Aktivis Perempuan Nilai Hakim Binsar 'Sakit'
Hakim Binsar Gultom mengusulkan setiap perempuan yang akan menikah untuk melakukan tes keperawanan terlebih dahulu.
Usulkan Tes Keperawanan
JAKARTA, NusaBali
Usulan Binsar tertuang dalam buku Binsar yang berjudul 'Pandangan Kritis Seorang Hakim'. Buku terbaru Binsar itu menyoroti berbagai masalah hukum terkini, dari soal perceraian hingga praperadilan Novel Baswedan.
"Untuk itu, harus ada tes keperawanan. Jika ternyata sudah tidak perawan lagi, maka perlu tindakan preventif dan represif dari pemerintah. Barangkali, pernikahan bisa ditunda dulu. Mengapa harus demikian? Karena salah satu yang membuat terjadinya perpecahan dalam rumah tangga karena perkawinan dilakukan dalam keadaan terpaksa, sudah hamil terlebih dahulu," ujar Binsar menyikapi banyaknya angka perceraian di Indonesia.
Usulan ini membuat kaget dan syok para aktivis perempuan. "Super sakit nih hakim. Pernyataan hakim Binsar ini salah satu bentuk diskriminatif terhadap perempuan," kata mantan komisioner Komnas Perempuan, Ninik Rahayu kepada detik, Minggu (10/9).
Menurut Ninik, tidak dimilikinya perspektif ketidakadilan gender terhadap perempuan, membuat hakim sebagai salah satu aparat penegak hukum akan memutus perkara kasus-kasus perempuan dan adil menjadi tidak adil secara substantif.
"Saya mengusulkan agar hakim Binsar dites kembali kapabilitasnya sebagai hakim. Terutama terkait perspektifnya terhadap nilai-nilai equality dan equity terhadap perempuan," kata Ninik menegaskan.
Apalagi baru saja keluar Peraturan MA (Perma) No 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Perma di atas merupakan aturan bagi hakim untuk mengadili perempuan secara adil, tidak hanya secara hukum acara, tetapi juga secara substantif. Dalam Perma itu, berikut 4 hal yang dilarang bagi hakim:
1. Hakim tidak boleh menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan, menyalahkan dan/atau mengintimidasi perempuan yang berhadapan dengan hukum.
2. Hakim tidak boleh membenarkan terjadinya diskriminasi terhadap perempuan dengan menggunakan kebudayaan, aturan adat dan praktik tradisional lainnya maupun menggunakan penafsiran ahli yang bias gender.
3. Hakim tidak boleh mempertanyakan dan/atau mempertimbangkan mengenai pengalaman atau latar belakang seksualitas korban sebagai dasar untuk membebaskan pelaku atau meringankan hukuman pelaku.
4. Hakim dilarang mengeluarkan pernyataan atau pandangan yang mengandung stereotip gender.
"Ini PR bagi Ketua MA, tidak hanya membuat regulasi tapi mengajarkan pada jajaran bawahannya untuk belajar melaksanakannya. Kalau tetap tidak paham, disekolahkan dulu ke Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia (PKWG UI)," cetus Ninik yang kini menjadi komisioner Ombudsman Republik Indonesia itu.*
1
Komentar