Seekor Ayam di Pengungsian
Kadek Giri berasal dari Banjar Telungbuana, Desa Sebudi, Karangasem.
Aryantha Soethama
Pengarang
Dusun yang berada paling dekat dengan kawah Gunung Agung itu tentu masuk kawasan merah bencana. Tatkala Gunung Agung diramalkan akan meletus, tentu hanya ada satu pilihan bagi warga dusun: mengungsi, agar tidak dilumat lahar atau dipanggang awan panas.
Bersama warga dusun, Kadek berbondong-bondong mengungsi ke segala penjuru. Beberapa keluarga mengungsi ke GOR Swecapura di Klungkung. Ada yang berdesak-desak di alun-alun Ulakan di Kecamatan Manggis. Sebagian numpang di rumah kerabat dan sanak saudara.
“Saya mengungsi ke rumah kerabat di Desa Baturiti, Tabanan,” jelas Kadek kepada salah seorang wartawan dari belasan pewarta yang terus siaga di Pos Pengamatan Gunung Agung di Rendang, Kamis (28/9).
Kadek berada di pos pemantauan itu untuk mendapat kejelasan kapan Gunung Agung meletus. Ketika para wartawan mewawancarai Kasbani, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, di halaman belakang kantor pemantauan itu, dengan latar Gunung Agung berkabut, Kadek ikut nguping. Dan dia kecewa, karena Kasbani tidak bisa memastikan kapan Gunung Agung meletus.
“Sesungguhnya saya ke sini cuma mampir, tadi saya pulang ke Sebudi,” ujar Kadek kepada si wartawan.
“Mengambil barang-barang berharga Pak?”
“Ah, tidak juga. Saya mengambil ayam.”
Si wartawan terperanjat, mencoba tersenyum untuk menutupi kekagetannya. “Bagaimana Pak Kadek memelihara ayam di pengungsian? Berapa ekor yang Pak Kadek bawa?”
“Ah, cuma satu ekor.”
Si wartawan ternganga, dan menduga-duga itu pasti ayam istimewa. “Itu pasti ayam kesayangan ya Pak, sampai harus dibawa mengungsi.” Wartawan itu menduga jangan-jangan itu ayam jago, ayam aduan. Kadek Giri juga menduga-duga kecurigaan si wartawan. Mereka berdua sesungguhnya memendam saling curiga. “Biar ada kesibukan Pak, kan pasti jenuh dan inguh di pengungsian,” jelas Kadek.
Si wartawan tidak menanyakan, apakah itu ayam kurungan yang biasa diadu di tajen? Bagi si wartawan, pertanyaan seperti itu bisa membuat pengungsi tersinggung, menambah beban perasaan dan pikiran yang sudah berat karena harus meninggalkan kampung halaman dan berdesak-desak di pengungsian. Si wartawan memilih meneruskan perjalanan ke timur, ke Selat Duda yang masuk zona merah bencana, juga ke posko bencana di Tanahampo, mampir di alun-alun penampungan pengungsi yang padat di Ulakan, dan GOR Swecapura di Klungkung.
Warung-warung tutup di Selat Duda dan Sibetan. Jalanan lengang, kota Karangasem senyap. Di Desa Bebandem puluhan orang siap-siap mengungsi naik truk. Gulungan kasur, tikar, selimut, dan tas berjejal di bagian depan truk. Tentu akan semakin sepi desa-desa di kaki gunung ini.
Sepi dalam keramaian, itulah yang dirasakan para pengungsi di penampungan. Banyak orang datang berbondong-bondong membawa bantuan makanan. Dapur umum sangat sibuk diurus para relawan, sedikit melibatkan pengungsi. Para relawan dan penyumbang itu merasa kasihan sama pengungsi, sehingga pengungsi nyaris seperti tamu yang harus disambut dan dilayani. Para pengungsi pun duduk manis atau tergolek tidur-tiduran, sembari berkhayal, kapan semua ini akan berakhir?
Banyak relawan datang dari segala penjuru, silih berganti menyambangi puluhan ribu pengungsi yang tidur di tenda-tenda di puluhan titik pengungsian, antara lain di dalam los pasar yang mangkrak di Belong, Manggis. Sebuah keramaian baru tercipta di penampungan. Jika di daerah rawan bencana sepi, di jalan-jalan keluar-masuk titik pengungsian ramai dan padat. Jalan ke penampungan di Ulakan, ke Candidasa, ke Karangasem, macet. Lalu lintas semakin padat karena truk pengangkut pasir melintas beriringan. Tiba-tiba sirene meraung-raung, truk pengangkut bantuan melesat diikuti beberapa mobil. Entah mengapa mesti kencang dan bersirene.
Di pengungsian banyak hal baru tampak, seperti perpustakaan keliling yang diserbu anak-anak untuk membaca dan pinjam buku. Suatu sore seorang bapak menghardik anaknya yang baru usai mandi, tapi lagi-lagi bermain dengan kawan barunya di antara debu di GOR Swecapura. Ada pula anak muda yang berkhayal mendapat pacar di pengungsian. Atau jangan-jangan sudah ada yang memadu kasih di antara para relawan itu. Bukankah sejak zaman perjuangan kemerdekaan dulu kita sudah mengenal kisah-kisah antara tugas dan cinta? Mengurus puluhan ribu pengungsi jelas sangat berat dan kompleks, tidak semudah mengurus seekor ayam aduan. *
Dusun yang berada paling dekat dengan kawah Gunung Agung itu tentu masuk kawasan merah bencana. Tatkala Gunung Agung diramalkan akan meletus, tentu hanya ada satu pilihan bagi warga dusun: mengungsi, agar tidak dilumat lahar atau dipanggang awan panas.
