Ribuan Siswa Pengungsi Mulai Sekolah di Klungkung
Sebanyak 1.915 pengungsi korban bencana Gunung Agung asal Karangasem yang masih berstatus pelajar bisa kembali melanjutkan sekolah di Klungkung, sejak Senin (25/9) pagi.
SEMARAPURA, NusaBali
Para siswa mulai tingkat TK, SD, SMP, hingga SMA/SMK tersebut nebeng belajar di sekolah-sekolah dekat tempatnya mengungsi. Berdasarkan hasil pendataan di 114 titik posko pengungsian di wilayah Klungkung, siswa TK yang menguyngsi mencapai 101 orang. Sedangkan siswa SD pengungsi korban bencana Gunung Agung di Klungkung mencapai 901 orang, disusul siswa SMP sebanyak 443 orang, siswa SMA sebanyak 431 orang, dan siswa SMK sebayak 37 orang. Selain itu, ada juga siswa Kejar Paket C sebanyak 2 orang.
"Anak-anak pengungsi yang bersekolah ini terbagi atas siswa TK, SD, SMP, dan SMA/SMK," ungkap Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Klungkung, Dewa Gede Darmawan, di Posko Pengungsi GOR Swecapura, Desa Gelgel, Kecamatan Klungkung, Senin kemarin.
Khusus untuk siswa SD pengungsi korban bencana Gunung Agung, mereka belajar tersebar di 23 sekolah kawasan Kecamatan Klungkung, 24 sekolah kawasan Kecamatan Banjarangkan, dan 16 sekolah kawasan Kecamatan Dawan. Sedangkan untuk siswa SMP, mereka belajar tersebar di 13 sekolah. Sebaliknya, untuk siswa SMA/SMK pengungsi korban bencana, mereka belajar menyebar di 11 sekolah di Klungkung.
Menurut Dewa Darmawan, kendala awal yang dihadapi adalah jarak tempuh siswa dari lokasi pengungsian ke SMA/SMK tempatnya belajar. "Namun, kami tidak patah arang dan menemukan solusi dengan sistem 'brother school',” kata Dewa Darmawan. Artinya, siswa yang ada di sekolah rujukan membantu siswa pengungsi yang ada di posko pengungsian untuk mencari teman berangkat ke sekolah naik motor ber-sama secara sukarela.
Sementara, pembelajaran hari pertama sekolah, Senin kemarin, lebih difokuskan untuk pengenalan lingkungan sekolah agar siswa pengungsi korban bencana segera bisa beradaptasi. Pantauan NusaBali di sejumlah sekolah, untuk siswa pengungsi tingkat TK dan SD tampak lebih cepat bergaul dengan teman barunya, terutama saat diberikan waktu menyanyi dan bermain.
Sedangkan untuk siswa pengungsi tingkat SMP dan SMA/SMK, sebagian besar masih terlihat canggung di sekolah barunya pada hari pertama. Khusus di SMPN 3 Semarapura yang lokasinya di sebelah utara Posko Pengungsian GOR Suwecapura, ada 178 siswa pengungsi korban bencana Gunung Agung yang ikut belajar, Senin kemarin. Mereka langsung digabung dengan kelas reguler.
Ketika berada di ruang kelas, para siswa SMP ini belum sepenuhnya berbaur dengan teman-teman baru mereka. Hal itu terlihat dari posisi duduk mereka di kelas yang belum bisa berpisah dengan rekan-rekannya sesama pengungsi. Menurut Kabid Pembinaan Pendidikan Dasar Disdikpora Klungkung, I Ketut Suastana, pihaknya memberikan pengarahan dan motivasi kepada siswa pengungsi maupun siswa sekolah bersangkutan. “Kita arahkan duduknya membarir satu sama lain,” tandas Suastana.
Suastana menyebutkan, dari pemantauan di SMPN 3 Semarapura kemarin, pihaknya menemukan persoalan lain yakni adanya perbedaan kurikulum. Siswa Kelas VIII dan IX SMPN 3 Semarapura masih menggunakan kurikulum KTPS. Sedangkan kurikulum 2013 baru diterapkan untuk siswa Kelas VII SMPN 3 Semarapura. Namun, beberapa siswa pengungsi sudah sudah belajar dengan kurikulum 2013.
Pihaknya berharap kepada guru-guru dari Karangasem yang berada di pengungsian wilayah Klungkung agar turut serta membimbing anak didiknya. “Kami sempat bertemu dengan beberapa guru asal Karangasem di pengungsian. Kami sudah minta mereka menyampaikan informasi ini kepada guru lainnya,” sebut Suastana.
