Dadong 105 Tahun Ngungsi ke Gianyar
Pasutri 100 Tahun Ngungsi ke Denpasar
GIANYAR, NusaBali
Dari 6.140 jiwa pengungsi korban bencana Gunung Agung yang berlindung di kawasan Gianyar, satu di antaranya berusia sangat sepuh 105 tahun. Dia adalah Ni Made Sabeh, 105, pengungsi asal Banjar Tegeh, Desa Tengah, Kecamatan Bebandem, Karangasem. Sebelumnya, Ni Made Sabeh juga ikut mengungsi saat bencana Gunung Agung meletus tahun 1963.
Saat ini, Ni Made Sabeh mengungsi di tempat kos cucunya, I Made Putra Suryantara. Dia mengungsi sejak Kamis (21/9) lalu bersama putra bungsunya, I Komang Sekar, 54 (ayah dari Putra Suryantara). Dalam kartu keluarga yang ditunjukkan kepada NusaBali, Selasa (26/9), Made Sabeh tercatat kelahiran Karangasem, 30 Desember 1912. Ketika Gunung Agung meletus 1963, Made Sabeh sudah berusia 51 tahun. Dia dikaruniai 7 anak, namun hanya si sulung dan si bungsu Komang Sekar yang masih hidup.
Tak banyak yang bisa dikorek dari Made Sabeh, mengingat kondisinya sudah sangat sepuh, fisiknya lemah. Saat NusaBali berkunjung ke tempat pengungsiannya di Gianyar, Selasa kemarin, Dadong (Nenek) Made Sabeh tampak terkulai lemas di tempat tidur. Menurut anak bungsunya, Komang Sekar, ketika bencana Gunung Agung meletus tahun 1963, Dadong Sabeh sekeluarga mengungsi ke Lombok, NTB. “Saya yang masih bayi saat itu ikut diajak mengungsi ke Lombok. Kebetulan di sana ada saudara,” jelas Komang Sekar didampingi istrinya, Ni Luh Merta, yang juga mengungsi ke Gianyar.
Bagi Komang Sekar, pengungsian bencana Gunung Agung memang memerlukan waktu yang cukup lama, bahkan tidak menentu lamanya. “Waktu bencana Gunung Agung 1963, sampai bertahun-tahun ngungsi di Lombok. Bapak saya sampai menikah lagi dengan perempuan Lombok. Saya sekarang punya 3 saudara tiri di Lombok,” kenang Komang Sekar yang kini bekerja sebagai petugas pembinaan jalan Dinas PU Karangasem ini.
Mednurut Komang Sekar, petugas dari Dinas Kesehatan Gianyar sudah sempat datang mengcek kondisi kesehatan ibunya. Yang heboh, tensi Dadong Sabeh dikatakan normal, meski usianya sudah 105 tahun. Kemarin sudah dicek kesehatannya. Kata perawatny, ibu saya normal,” katanya.
Sementara itu, di Kota Denpasar juga ada pengungsi pasangan suami istri sepuh berusia 100 tahun, yakni I Nyoman Rupa dan Ni Wayan Rupa. Mereka mengungsi di sebuah rumah kawasan Jalan Trijata I Gang C Nomor 6 Denpasar, sejak Minggu (24/9). Mereka diboyong keluarga ke Denpasar, karena harus meninggalkan kampung halamannya di Banjar Jangu, Desa Duda, Kecamatan Selat, Karangasem demi menyelamatkan diri dari bencana Gunung Agung.
Selama dua hari emngungsi, tidak sedetik pun Pekak (Kakek) Nyoman Rupa meninggalkan istrinya, Dadong Wayan Rupa, dari kamar berdinding gedek. Sesekali, sang istri menggenggam erat tangan Pekak Nyoman Rupa. Karena tubuh yang renta, sakit-sakitan dan tidak mampu lagi berbicara, genggaman itu seolah mengisyaratkan bahwa Dadong Wayan Rupa tidak ingin ditinggalkan suami. Pekak Rupa pun hanya duduk di pinggir tempat tidur sang istri.
Apa yang dikomunikasikan pasutri sepuh ini, tak ada yang tahu. Bahkan, anak kelimanya, Ni Wayan Sari, 64, juga tidak mengerti pembicaraan kedua orangtuanya. Menurut Wayan Sari, ibunya sudah sakit-sakitan dan tidak bisa bangun lagi dari tempat tidur sejak 3 tahun lalu. Bahkan, sejak dua bulan lalu, kakinya menekuk, tidak bisa diluruskan. Sementara sang ayah masih terlihat sehat di usia 100 tahun. Hanya saja, tidak nyambung diajak bicara.