Bersama warga dusun, Kadek berbondong-bondong mengungsi ke segala penjuru. Beberapa keluarga mengungsi ke GOR Swecapura di Klungkung. Ada yang berdesak-desak di alun-alun Ulakan di Kecamatan Manggis. Sebagian numpang di rumah kerabat dan sanak saudara.
“Saya mengungsi ke rumah kerabat di Desa Baturiti, Tabanan,” jelas Kadek kepada salah seorang wartawan dari belasan pewarta yang terus siaga di Pos Pengamatan Gunung Agung di Rendang, Kamis (28/9).
Kadek berada di pos pemantauan itu untuk mendapat kejelasan kapan Gunung Agung meletus. Ketika para wartawan mewawancarai Kasbani, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, di halaman belakang kantor pemantauan itu, dengan latar Gunung Agung berkabut, Kadek ikut nguping. Dan dia kecewa, karena Kasbani tidak bisa memastikan kapan Gunung Agung meletus.
“Sesungguhnya saya ke sini cuma mampir, tadi saya pulang ke Sebudi,” ujar Kadek kepada si wartawan.
“Mengambil barang-barang berharga Pak?”
“Ah, tidak juga. Saya mengambil ayam.”
Si wartawan terperanjat, mencoba tersenyum untuk menutupi kekagetannya. “Bagaimana Pak Kadek memelihara ayam di pengungsian? Berapa ekor yang Pak Kadek bawa?”
“Ah, cuma satu ekor.”
Si wartawan ternganga, dan menduga-duga itu pasti ayam istimewa. “Itu pasti ayam kesayangan ya Pak, sampai harus dibawa mengungsi.” Wartawan itu menduga jangan-jangan itu ayam jago, ayam aduan. Kadek Giri juga menduga-duga kecurigaan si wartawan. Mereka berdua sesungguhnya memendam saling curiga. “Biar ada kesibukan Pak, kan pasti jenuh dan inguh di pengungsian,” jelas Kadek.
Si wartawan tidak menanyakan, apakah itu ayam kurungan yang biasa diadu di tajen? Bagi si wartawan, pertanyaan seperti itu bisa membuat pengungsi tersinggung, menambah beban perasaan dan pikiran yang sudah berat karena harus meninggalkan kampung halaman dan berdesak-desak di pengungsian. Si wartawan memilih meneruskan perjalanan ke timur, ke Selat Duda yang masuk zona merah bencana, juga ke posko bencana di Tanahampo, mampir di alun-alun penampungan pengungsi yang padat di Ulakan, dan GOR Swecapura di Klungkung.
Warung-warung tutup di Selat Duda dan Sibetan. Jalanan lengang, kota Karangasem senyap. Di Desa Bebandem puluhan orang siap-siap mengungsi naik truk. Gulungan kasur, tikar, selimut, dan tas berjejal di bagian depan truk. Tentu akan semakin sepi desa-desa di kaki gunung ini.
Sepi dalam keramaian, itulah yang dirasakan para pengungsi di penampungan. Banyak orang datang berbondong-bondong membawa bantuan makanan. Dapur umum sangat sibuk diurus para relawan, sedikit melibatkan pengungsi. Para relawan dan penyumbang itu merasa kasihan sama pengungsi, sehingga pengungsi nyaris seperti tamu yang harus disambut dan dilayani. Para pengungsi pun duduk manis atau tergolek tidur-tiduran, sembari berkhayal, kapan semua ini akan berakhir?
Banyak relawan datang dari segala penjuru, silih berganti menyambangi puluhan ribu pengungsi yang tidur di tenda-tenda di puluhan titik pengungsian, antara lain di dalam los pasar yang mangkrak di Belong, Manggis. Sebuah keramaian baru tercipta di penampungan. Jika di daerah rawan bencana sepi, di jalan-jalan keluar-masuk titik pengungsian ramai dan padat. Jalan ke penampungan di Ulakan, ke Candidasa, ke Karangasem, macet. Lalu lintas semakin padat karena truk pengangkut pasir melintas beriringan. Tiba-tiba sirene meraung-raung, truk pengangkut bantuan melesat diikuti beberapa mobil. Entah mengapa mesti kencang dan bersirene.
Di pengungsian banyak hal baru tampak, seperti perpustakaan keliling yang diserbu anak-anak untuk membaca dan pinjam buku. Suatu sore seorang bapak menghardik anaknya yang baru usai mandi, tapi lagi-lagi bermain dengan kawan barunya di antara debu di GOR Swecapura. Ada pula anak muda yang berkhayal mendapat pacar di pengungsian. Atau jangan-jangan sudah ada yang memadu kasih di antara para relawan itu. Bukankah sejak zaman perjuangan kemerdekaan dulu kita sudah mengenal kisah-kisah antara tugas dan cinta? Mengurus puluhan ribu pengungsi jelas sangat berat dan kompleks, tidak semudah mengurus seekor ayam aduan. *
1
Komentar