MUTIARA WEDA: Realitas vs Dunia
Entitas tunggal, penuh kebahagiaan, menyeluruh dan menyelimuti segala sesuatu itu saja yang eksis, dan bukan yang lainnya. Dia yang secara konstan merealisasikan pengetahuan ini akan terbebas dari kematian dan penderitaan dari roda duniawi.
Ekah santāpuritānandarupah purno vyāpi vartate nāsti kincit,
Etajjanam yah karotyeva nityam muktah sasyānmrtyusamsāraduhkāt
(Siva Samhita, I.87)
Dalam tataran advaitik, baik yang bersumber dari Upanisad maupun teks agama, selalu menekankan bahwa realitas kehidupan kita sehari-hari ini tidak memiliki dasar eksistensi. Upanisad mengandaikan dunia tempat kita tinggal ini tidak ubahnya seperti bentuk pot yang terbuat dari tanah liat. Jika diperhatikan secara seksama, sebenarnya tidak ada yang namanya pot secara eksistensi, sebab jika pot itu dihancurkan, yang tersisa hanya tanah liat. Hanya tanah liat yang ada apakah sebelum, maupun setelah pot itu dibuat. Dengan cara yang sama, hanya Brahman, yang menyelimuti segala sesuatu inilah yang eksis, sementara apapun di luar itu, tidak pernah ada. Tampaknya saja ada, tetapi sebenarnya tidak memiliki eksistensi.
Mengapa demikian? Oleh karena maya, kita merasa kalau dunia ini nyata dan memiliki eksistensi. Sama seperti pot itu, oleh karena tukang pot yang membuatnya, seolah-olah pot itu ada, tetapi yang ada hanyalah tanah liat yang berbeda bentuk dari sebelumnya, dan itu menjadi demikian oleh karena keahlian tukang itu. Apa hubungannya dengan kesadaran kita? Menurut teks di atas, jika kita memahami dan merealisasikan hal ini, maka kita tidak akan terjebak oleh penderitaan hidup ini. Selama ini kita mengidentifikasi diri sebagai pot, tidak sebagai tanah liat. Bentuk pot itu sifatnya sementara dan merupakan tempat atau sumber terjadinya penderitaan. Jika kita menyadari bahwa diri kita sebenarnya bukan pot, tetapi tanah liat, maka kita akan bahagia selamanya. Mengapa? Karena diri kita yang sejati, yang menyelimuti segala sesuatu, yang tunggal tersebut adalah kebahagiaan itu sendiri. Dengan menyadari hal ini, kita akan dengan sendirinya bahagia.
Bagaimana caranya agar kita menyadari bahwa diri kita bukan pot, melainkan tanah liatnya? Ini yang sulit dijawab dan telah menjadi perenungan dan pencarian dari para pencari kebenaran dari masa ke masa. Kita telah terbiasa dengan identitas palsu sehingga kita tidak menyadari bahwa apa yang kita alami sehari-hari sebenarnya tidak pernah eksis. Kehidupan ini hanyalah ilusi. Kita telah dari kelahiran demi kelahiran terbiasa dengan identitas palsu, makanya kita sedikit sekali memiliki sankalpa yang cukup untuk bisa memahami misteri tersebut. Sepanjang kita tidak mampu memotong tali penghubung dengan prarabda yang kita bangun dari banyak kelahiran, maka kita tidak akan mampu mengenali diri bahwa kita sebenarnya tanah liat, bukan pot, kita adalah Brahman, bukan badan ini.
Namun, setiap teks menyajikan cara yang beragam mengenai bagaimana caranya kita mampu melenyapkan kebodohan yang telah kita bawa berabad-abad dan beribu-ribu kehidupan. Guna membalikkan kesadaran kita dari kesadaran palsu menuju kesadaran sejati diperlukan sadhana yang cukup intens dan mesti di bawah bimbingan guru sejati. Hanya sadhana yang mampu menyeberangkan seseorang mengarungi luasnya danau kegelapan dan mengubahnya menjadi cahaya yang terang benderang. Pengetahuan tekstual tentang diri sejati bahwa kita adalah kebahagiaan itu tidak akan mengantarkan kita mengalami langsung.