Menurut Wayan Sari, kedua orangtuanya selama ini hanya diurus oleh keponakannya yang masih teruna (lajang). Sedangkan 9 anaknya tinggal terpisah, karena memiliki keluarga. Hanya sesekali saja Wayan Sari menengok dan memandikan orangnya. “Ampun tua, ten ngidang ngujang-ngujang mangkin. Meme tiange sakit ampun ada uling telung tiban. Bapan tiange masih ten ngidang megae, nongosin i meme (Sudah tua, tidak mampu melakukan apa-apa. Ibu saya sudah sakit sejak tiga tahun lalu. Bapak saya juga tidak bisa bekerja, karena harus mendampingin ibu, Red),” kata Wayan Sari kepada NusaBali di pengungsian, Selasa kemarin.
Semasa sehat, Pekak Rupa bekerja di kebun salak milik orang lain. Penghasilannya pun tidak menentu. Jika musim, harganya sangat merosot. Jika tidak musim, harga meroket namun sulit mendapatkan buah salak. “Bapan tiange nak nyakap salak. Dije ye polih nyakap drika ngoyong. Ten ngelah napi. Panak-panakne ten ngelah napi masih (Bapak saya cuma nyakap. Di mana nyakap, di sana orangtua saya di-izinkan tinggal. Tidak punya apa-apa. Anaknya juga tidak punya),” tuturnya lirih.
Terungkap, Pekak Rupa dan Dadoing Rupa sempat terpisah saat dibawa mengungsi ke Denpasar. Pasalnya, Dadong Rupa harus mendapat perawatan di RSUD Klungkung. Pekak Rupa yang dijemput terlebih dulu, menangis terus dalam perjalanan ke Denpasar, karena selama ini belum pernah berpisah dengan istrinya. “Megilut takonange i meme dije kone, kenken ye jani. Jeg ngeling mare ten bareng-bareng. (berkali-kali bapak bertanya ibu di mana, bagaimana kondisinya. Bapak nangis baru tidak sama-sama ibu),” katanya.
Ketika bencana Gunung Agung meletus tahun 1963, keluatrga Pekak Rupa dan Dadong Rupa tidak sampai mengungsi. Pasalnya, desa mereka saat itu tidak terkena aliran lahar, hanya kena hujan abu. Kala itu, masyarakat Desa Duda bisa beraktivitas seperti biasa. “Waktu Gunung Agung meletus 1963, saya berumur 10 tahun. Karena tidak tahu apa-apa, saya nurut orangtua saja waktu itu. Kami sekeluarga tidak ada yang mengungsi. Baru kali ini mengungsi,” kata Wayan Sari. *nvi,in
Saat ini, Ni Made Sabeh mengungsi di tempat kos cucunya, I Made Putra Suryantara. Dia mengungsi sejak Kamis (21/9) lalu bersama putra bungsunya, I Komang Sekar, 54 (ayah dari Putra Suryantara). Dalam kartu keluarga yang ditunjukkan kepada NusaBali, Selasa (26/9), Made Sabeh tercatat kelahiran Karangasem, 30 Desember 1912. Ketika Gunung Agung meletus 1963, Made Sabeh sudah berusia 51 tahun. Dia dikaruniai 7 anak, namun hanya si sulung dan si bungsu Komang Sekar yang masih hidup.
Tak banyak yang bisa dikorek dari Made Sabeh, mengingat kondisinya sudah sangat sepuh, fisiknya lemah. Saat NusaBali berkunjung ke tempat pengungsiannya di Gianyar, Selasa kemarin, Dadong (Nenek) Made Sabeh tampak terkulai lemas di tempat tidur. Menurut anak bungsunya, Komang Sekar, ketika bencana Gunung Agung meletus tahun 1963, Dadong Sabeh sekeluarga mengungsi ke Lombok, NTB. “Saya yang masih bayi saat itu ikut diajak mengungsi ke Lombok. Kebetulan di sana ada saudara,” jelas Komang Sekar didampingi istrinya, Ni Luh Merta, yang juga mengungsi ke Gianyar.
Bagi Komang Sekar, pengungsian bencana Gunung Agung memang memerlukan waktu yang cukup lama, bahkan tidak menentu lamanya. “Waktu bencana Gunung Agung 1963, sampai bertahun-tahun ngungsi di Lombok. Bapak saya sampai menikah lagi dengan perempuan Lombok. Saya sekarang punya 3 saudara tiri di Lombok,” kenang Komang Sekar yang kini bekerja sebagai petugas pembinaan jalan Dinas PU Karangasem ini.
