang disajikan oleh teks seperti di atas hanya sebagai penuntun, tidak lebih sebagai metode. Asalkan metode tersebut berjalan dengan benar, maka dia akan dengan sendirinya mengerti kesimpulan yang disampaikan oleh teks di atas, bahwa dunia ini hanya maya, ilusi, tidak nyata. Tetapi jika metodenya melenceng, atau kita salah menjalankannya, maka kesimpulannya akan menjadi lain.
Oleh karena itu ada dua permasalahan yang harus diselesaikan agar teks seperti di atas bisa diterima dengan baik. Pertama diperlukan turning point, bahwa seseorang memang benar-benar menyadari bahwa kehidupan duniawi tidak mampu memuaskannya. Kedua, setelah kesadaran itu muncul, kecerdasan di dalam menggunakan metode juga sangat diperhitungkan. Sehingga, meskipun teks dapat dibaca, tetapi seseorang yang ingin berjalan di jalan pembebasan juga sangat memerlukan seorang guide yang handal, yakni guru. Hanya dengan demikian, kesimpulan teks di atas menjadi benar.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Apunah smaranam manye sādho vismaranam varam.
(Yoga Vasistha, I.3.2)
Hampir sebagian besar teks, baik Vedanta maupun Yoga menyatakan bahwa dunia yang kita tempati, yang setiap hari kita lihat, yang setiap saat kita rasakan, tidak lebih hanya sebuah ilusi. Dunia ini tidak ubahnya seperti langit yang berwarna biru, kalau dicari terus ke atas, tidak ada sesuatu yang berwarna biru. Itu hanya ilusi optik belaka. Oleh karena itu, teks tersebut mempertanyakan, mengapa kita harus terikat dengan benda-benda duniawi? Mengapa kita mau diperdaya dan mudah dibohongi olehnya? Mengapa kita tidak langsung saja melepaskan semua itu dan meraih kebebasan, sebab kebebasan adalah sifat sejati kita? Seperti itulah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan yang dampaknya bisa mempengaruhi dan memprovokasi pikiran kita.
Jika kita renungkan apakah betul seperti itu? Bukankah yang selama ini kita kenal hanya dunia ini yang nyata, yang sesuai dengan apa yang dicerap oleh indria kita? Kalau pun kita melepaskan ikatan dengan dunia material ini, lalu kemerdekaan yang seperti apa yang bisa kita temukan? Apakah indria kita yang benar atau kitab suci itu yang benar? Secara inderawi, kita secara langsung dapat membuktikan bahwa benda-benda yang ada di depan mata dapat dilihat, suara yang ada bisa didengar, suhu yang ada di sekeliling bisa dirasakan, rasa makanan bisa dikecap, dan yang lainnya. Sementara teks itu, dengan bahasa yang ‘provokatif’ tidak bisa secara langsung memberikan bukti bahwa konten yang disampaikannya itu benar dan valid. Teks mana yang mampu memberikan bukti secara langsung kalau bumi ini adalah ilusi? Alat ukur apa yang bisa diberikan untuk membuktikannya. Teks tersebut paling tidak hanya mampu memberikan analogi.
Jika dipertanyakan dalam konteks itu memang, teks tersebut tidak akan mampu memberikan lebih. Hanya analogi yang bisa diberikannya dan itu pun tampak kontradiktif dengan pengalaman indrawi kita. Tetapi, keunikannya adalah teks seperti di atas tidak ditujukan untuk berkonflik dengan pengalaman indrawi kita. Jika orang telah merasa bosan dengan kehidupan duniawi ini, ketika seseorang telah merasa bahwa kehidupan duniawi tidak mampu memuaskannya, maka teks ini diharapkan mampu memberikan alternatif. Olah karena demikian, teks ini tidak diperuntukkan oleh mereka yang masih nyaman dengan kehidupan duniawi. Namun, sekali orang bosan dengan dunia ini, kemungkinan yang terjadi hanya dua. Pertama, bisa bunuh diri, atau kedua bisa tercerahkan. Jika ia yang telah buntu dalam hidup kebetulan tidak lagi beruntung, ia akan berakhir dengan bunuh diri. Tetapi, jika dia memiliki sedikit keberuntungan, teks seperti di atas akan menyelamatkannya.
Provokasi yang diberikan di dalam teks tersebut baru bisa bekerja. Apa yang dinyatakan oleh teks di atas merupakan pengalaman subjektif langsung dari mereka yang telah lama mencari. Ketika dia akhirnya menemukan, maka ia berkesimpulan seperti teks di atas. Tidak ada alat yang bisa memberikan bukti secara langsung. Teks tersebut tidak lebih dari ujaran semata. Namun, sekali orang menyadari bahwa apa yang dicarinya dalam kehidupan di dunia ini tidak mampu memenuhinya, maka turning point itulah yang akan menjadi turbo untuk melesatkan dirinya menuju realitas sejati. Apa yang disajikan oleh teks seperti di atas hanya sebagai penuntun, tidak lebih sebagai metode. Asalkan metode tersebut berjalan dengan benar, maka dia akan dengan sendirinya mengerti kesimpulan yang disampaikan oleh teks di atas, bahwa dunia ini hanya maya, ilusi, tidak nyata. Tetapi jika metodenya melenceng, atau kita salah menjalankannya, maka kesimpulannya akan menjadi lain.
Oleh karena itu ada dua permasalahan yang harus diselesaikan agar teks seperti di atas bisa diterima dengan baik. Pertama diperlukan turning point, bahwa seseorang memang benar-benar menyadari bahwa kehidupan duniawi tidak mampu memuaskannya. Kedua, setelah kesadaran itu muncul, kecerdasan di dalam menggunakan metode juga sangat diperhitungkan. Sehingga, meskipun teks dapat dibaca, tetapi seseorang yang ingin berjalan di jalan pembebasan juga sangat memerlukan seorang guide yang handal, yakni guru. Hanya dengan demikian, kesimpulan teks di atas menjadi benar.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
1
Komentar