Sedangkan Kadis Pendidikan Klungkung, Dewa Darmawan, mengatakan untuk siswa yang berbeda kurikulum, akan segera dirolling supaya sesuai dengan kurikulum yang diberikan selama ini. “Akan segera kita rolling. Kita masih menunggu laporan dari pihak sekolah,” kata Dewa Darmawan.
Menurut Dewa Darmawan, sebagian besar siswa pengungsi korban bencana Gunung Agung sudah membawa pakaian sekolah. Nah, bagi mereka yang tidak membawa seragam sekolah, mereka diharapkan belajar menggunakan pakaian bebas rapi. “Bantuan beberapa seragam sekolah dari pihak terkait akan segera dibagikan kepada para siswa pengungsi,” katanya.
Sementara itu, Bupati Klungkung I Nyoman Suwirta mengatakan pihaknya sudah memetakan para siswa pengungsi korban bencana untuk bisa belajar di sekolah terdekat dengan posko pengungsian. "Upaya ini kami lakukan agar anak-anak pengungsi tidak putus sekolah, karena malu dengan kondisinya," ujar Bupati Suwirta, yang Senin kemarin terjun ke beberapa lokasi pengungsian.
Bupati Suwirta mengatakan, untuk para siswa pengungsi tingkat SMA/SMK, pihaknya sudah memetakan sekolah yang dijadikan rujukan, dengan menerapkan pola ‘brother school’ di mana satu siswa yang di sekolah rujukan membantu anak pengungsi untuk diantar jemput sekolah secara sukarela. Dengan pola ini, otomatis siswa SMA/SMK rujukan menjadi sukarelawan mengantar jemput anak-anak pengungsi.
Pola brother school murni gagasan Bupati Suwirta untuk mengantisipasi anak anak pengungsi supaya tidak putus sekolah. “Tidak boleh ada anak yang putus sekolah akibat bencana ini. Dengan sistem brother school, masing-masing anak pengungsi akan dijadikan saudara oleh salah satu teman di sekolah rujukan, sehingga mereka merasa dekat, nyaman, dan pulih di tempat pengungsian,” ujar Bupati Klungkung pertama asal kawasan seberang Nusa Penida ini.
Bupati Suwirta juga menerima usulan agar siswa pengungsi tingkat SMP dapat bersekolah gratis di sekolah swasta di Klungkung. "Sebab, sekolah SMP swasta paling banyak berada di Desa Takmung (kecamatan Banjarangkan, Klungkung) yang dekat dengan pengungsian. Bila mereka bersekolah di SMP Negeri yang ada di Desa Tiingan, sangat jauh menuju sekolahnya." *wa
"Anak-anak pengungsi yang bersekolah ini terbagi atas siswa TK, SD, SMP, dan SMA/SMK," ungkap Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Klungkung, Dewa Gede Darmawan, di Posko Pengungsi GOR Swecapura, Desa Gelgel, Kecamatan Klungkung, Senin kemarin.
Khusus untuk siswa SD pengungsi korban bencana Gunung Agung, mereka belajar tersebar di 23 sekolah kawasan Kecamatan Klungkung, 24 sekolah kawasan Kecamatan Banjarangkan, dan 16 sekolah kawasan Kecamatan Dawan. Sedangkan untuk siswa SMP, mereka belajar tersebar di 13 sekolah. Sebaliknya, untuk siswa SMA/SMK pengungsi korban bencana, mereka belajar menyebar di 11 sekolah di Klungkung.
Menurut Dewa Darmawan, kendala awal yang dihadapi adalah jarak tempuh siswa dari lokasi pengungsian ke SMA/SMK tempatnya belajar. "Namun, kami tidak patah arang dan menemukan solusi dengan sistem 'brother school',” kata Dewa Darmawan. Artinya, siswa yang ada di sekolah rujukan membantu siswa pengungsi yang ada di posko pengungsian untuk mencari teman berangkat ke sekolah naik motor ber-sama secara sukarela.
Sementara, pembelajaran hari pertama sekolah, Senin kemarin, lebih difokuskan untuk pengenalan lingkungan sekolah agar siswa pengungsi korban bencana segera bisa beradaptasi. Pantauan NusaBali di sejumlah sekolah, untuk siswa pengungsi tingkat TK dan SD tampak lebih cepat bergaul dengan teman barunya, terutama saat diberikan waktu menyanyi dan bermain.
