Penjor Riwayatmu Sekarang?
Kata penjor terdengar tidak asing lagi dalam khasanah sosial dan budaya di Bali khususnya.
Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial Budaya
Biasanya, penjor banyak menghiasi pinggir jalan, depan rumah atau pamedal pura. Saat hari raya, misalnya, Galungan dan Kuningan, penjor menjadi kewajiban krama Hindu.
Secara simbolik, penjor merupakan representasi dari Naga Basukih. Selain itu penjor juga merupakan simbol gunung, sacral, dan menebar keselamatan dan kesejahteraan. Secara harafiah, penjor mengandung makna ‘pengajum atau pengastawa’, sebuah doa pengharapan.
Penjor diwujudkan sebagai sebatang bambu yang ujung atasnya menukik ke bumi. Penjor dihiasi dengan berbagai bentuk janur dengan beraneka daun hiasan yang dikenal dengan sebutan ‘plawa’. Perlengkapan penjor lainnya, misalnya ‘pala bungkah’ atau umbi-umbian, seperti ketela rambat dan jajanan.
Biasanya, penjor banyak menghiasi pinggir jalan, depan rumah atau pamedal pura. Saat hari raya, misalnya, Galungan dan Kuningan, penjor menjadi kewajiban krama Hindu.
Secara simbolik, penjor merupakan representasi dari Naga Basukih. Selain itu penjor juga merupakan simbol gunung, sacral, dan menebar keselamatan dan kesejahteraan. Secara harafiah, penjor mengandung makna ‘pengajum atau pengastawa’, sebuah doa pengharapan.
Penjor diwujudkan sebagai sebatang bambu yang ujung atasnya menukik ke bumi. Penjor dihiasi dengan berbagai bentuk janur dengan beraneka daun hiasan yang dikenal dengan sebutan ‘plawa’. Perlengkapan penjor lainnya, misalnya ‘pala bungkah’ atau umbi-umbian, seperti ketela rambat dan jajanan.
Di samping itu, diperlukan pula ‘pala gantung’, seperti kelapa, mentimun, pisang, atau nanas. Khususnya, jagung atau padi disebut ‘pala wija’ merupakan sarana penjor yang bermakna. Pada setinggi tubuh manusia, ‘sanggah Ardha Candra’ lengkap dengan sesajennya diikat kuat. Pada ujung penjor menggantung ‘sampiyan penjor’ lengkap dengan ‘porosan dan bunga’.
‘Sanggah Ardha Candra’ dibuat dari bambu, dengan bentuk dasar persegi empat yang atapnya melengkung setengah lingkaran menyerupai bentuk bulan sabit. Semuanya itu mewujudkan rasa bakti dan ungkapan terima kasih kepada Ida Hyang Widhi. Secara filosofis, penjor mengandung makna proses yadnya menjadi kedewataan. Melalui simbolisasi pala gantung, pala wija dan pala bungkah diha
rapkan semua mengandung berkah, Hyang Siwa menjadi bulan, Hyang Sadha Siwa menjadi windu, dan Hyang Parama Siwa menjadi nadha.
Dewasa ini merupakan zaman modernisasi. Perubahan terjadi di segala aspek hidup dan kehidupan tak terkecuali penjor. Penjor tidak hanya bersifat religius simbolis, tetapi berubah penampilan menjadi materialis hedonis. Saat ini, prasyarat membuat penjor sedikit disimpangkan dan cenderung kurang sesuai dengan sastra agama, dan terkesan sebagai hiasan saja. Di dalam lontar Tutur Dewi Tapini, disebutkan bahwa setiap unsur pada penjor melambangkan simbol-simbol suci. Bambu sebagai vibrasi Dewa Brahma dan kelapa sebagai vibrasi Dewa Rudra. Kain kuning dan janur sebagai vibrasi Dewa Mahadewa, sedangkan daun-daunan sebagai vibrasi Dewa Sangkara. Pala bungkah dan pala gantung sebagai simbol vibrasi Dewa Wisnu. Demikian halnya yang lain, yaitu, tebu sebagai simbol vibrasi Dewa Sambu, padi sebagai simbol vibrasi Dewi Sri, dan kain putih sebagai simbol vibrasi Dewa Iswara. Akhirnya, sanggah sebagai simbol vibrasi Dewa Siwa dan upakaranya sebagai simbol vibrasi Dewa Sadha Siwa dan Parama Siwa.
