Duo Nyoman dari Klungkung
Jika orang-orang membahas seni rupa Bali, perhatian pasti ditumpahkan ke Kabupaten Gianyar, ke desa-desa Ubud, Batuan, dan sekitarnya.
Aryantha Soethama
Pengarang
Di daerah-daerah itu seni rupa hidup subur, bergelegak, penuh gejolak, dan selalu menyuguhkan yang baru, yang tidak terduga. Ubud menerima banyak pengaruh dari Rodolf Bonnet, Arie Smith, dan Walter Spies. Kabupaten-kabupaten lain tak pernah memperoleh sentuhan langsung dari maestro seni rupa asing. Kalau toh ada pelukis di luar Ubud atau Batuan, itu pasti perupa yang menyerap pengaruh dua desa sentra seni itu.
Berbeda dengan kalau membahas seni pertunjukan dan karawitan, Bali Selatan tak berhak merasa paling unggul, karena Tabanan atau Buleleng di Bali Utara, memberi pengaruh kuat pada perkembangan seni pertunjukan Bali. Drama tari arja boleh saja diklaim milik Bali Selatan (Gianyar), tapi tidak drama gong.
Orang-orang juga acap bertanya-tanya, apakah pariwisata yang menyebabkan seni kriya berkembang di Ubud? Atau seni kriya itu yang membangkitkan industri pariwisata? Tapi jika orang-orang itu menelisik lebih jauh, mereka akan menemukan, betapa Klungkung punya peran penting dalam sejarah seni rupa Bali. Pemerannya adalah duo Nyoman: Nyoman Gunarsa dan Nyoman Mandra.
Duo Nyoman ini sudah menunjukkan bakat menggambar mereka sejak di SMP. Nyoman Mandra (1946) tumbuh dan berkembang di kalangan pelukis wayang klasik di Desa Kamasan. Boleh jadi Nyoman Gunarsa (1944-2017) tidak akan menjadi pelukis tersohor kalau menolak saran guru gambarnya ketika di SMP. Made Soethama (1930-2002), guru gambar itu, melihat bakat besar Nyoman Gunarsa. Sang guru, yang juga kepala SMP Klungkung, tak henti-henti membujuk Nyoman Gunarsa untuk meneruskan ke sekolah seni rupa di Jogja. Di masa-masa tahun 1960-an itu, merantau ke Jogja tentu peristiwa maha penting dalam hidup. Dan Nyoman Gunarsa menerima saran gurunya: merantau ke Jogja, tempat ia menumpahkan hasrat dirinya sebagai perupa, tempat menimba pengalaman, kota tempat berguru dan berburu.Gunarsa kemudian dikenal sebagai perupa Bali pertama yang tampil dalam panggung seni rupa Indonesia modern. Ia menunjukkan kepada dunia, bahwa perupa Bali bukan lagi petani, yang biasa hidup merunduk-runduk. Ketika ia tampil sebagai bintang iklan City Bank d
i layar kaca, orang-orang Bali kaget, betapa perupa Bali punya bakat tampil cermerlang, mempesona, dan punya posisi tawar tinggi pada kolektor seni.
Nyoman Gunarsa tumbuh menjadi ikon seniman Bali. Ia sederhana, tapi mengundang decak kagum jika tampil flamboyan. Bahasa tubuhnya, jika ia bicara, bercakap bersama seniman, penuh percaya diri, mengingatkan orang-orang pada penampilan aktor Robert de Niro dalam film-filmnya: tegas, garang, juga lembut, dan flamboyan. Lewat Nyoman Gunarsa dunia sadar, orang Bali itu sungguh-sungguh selebritis, memendam bakat yang setiap saat bisa tampil garang, meledak-ledak, di saat lain begitu romantis, menyejukkan, dan teduh.
Lalu, bagaimana nasib rekannya Nyoman Mandra? Perupa yang menekuni seni lukis wayang klasik ini dikenal sebagai pecinta alam. Ia menyelesaikan pendidikan hanya di SMP, tak pernah berniat mengikuti Nyoman Gunarsa untuk sungguh-sungguh menekuni seni lukis. “Begitu tamat SMP saya berniat menjadi polisi,” ujar Mandra serius. Surat-surat lamaran dan surat lulus kesehatan yang ia cari di Klungkung segera ia lengkapi. Bergelantungan naik bus ia berangkat pagi-pagi ke Singaraja untuk melamar jadi polisi.