Mednurut Komang Sekar, petugas dari Dinas Kesehatan Gianyar sudah sempat datang mengcek kondisi kesehatan ibunya. Yang heboh, tensi Dadong Sabeh dikatakan normal, meski usianya sudah 105 tahun. Kemarin sudah dicek kesehatannya. Kata perawatny, ibu saya normal,” katanya.
Sementara itu, di Kota Denpasar juga ada pengungsi pasangan suami istri sepuh berusia 100 tahun, yakni I Nyoman Rupa dan Ni Wayan Rupa. Mereka mengungsi di sebuah rumah kawasan Jalan Trijata I Gang C Nomor 6 Denpasar, sejak Minggu (24/9). Mereka diboyong keluarga ke Denpasar, karena harus meninggalkan kampung halamannya di Banjar Jangu, Desa Duda, Kecamatan Selat, Karangasem demi menyelamatkan diri dari bencana Gunung Agung.
Selama dua hari emngungsi, tidak sedetik pun Pekak (Kakek) Nyoman Rupa meninggalkan istrinya, Dadong Wayan Rupa, dari kamar berdinding gedek. Sesekali, sang istri menggenggam erat tangan Pekak Nyoman Rupa. Karena tubuh yang renta, sakit-sakitan dan tidak mampu lagi berbicara, genggaman itu seolah mengisyaratkan bahwa Dadong Wayan Rupa tidak ingin ditinggalkan suami. Pekak Rupa pun hanya duduk di pinggir tempat tidur sang istri.
Apa yang dikomunikasikan pasutri sepuh ini, tak ada yang tahu. Bahkan, anak kelimanya, Ni Wayan Sari, 64, juga tidak mengerti pembicaraan kedua orangtuanya. Menurut Wayan Sari, ibunya sudah sakit-sakitan dan tidak bisa bangun lagi dari tempat tidur sejak 3 tahun lalu. Bahkan, sejak dua bulan lalu, kakinya menekuk, tidak bisa diluruskan. Sementara sang ayah masih terlihat sehat di usia 100 tahun. Hanya saja, tidak nyambung diajak bicara.
Menurut Wayan Sari, kedua orangtuanya selama ini hanya diurus oleh keponakannya yang masih teruna (lajang). Sedangkan 9 anaknya tinggal terpisah, karena memiliki keluarga. Hanya sesekali saja Wayan Sari menengok dan memandikan orangnya. “Ampun tua, ten ngidang ngujang-ngujang mangkin. Meme tiange sakit ampun ada uling telung tiban. Bapan tiange masih ten ngidang megae, nongosin i meme (Sudah tua, tidak mampu melakukan apa-apa. Ibu saya sudah sakit sejak tiga tahun lalu. Bapak saya juga tidak bisa bekerja, karena harus mendampingin ibu, Red),” kata Wayan Sari kepada NusaBali di pengungsian, Selasa kemarin.
Semasa sehat, Pekak Rupa bekerja di kebun salak milik orang lain. Penghasilannya pun tidak menentu. Jika musim, harganya sangat merosot. Jika tidak musim, harga meroket namun sulit mendapatkan buah salak. “Bapan tiange nak nyakap salak. Dije ye polih nyakap drika ngoyong. Ten ngelah napi. Panak-panakne ten ngelah napi masih (Bapak saya cuma nyakap. Di mana nyakap, di sana orangtua saya di-izinkan tinggal. Tidak punya apa-apa. Anaknya juga tidak punya),” tuturnya lirih.
Terungkap, Pekak Rupa dan Dadoing Rupa sempat terpisah saat dibawa mengungsi ke Denpasar. Pasalnya, Dadong Rupa harus mendapat perawatan di RSUD Klungkung. Pekak Rupa yang dijemput terlebih dulu, menangis terus dalam perjalanan ke Denpasar, karena selama ini belum pernah berpisah dengan istrinya. “Megilut takonange i meme dije kone, kenken ye jani. Jeg ngeling mare ten bareng-bareng. (berkali-kali bapak bertanya ibu di mana, bagaimana kondisinya. Bapak nangis baru tidak sama-sama ibu),” katanya.
Ketika bencana Gunung Agung meletus tahun 1963, keluatrga Pekak Rupa dan Dadong Rupa tidak sampai mengungsi. Pasalnya, desa mereka saat itu tidak terkena aliran lahar, hanya kena hujan abu. Kala itu, masyarakat Desa Duda bisa beraktivitas seperti biasa. “Waktu Gunung Agung meletus 1963, saya berumur 10 tahun. Karena tidak tahu apa-apa, saya nurut orangtua saja waktu itu. Kami sekeluarga tidak ada yang mengungsi. Baru kali ini mengungsi,” kata Wayan Sari. *nvi,in
Komentar