Saat Kera Ramah, Wisatawan Pun Betah
Karena keberadaan kera ini menjadi satu kesatuan atau duwe (milik) Pura Dalem Kahyangan Kedaton.
Berkunjung ke DTW Alas Kedaton, Tabanan
TABANAN, NusaBali
Alas Kedaton, salah satu objek wisata terkenal di Kabupaten Tabanan. Daya Tarik Wisata (DTW) ini terletak di Desa Kukuh, Kecamatan Marga, Tabanan, sekitar 500 meter di utara Kota Tabanan.
Keunikan DTW ini tak hanya pada hutannya yang sejuk, juga karena obyek ini dihuni oleh ribuan kera. Ribuan kera di obyek ini terkenal agak boh atau akrab dan ‘ramah’ dengan para pengunjung.
Warga sekitar sulit mengisahkan tentang koloni ribuan kera. Warga menyebut dapet be kekene (sudah diwarisi begini sejak lampau ada secara turun-temurun.
Namun spesies kera di Alas Kedaton sama seperti kera di Bali umumnya. Antara lain di Obyek Wisata Sangeh, kawasan Uluwatu, Badung, atau di Obyek Wisata Wanara Wana atau Monkey Forest, Padangtegal, Ubud. Kera-kera tersebut jenis
crab - eating macaque atau Macaca Fascicularis. Jenis kera ini merupakan penghuni asli primata cercopithecine di Asia Tenggara.
Secara khusus kera di Alas Kedaton dikenal masyarakatnya sebagai kera sakral. Karena keberadaan kera ini menjadi satu kesatuan atau duwe (milik) Pura Dalem Kahyangan Kedaton. Pura tersebut tepat berada di dalam hutan atau Alas Kedaton. Penyungsungnya, krama Desa Adat Kukuh, Kecamatan Marga, Tabanan. Berdasarkan tradisi lokal setempat, warga menyebut kawan kera ini jero. Masyarakat tak berani menyebut dengan nama kera atau bojog (bahasa Bali,Red). Kera ini diperlakukan nyaris setara atau seperti manusia.
Pengelola DTW Alas Kedaton I Wayan Semadi mengatakan, jumlah kera di Alas Kedaton diperkirakan lebih dari ribuan kera. Dengan luas lahan mencapai 12 hektare, populasi kera masih relatif ideal. Luas hutan masih mencukupi sebagai habitat ideal dan tidak overload. "Saya perkirakan ada lebih ribuan kera mulai dari baru lahir sampai tua," ungkapnya.
Dirinya mengakui, jika menyimak gerombolan kera ini, pertumbuhan populasi kera di hutan ini relatif cepat. Namun dirinya tidak bisa menyebutkan berapa bulan kera tersebut melahirkan. Karena komposisi luas hutan dengan keberadaan kera masih stabil, pihaknya belum pernah berencana untuk mengkibiri kera atau mensterilkan reproduksinya. Pemberian obat medis untuk memperlambat perkembangbiakan pun belum pernah.
Untuk memperlambat perkembangbiakan kera, pihaknya baru sebatas memberi makan daun pepaya, itu pun sangat sulit mencari. Kecuali ada orang yang tebang pohon pepaya baru bisa diambil daunnya. Sedangkan pepaya yang masih berbuah tidak bisa dicari daunnya karena rentan memengaruhi pertumbuhan buah. Pemilik pohon pepaya pun tidak akan memberikan jika diambil daun pepayanya. "Kami agak jarang bisa ngasi makan kera jenis daun pepaya. Karena sangat sulit mencari, bahkan kami mencari sampai ke daerah Payangan, Gianyar," ujarnya.
Semadi mengakui pencegahan perkembangbiakan kera sangat perlu dilakukan. Karena semakin hari pastinya populasi kera terus bertambah. Pihaknya berencana akan berkoordinasi dengan Dinas Peternakan Tabanan dan Provinsi Bali. Harapannya dinas ini dapat membantu memberikan obat penunda perkembangbiakan kera. ‘’Apakah diberi makan obat jenis pengendali birahi atau seperti apa. Karena kalau kera ditangkap satu-satu untuk disuntik, tidak mungkin. Praktisnya diberi obat dicampur makanan kemudian baru ditebar. Kami akan koordinasi dulu dengan terkait," terangnya. *d
1
Komentar