Sedangkan untuk siswa pengungsi tingkat SMP dan SMA/SMK, sebagian besar masih terlihat canggung di sekolah barunya pada hari pertama. Khusus di SMPN 3 Semarapura yang lokasinya di sebelah utara Posko Pengungsian GOR Suwecapura, ada 178 siswa pengungsi korban bencana Gunung Agung yang ikut belajar, Senin kemarin. Mereka langsung digabung dengan kelas reguler.
Ketika berada di ruang kelas, para siswa SMP ini belum sepenuhnya berbaur dengan teman-teman baru mereka. Hal itu terlihat dari posisi duduk mereka di kelas yang belum bisa berpisah dengan rekan-rekannya sesama pengungsi. Menurut Kabid Pembinaan Pendidikan Dasar Disdikpora Klungkung, I Ketut Suastana, pihaknya memberikan pengarahan dan motivasi kepada siswa pengungsi maupun siswa sekolah bersangkutan. “Kita arahkan duduknya membarir satu sama lain,” tandas Suastana.
Suastana menyebutkan, dari pemantauan di SMPN 3 Semarapura kemarin, pihaknya menemukan persoalan lain yakni adanya perbedaan kurikulum. Siswa Kelas VIII dan IX SMPN 3 Semarapura masih menggunakan kurikulum KTPS. Sedangkan kurikulum 2013 baru diterapkan untuk siswa Kelas VII SMPN 3 Semarapura. Namun, beberapa siswa pengungsi sudah sudah belajar dengan kurikulum 2013.
Pihaknya berharap kepada guru-guru dari Karangasem yang berada di pengungsian wilayah Klungkung agar turut serta membimbing anak didiknya. “Kami sempat bertemu dengan beberapa guru asal Karangasem di pengungsian. Kami sudah minta mereka menyampaikan informasi ini kepada guru lainnya,” sebut Suastana.
Sedangkan Kadis Pendidikan Klungkung, Dewa Darmawan, mengatakan untuk siswa yang berbeda kurikulum, akan segera dirolling supaya sesuai dengan kurikulum yang diberikan selama ini. “Akan segera kita rolling. Kita masih menunggu laporan dari pihak sekolah,” kata Dewa Darmawan.
Menurut Dewa Darmawan, sebagian besar siswa pengungsi korban bencana Gunung Agung sudah membawa pakaian sekolah. Nah, bagi mereka yang tidak membawa seragam sekolah, mereka diharapkan belajar menggunakan pakaian bebas rapi. “Bantuan beberapa seragam sekolah dari pihak terkait akan segera dibagikan kepada para siswa pengungsi,” katanya.
Sementara itu, Bupati Klungkung I Nyoman Suwirta mengatakan pihaknya sudah memetakan para siswa pengungsi korban bencana untuk bisa belajar di sekolah terdekat dengan posko pengungsian. "Upaya ini kami lakukan agar anak-anak pengungsi tidak putus sekolah, karena malu dengan kondisinya," ujar Bupati Suwirta, yang Senin kemarin terjun ke beberapa lokasi pengungsian.
Bupati Suwirta mengatakan, untuk para siswa pengungsi tingkat SMA/SMK, pihaknya sudah memetakan sekolah yang dijadikan rujukan, dengan menerapkan pola ‘brother school’ di mana satu siswa yang di sekolah rujukan membantu anak pengungsi untuk diantar jemput sekolah secara sukarela. Dengan pola ini, otomatis siswa SMA/SMK rujukan menjadi sukarelawan mengantar jemput anak-anak pengungsi.
Pola brother school murni gagasan Bupati Suwirta untuk mengantisipasi anak anak pengungsi supaya tidak putus sekolah. “Tidak boleh ada anak yang putus sekolah akibat bencana ini. Dengan sistem brother school, masing-masing anak pengungsi akan dijadikan saudara oleh salah satu teman di sekolah rujukan, sehingga mereka merasa dekat, nyaman, dan pulih di tempat pengungsian,” ujar Bupati Klungkung pertama asal kawasan seberang Nusa Penida ini.
Bupati Suwirta juga menerima usulan agar siswa pengungsi tingkat SMP dapat bersekolah gratis di sekolah swasta di Klungkung. "Sebab, sekolah SMP swasta paling banyak berada di Desa Takmung (kecamatan Banjarangkan, Klungkung) yang dekat dengan pengungsian. Bila mereka bersekolah di SMP Negeri yang ada di Desa Tiingan, sangat jauh menuju sekolahnya." *wa
1
Komentar