Simbol-simbol religius yang ada pada penjor menjadi kabur, ketika ia dijadikan hiasan. Hiasan mungkin artististik, namun makna yang disimbolkan bersifat mono-dimensional. Dimensi-dimensi sosial religius seakan dicederai oleh keinginan yang lebih besar untuk dikagumi orang. Padahal, hakikat mendirikan penjor bukan kekaguman akan keindahan, melainkan persembahan rasa bakti yang tulus kepada Sang Causa Prima. Seringpula, penjor dilombakan.
rapkan semua mengandung berkah, Hyang Siwa menjadi bulan, Hyang Sadha Siwa menjadi windu, dan Hyang Parama Siwa menjadi nadha.
Dewasa ini merupakan zaman modernisasi. Perubahan terjadi di segala aspek hidup dan kehidupan tak terkecuali penjor. Penjor tidak hanya bersifat religius simbolis, tetapi berubah penampilan menjadi materialis hedonis. Saat ini, prasyarat membuat penjor sedikit disimpangkan dan cenderung kurang sesuai dengan sastra agama, dan terkesan sebagai hiasan saja. Di dalam lontar Tutur Dewi Tapini, disebutkan bahwa setiap unsur pada penjor melambangkan simbol-simbol suci. Bambu sebagai vibrasi Dewa Brahma dan kelapa sebagai vibrasi Dewa Rudra. Kain kuning dan janur sebagai vibrasi Dewa Mahadewa, sedangkan daun-daunan sebagai vibrasi Dewa Sangkara. Pala bungkah dan pala gantung sebagai simbol vibrasi Dewa Wisnu. Demikian halnya yang lain, yaitu, tebu sebagai simbol vibrasi Dewa Sambu, padi sebagai simbol vibrasi Dewi Sri, dan kain putih sebagai simbol vibrasi Dewa Iswara. Akhirnya, sanggah sebagai simbol vibrasi Dewa Siwa dan upakaranya sebagai simbol vibrasi Dewa Sadha Siwa dan Parama Siwa.
Simbol-simbol religius yang ada pada penjor menjadi kabur, ketika ia dijadikan hiasan. Hiasan mungkin artististik, namun makna yang disimbolkan bersifat mono-dimensional. Dimensi-dimensi sosial religius seakan dicederai oleh keinginan yang lebih besar untuk dikagumi orang. Padahal, hakikat mendirikan penjor bukan kekaguman akan keindahan, melainkan persembahan rasa bakti yang tulus kepada Sang Causa Prima. Seringpula, penjor dilombakan.
Dengan menghabiskan dana puluhan juta rupiah, maka juara diraup dengan mudah. Seusai hadiah diraup sebagai imbalan jerih payah, maka usailah makna penjor sampai di situ. Mungkin ini disebut sebagai efek suatu modernisasi, yaitu materialisasi hidup dan peri kehidupan manusia. Sering pula ‘penyerupaan penjor’ dibentuk dari besi bulat panjang, bukan bambu. Kemudian besi bulat panjang tersebut dihiasi berbagai lampu warna warni. Gemerlap lampu tidak menyimbulkan ungkapan terima kasih atau wujud bakti kepada Hyang Widhi dengan segala manifestasi-Nya. Melainkan kesemarakan hati menyambut hari bahagia, misalnya ulang tahun kabupaten/kota dan sejenisnya. Aksi demikian bukannya salah, melainkan menunjukkan dinamika penjor dari hari ke hari, masa ke masa dan tingkah polah yang bergeser dari secui naturam penjor yang asali? *
Komentar