Di Balik Bali Nihil Penyakit Mulut dan Kuku
SEJAK akhir Desember 2024, Indonesia kembali dirajam kasus penyakit mulut dan kuku (PMK). Jawa Timur merupakan provinsi dengan peningkatakan kasus PMK tertinggi. Januari 2025, kasus PMK di provinsi barat Selat Bali ini mencapai 250 kasus per hari.
PMK adalah penyakit virus menular yang menyerang hewan berkuku belah, seperti sapi, babi, domba, kambing, dan spesies hewan berkuku genap lainnya. PMK penyakit menular yang berdampak ekonomis tinggi. Khususnya di Bali, ternak sapi Bali dan babi merupakan tulang punggung perekonomian masyarakat pedesaan. Jika PMK menyerang dua komoditas ternak ini, maka Bali akan memikul beban kerugian ekonomi yang tak enteng. PMK tak hanya akan merusak pasar ternak, melainkan juga berkurangnya produktivitas hewan dan pembatasan perdagangan. Kondisi ini pasti bertemali dengan melemahnya penghidupan petani rakyat dari hasil ternak. Muaranya, ketahanan pangan terganggu.
PMK bukan penyakit yang ringan untuk diatasi. Karena daerah yang pernah terjangkit berrisiko terus-menerus tertular baik secara disengaja maupun tidak. Di lain sisi, PMK tetap menjadi ancaman besar bagi dunia peternakan di Bali, dan daerah lain. Sebab virus ini potensial berevolusi untuk menghasilkan keturunan baru. Terkadang keturunan ini menembus kekebalan terhadap sistem vaksin hingga berakibat epidemi besar.
Saat ini, di Bali belum ada laporan kasus PMK. Situasi saat ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain penerapan program pengendalian nasional yang tepat. Partisipasi pemerintah - masyarakat dalam proses pemberantasan PMK, atau belum ada peternak yang melaporkan.
Namun, patut diwaspadai bahwa zero reporting case cenderung menjadi tantangan besar dalam mencapai tujuan pemberantasan PMK. Oleh karena itu, mesti ada peningkatan strategi surveilans terutama melalui penggunaan survei berbasis target atau risiko. Metode ini berkontribusi terhadap peningkatan derajat sensitivitas dalam pencarian peredaran virus, dalam konteks masih nihil kejadian klinis PMK.
Pengendalian dasar PMK bergantung pada kebijakan pencegahan dan vaksinasi ekstensif terhadap semua individu ternak yang rentan.
Di Bali, demi keberhasilan pengendalian dan pemberantasan PMK, karakterisasi rinci isolat virus, termasuk analisis antigenik dan epidemiologi molekuler, merupakan langkah penting. Hal ini memerlukan perlunya pencocokan vaksin dan pengendalian mutu vaksin. Vaksinasi saja tidak akan mampu mengendalikan PMK, kecuali jika dibarengi dengan pengendalian pergerakan hewan. Oleh karena itu, sistem identifikasi hewan dan pengendalian pergerakan hewan juga diperlukan untuk pengendalian PMK secara efektif. Penciptaan zona bebas penyakit dan membangun zona penyangga sangat membantu keberhasilan pengendalian dan pemberantasan PMK. Tidak kalah penting, pelibatan transdisipliner atau menggabungkan kekuatan berbagai pemangku kepentingan sebagai mitra setara untuk pembrantasan PMK. Pemangku ini mencakup peternak, dokter hewan swasta dan pemerintah, DPR/DPRD, pelaku usaha, pasar/pedagang, dan RPH (rumah potong hewan). Keterpaduan interdisipliner ini akan memperkuat kesiapan Bali bila sewaktu – waktu PMK menerjang.
Bali sebagai daerah yang dilaporkan nol kasus harus tetap menerapkan manajemen pengendalian yang tepat. Kesadaran dan pelaporan penyakit oleh peternak maupun petugas layanan kesehatan hewan mesti dtingkatkan. Pelaporan merupakan faktor sangat penting. Petugas layanan kesehatan hewan dan peternak yang mencurigai penyakit, harus segera melaporkan sesuai prosedur yang berlaku. Percepatan pelaporan berperan utama untuk menghindari kerugian lebih besar sekaligus langkah terbaik untuk menuju pembebasan Bali sebagai daerah kasus PMK.
Tantangan di Bali selama ini, antara lain banyak masalah sosio-ekonomi dan alam sepertinya tidak ada pembatasan pergerakan hewan. Akses masyarakat ke daerah terkena dampak begitu bebas. Penundaan vaksinasi dan keengganan peternak memvaksinasi lanjutan membuat pengendalian PMK akan makin sulit. Keadaan ini akan makin parah karena persepsi risiko dan motivasi yang rendah dari peternak. Kelengahan seperti ini makin menyebabkan PMK merebak.
Pemerintah di Bali harus mengambil pelajaran dari wabah PMK tahun 2022. Dari situ dapat diambil langkah-langkah untuk meminimalkan gangguan terkait kemungkinan wabah di masa depan. Antara lain, rekomendasi penanganan berkelanjutan, merinci kemajuan yang telah dicapai dalam memenuhi rekomendasi penanganan, mengidentifikasi perbaikan dalam pelaksanaannya. Tak kalah pentingnya ada basis data mengenai jumlah, lokasi, dan pergerakan hewan di Bali. Data ini bisa menyediakan landasan penting untuk kesiapsiagaan penanganan, investigasi dan kegiatan pengendalian wabah.
Agar hal itu dapat terwujud, pemahaman yang lebih mendalam dari para pemangku kepentingan mengenai prioritas dan tantangan masing-masing pihak adalah hal yang penting. Hal ini membutuhkan sebuah platform di mana masukan dapat didengar serta ditindaklanjuti. Perlu juga disediakan arena untuk mendukung dan mengevaluasi solusi-solusi yang didorong oleh pemangku kepentingan. Keterjalinan komunikasi yang baik transdesipliner dapat menciptakan lingkungan saling percaya, dimana pengetahuan dan pengalaman dapat dibagikan. Lingkungan ini kemudian menghasilkan sebuah platform untuk memecahkan masalah bersama dan meningkatkan kesiapan kita menghadapi bila wabah Kembali merebak. *
1
Komentar