Apa yang mesti dilakukan? Seperti halnya Bhairava memberikan instruksi kepada Bhairavi dalam teks Vijnana Bhairava Tantra. Bhairavi, yang dalam hal ini bertindak sebagai murid, bertanya kepada Bhairava, yang adalah gurunya. Ketika Bhairavi bertanya tentang realitas Siwa, Bhairava sendiri tidak langsung menarasikan apa itu Siwa, melainkan Bhairava memberikan teknik meditasi kepada Bhairavi untuk dipraktikkan. Mengapa teknik? Penjelasan yang panjang tentang Siwa tidak akan memberikan hasil apapun sebelum pernah secara langsung mengalami Siva. Pemahaman intelek tidak akan mampu menembus Siwa. Hanya ketika teknik itu dilakukan dengan baik, realitas Siva akan bisa dialami secara langsung.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Etajjanam yah karotyeva nityam muktah sasyānmrtyusamsāraduhkāt
(Siva Samhita, I.87)
Dalam tataran advaitik, baik yang bersumber dari Upanisad maupun teks agama, selalu menekankan bahwa realitas kehidupan kita sehari-hari ini tidak memiliki dasar eksistensi. Upanisad mengandaikan dunia tempat kita tinggal ini tidak ubahnya seperti bentuk pot yang terbuat dari tanah liat. Jika diperhatikan secara seksama, sebenarnya tidak ada yang namanya pot secara eksistensi, sebab jika pot itu dihancurkan, yang tersisa hanya tanah liat. Hanya tanah liat yang ada apakah sebelum, maupun setelah pot itu dibuat. Dengan cara yang sama, hanya Brahman, yang menyelimuti segala sesuatu inilah yang eksis, sementara apapun di luar itu, tidak pernah ada. Tampaknya saja ada, tetapi sebenarnya tidak memiliki eksistensi.
Mengapa demikian? Oleh karena maya, kita merasa kalau dunia ini nyata dan memiliki eksistensi. Sama seperti pot itu, oleh karena tukang pot yang membuatnya, seolah-olah pot itu ada, tetapi yang ada hanyalah tanah liat yang berbeda bentuk dari sebelumnya, dan itu menjadi demikian oleh karena keahlian tukang itu. Apa hubungannya dengan kesadaran kita? Menurut teks di atas, jika kita memahami dan merealisasikan hal ini, maka kita tidak akan terjebak oleh penderitaan hidup ini. Selama ini kita mengidentifikasi diri sebagai pot, tidak sebagai tanah liat. Bentuk pot itu sifatnya sementara dan merupakan tempat atau sumber terjadinya penderitaan. Jika kita menyadari bahwa diri kita sebenarnya bukan pot, tetapi tanah liat, maka kita akan bahagia selamanya. Mengapa? Karena diri kita yang sejati, yang menyelimuti segala sesuatu, yang tunggal tersebut adalah kebahagiaan itu sendiri. Dengan menyadari hal ini, kita akan dengan sendirinya bahagia.
Bagaimana caranya agar kita menyadari bahwa diri kita bukan pot, melainkan tanah liatnya? Ini yang sulit dijawab dan telah menjadi perenungan dan pencarian dari para pencari kebenaran dari masa ke masa. Kita telah terbiasa dengan identitas palsu sehingga kita tidak menyadari bahwa apa yang kita alami sehari-hari sebenarnya tidak pernah eksis. Kehidupan ini hanyalah ilusi. Kita telah dari kelahiran demi kelahiran terbiasa dengan identitas palsu, makanya kita sedikit sekali memiliki sankalpa yang cukup untuk bisa memahami misteri tersebut. Sepanjang kita tidak mampu memotong tali penghubung dengan prarabda yang kita bangun dari banyak kelahiran, maka kita tidak akan mampu mengenali diri bahwa kita sebenarnya tanah liat, bukan pot, kita adalah Brahman, bukan badan ini.
Namun, setiap teks menyajikan cara yang beragam mengenai bagaimana caranya kita mampu melenyapkan kebodohan yang telah kita bawa berabad-abad dan beribu-ribu kehidupan. Guna membalikkan kesadaran kita dari kesadaran palsu menuju kesadaran sejati diperlukan sadhana yang cukup intens dan mesti di bawah bimbingan guru sejati. Hanya sadhana yang mampu menyeberangkan seseorang mengarungi luasnya danau kegelapan dan mengubahnya menjadi cahaya yang terang benderang. Pengetahuan tekstual tentang diri sejati bahwa kita adalah kebahagiaan itu tidak akan mengantarkan kita mengalami langsung.
Apa yang mesti dilakukan? Seperti halnya Bhairava memberikan instruksi kepada Bhairavi dalam teks Vijnana Bhairava Tantra. Bhairavi, yang dalam hal ini bertindak sebagai murid, bertanya kepada Bhairava, yang adalah gurunya. Ketika Bhairavi bertanya tentang realitas Siwa, Bhairava sendiri tidak langsung menarasikan apa itu Siwa, melainkan Bhairava memberikan teknik meditasi kepada Bhairavi untuk dipraktikkan. Mengapa teknik? Penjelasan yang panjang tentang Siwa tidak akan memberikan hasil apapun sebelum pernah secara langsung mengalami Siva. Pemahaman intelek tidak akan mampu menembus Siwa. Hanya ketika teknik itu dilakukan dengan baik, realitas Siva akan bisa dialami secara langsung.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Komentar