Tapi Hyang Widhi berkehendak lain. Ketika tiba di tempat melamar, Mandra pucat pasi. Ia hanya bisa bengong melongo ketika meraba-raba kantong celananya. Ia tak menemukan surat-surat lamaran itu selembar pun. “Semua hilang, pasti tercecer di jalan ketika berdesakan di bus,” kata Mandra.
Tentu dia sangat bersedih, tapi ia harus kembali ke Kamasan. Ia putuskan untuk tetap melukis saja, hidup dari melukis. Karya-karyanya, seperti juga karya Nyoman Gunarsa, tersebar ke segala penjuru dunia, tergantung di dinding-dinding gedung instansi-instansi penting. Mandra punya museum mini di rumahnya, tempat menyimpan karya-karyanya yang terbaik, juga lukisan murid-muridnya. Nyoman Gunarsa punya museum jauh lebih besar, tempat menyimpan karyanya yang terpenting dan lukisan-lukisan kuno wayang Kamasan. Gunarsa menyebut museum besar ini Museum Wayang Klasik.
Nyoman Gunarsa dan Nyoman Mandra punya keterkaitan yang kuat. Mereka mengabdikan hidup buat seni wayang klasik. Gunarsa lebih piawai, menyuguhkan adonan klasik dengan seni lukis modern, sehingga ia menjadi sebuah mercu suar seni rupa Indonesia modern. Nyoman Mandra tetap melangkah kalem, mengabdikan hidup sungguh-sungguh di pusat seni lukis wayang. Ia lahir, tumbuh, dewasa, berkembang, di sentra seni lukis klasik itu. Ia sosok di situ.
Karena itu, siapa saja yang hendak mengkaji seni rupa Bali, semestinya menelusuri jejak duo Nyoman dari Klungkung ini. Jangan sekali-sekali mengabaikan mereka, catat dan simak. *
Di daerah-daerah itu seni rupa hidup subur, bergelegak, penuh gejolak, dan selalu menyuguhkan yang baru, yang tidak terduga. Ubud menerima banyak pengaruh dari Rodolf Bonnet, Arie Smith, dan Walter Spies. Kabupaten-kabupaten lain tak pernah memperoleh sentuhan langsung dari maestro seni rupa asing. Kalau toh ada pelukis di luar Ubud atau Batuan, itu pasti perupa yang menyerap pengaruh dua desa sentra seni itu.
Berbeda dengan kalau membahas seni pertunjukan dan karawitan, Bali Selatan tak berhak merasa paling unggul, karena Tabanan atau Buleleng di Bali Utara, memberi pengaruh kuat pada perkembangan seni pertunjukan Bali. Drama tari arja boleh saja diklaim milik Bali Selatan (Gianyar), tapi tidak drama gong.
Orang-orang juga acap bertanya-tanya, apakah pariwisata yang menyebabkan seni kriya berkembang di Ubud? Atau seni kriya itu yang membangkitkan industri pariwisata? Tapi jika orang-orang itu menelisik lebih jauh, mereka akan menemukan, betapa Klungkung punya peran penting dalam sejarah seni rupa Bali. Pemerannya adalah duo Nyoman: Nyoman Gunarsa dan Nyoman Mandra.
Duo Nyoman ini sudah menunjukkan bakat menggambar mereka sejak di SMP. Nyoman Mandra (1946) tumbuh dan berkembang di kalangan pelukis wayang klasik di Desa Kamasan. Boleh jadi Nyoman Gunarsa (1944-2017) tidak akan menjadi pelukis tersohor kalau menolak saran guru gambarnya ketika di SMP. Made Soethama (1930-2002), guru gambar itu, melihat bakat besar Nyoman Gunarsa. Sang guru, yang juga kepala SMP Klungkung, tak henti-henti membujuk Nyoman Gunarsa untuk meneruskan ke sekolah seni rupa di Jogja. Di masa-masa tahun 1960-an itu, merantau ke Jogja tentu peristiwa maha penting dalam hidup. Dan Nyoman Gunarsa menerima saran gurunya: merantau ke Jogja, tempat ia menumpahkan hasrat dirinya sebagai perupa, tempat menimba pengalaman, kota tempat berguru dan berburu.Gunarsa kemudian dikenal sebagai perupa Bali pertama yang tampil dalam panggung seni rupa Indonesia modern. Ia menunjukkan kepada dunia, bahwa perupa Bali bukan lagi petani, yang biasa hidup merunduk-runduk. Ketika ia tampil sebagai bintang iklan City Bank d
i layar kaca, orang-orang Bali kaget, betapa perupa Bali punya bakat tampil cermerlang, mempesona, dan punya posisi tawar tinggi pada kolektor seni.
Nyoman Gunarsa tumbuh menjadi ikon seniman Bali. Ia sederhana, tapi mengundang decak kagum jika tampil flamboyan. Bahasa tubuhnya, jika ia bicara, bercakap bersama seniman, penuh percaya diri, mengingatkan orang-orang pada penampilan aktor Robert de Niro dalam film-filmnya: tegas, garang, juga lembut, dan flamboyan. Lewat Nyoman Gunarsa dunia sadar, orang Bali itu sungguh-sungguh selebritis, memendam bakat yang setiap saat bisa tampil garang, meledak-ledak, di saat lain begitu romantis, menyejukkan, dan teduh.
Lalu, bagaimana nasib rekannya Nyoman Mandra? Perupa yang menekuni seni lukis wayang klasik ini dikenal sebagai pecinta alam. Ia menyelesaikan pendidikan hanya di SMP, tak pernah berniat mengikuti Nyoman Gunarsa untuk sungguh-sungguh menekuni seni lukis. “Begitu tamat SMP saya berniat menjadi polisi,” ujar Mandra serius. Surat-surat lamaran dan surat lulus kesehatan yang ia cari di Klungkung segera ia lengkapi. Bergelantungan naik bus ia berangkat pagi-pagi ke Singaraja untuk melamar jadi polisi.
Tapi Hyang Widhi berkehendak lain. Ketika tiba di tempat melamar, Mandra pucat pasi. Ia hanya bisa bengong melongo ketika meraba-raba kantong celananya. Ia tak menemukan surat-surat lamaran itu selembar pun. “Semua hilang, pasti tercecer di jalan ketika berdesakan di bus,” kata Mandra.
Tentu dia sangat bersedih, tapi ia harus kembali ke Kamasan. Ia putuskan untuk tetap melukis saja, hidup dari melukis. Karya-karyanya, seperti juga karya Nyoman Gunarsa, tersebar ke segala penjuru dunia, tergantung di dinding-dinding gedung instansi-instansi penting. Mandra punya museum mini di rumahnya, tempat menyimpan karya-karyanya yang terbaik, juga lukisan murid-muridnya. Nyoman Gunarsa punya museum jauh lebih besar, tempat menyimpan karyanya yang terpenting dan lukisan-lukisan kuno wayang Kamasan. Gunarsa menyebut museum besar ini Museum Wayang Klasik.
Nyoman Gunarsa dan Nyoman Mandra punya keterkaitan yang kuat. Mereka mengabdikan hidup buat seni wayang klasik. Gunarsa lebih piawai, menyuguhkan adonan klasik dengan seni lukis modern, sehingga ia menjadi sebuah mercu suar seni rupa Indonesia modern. Nyoman Mandra tetap melangkah kalem, mengabdikan hidup sungguh-sungguh di pusat seni lukis wayang. Ia lahir, tumbuh, dewasa, berkembang, di sentra seni lukis klasik itu. Ia sosok di situ.
Karena itu, siapa saja yang hendak mengkaji seni rupa Bali, semestinya menelusuri jejak duo Nyoman dari Klungkung ini. Jangan sekali-sekali mengabaikan mereka, catat dan simak. *
Komentar