Payogan Danghyang Nirartha, Krama Pantang Tangkil Hari Rabu
Jauh sebelum Danghyang Nirarta, Mpu Kuturan sempat berada di sekitar tahun 1001 Masehi, ditandai dengan keberadanya Padmasana (si sisi selatan menghadap ke utara) di dalam goa
Pura Goa Gong, Tempat Suci di Perbukitan Desa Pakraman Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Badung
MANGUPURA, NusaBali
Pura Gua Gong yang berlokasi di perbukitan Banjar Batu Mongkong, Desa Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Badung termasuk salah satu tempat suci yang unik. Seusai namanya, pura ini berada di dalam goa. Umat sedharma pantang tangkil sembanhyang hari Rabu, karena pura ini merupakan payogan Danghyang Nirartha (Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh).
Keluarga besar NusaBali sempat tangkil ke Pura Gua Gong pada Wraspati Umanis Gumbreg, Kamis (28/9) siang. Persembahyangan bersama di Pura Gua Gong kala itu digelar serangkaian HUT ke-23 Harian Umum NusaBali, yang jatuh 3 Oktober 2017 besok. Kepada NusaBali, pamangku Pura Gua Gong, Jro Mangku Made Sukantha, sempat menceritakan sekilas tentang pura ini.
Jro Mangku Sukantha mengisahkan, berdasarkan sumber dari Dwijendra Tattwa tentang perjalanan Danghyang Nirartha, tempat suci yang kemudian dinamai Pura Goa Gong ini ditemukan setelah Danghyang Nirartha pergi dari areal Pura Pakendungan Tanah Lot (Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Tabanan). Selama menyisiri pantai barat hingga ke selatan menuju Uluwatu, di tengah jalan Danghyang Nirartha digoda oleh suara misterius. Danghyang Nirartha lantas mencari sumber suara tersebut, yang ternyata ditemukan di Pura Kayu Sugih, tidak jauh dari Pura Goa Gong.
“Setelah menemukan sumber suara tersebut, beliau (Danghyang Nirar-tha) sangat senang. Kemudian, beliau berjalan beberapa langkah lagi, dan tiba-tiba disambut oleh seekor naga. Sang naga memohon agar disupat oleh Danghyang Nirartha,” ungkap Jro Mangku Sukantha.
“Maka, naga tersebut pun disupat dengan dikasi sekar tunjung tiga buah. Nah, di tempat naga disupat itu jadilah Taman Goa Peteng, yang sekarang menjadi tempat pangelukatan. Letaknya di seberang jalan dari Pura Goa Gong ini, dekat dengan pohon Beringin,” imbuhnya.
Disebutkan, dari Taman Goa Peteng itu, Danghyang Nirartha melangkah lagi dan kemudian menemukan sebuah tempat yang kini dinamai Pura Goa Gong. “Nah, di sini payogan (tempat bersemedi) beliau. Tempat ini langsung digunakan sebagai pasraman. Dari sinilah beliau membangun Pura Uluwatu,” cerita pamangku yang diwinten tahun 2005 ini.
Menurut Jro Mangku Sukantha, umat sedharma pantang tangkil ke Pura Goa Gong saat hari Rabu. Memang pantangan ini tidak ada tertulis, namun ditaati secara turun temurun. “Hak ini untuk menghormati sejarahnya Maha Rsi Danghyang Niratha, yang kebetulan tepat hari Rabu saat beliau beryoga di tempat ini,” katanya.
Berasarkan isi Dwijendra Tattwa, kata Jro Mangku Sukantha, setelah payogan di Pura Goa Gong, Danghyang Nirartha kembali melanjutkan perjalanan sampai ke Pura Gunung Payung di Desa Kutuh, Kecamatan Kuta Selatan, Badung. Di sana Danghyang Nirartha menancapkan tateken, hingga mengeluarkan tirtha. Perjalanan pun dilanjutkan mengitari Bali, bahkan sampai ke Sumbawa, NTB. “Datang dari Sum-bawa, Ida (Danghyang Nirartha) kembali ke Pura Goa Gong dan akhirnya mencapai moksa di Pura Uluwatu,” papar Jro Mangku Sukantha.
Disebutkan pula, sekitar tahun 1001 Masehi, jauh sebelum Danghyang Nirartha mayoga, Mpu Kuturan sudah lebih dulu mendatangi areal Pura Goa Gong. Artinya, Pura Goa Gong sudah berdiri sejak zaman Mpu Kuturan tahun 1001 Masehi. Hal ini dibuktikan dengan adanya Padmasana (si sisi selatan menghadap ke utara) di dalam Pura Goa Gong. “Ini satu-satunya di Bali ada Padmasana dari arah sebelah selatan. Biasanya, kita temui Padmasana di sebelah timur, utara, atau timur laut. Ini satu-satunya,” kata Jro Mangku Sukantha.
Selain sumber dari Dwijendra Tattwa, kata Jro Mangku Sukantha, keberadaan Pura Goa Gong juga erat kaitannya dengan Kerajaan Mengwi. “Kisahnya, saat Ida Gusti Agung Maruti dalam pelarian dari Gelgel, di sinilah beliau sembunyi sambil myasa (bersemedi), hingga mendapat anugerah berupa Keris Bintang Kukus. Keris tersebut sekarang disungsung di Puri Keramas, Gianyar. Karenanya, Pura Goa Gong ini juga dinamai Pura Luhur Gunung Kukus,” katanya.
Tak heran jika Pura Goa Gong ini awalnya diempon oleh Raja Mengwi, namun kemudian diserahkan kepada Raja Badung. Selanjutnya, Raja Badung menyerahkan semua tugas dan pelaksanaan kegiatan sehari-harin di Pura Goa Gong secara turun temurun kepada keluarga Jro Mangku Sukantha. “Tapi, penanggung jawabnya tetap Raja Badung di Puri Agung Denpasar. Jadi, bila ada kegiatan-kegiatan besar, tiyang selalu matur ke Puri Agung Denpasar. Bahkan, Puri Agung Mengwi sekarang aktif mengurusi Pura Goa Gong sejak AA Gde Agung (paglingsir Puri Agung Mengwi, Red) jadi Bupati Badung (2005-2015),” ceritanya.
Sementara itu, di Pura Goa Gong terdapat beberapa palinggih. Di antaranya, palinggih utama berupa Meru Tumpang Telu (tiga tingkat), Gedong Sari, Linggih Ratu Dukuh Sakti, Anglurah Agung, Padmasana, dan Palinggih Dalem Solo. Di dalam goa, palinggih-palinggih tersebut terbagi dalam tiga ruang, yaitu bagian Pengaruman, Griya, dan Dalem. Sedangkan areal luar Pura Goa Gong dilebarkan sejak tahun 1980-an untuk memberikan tempat bagi pamedek (umat yang tangkil smbah-yang).
“Dulunya, hanya berupa tanah dan bebatuan. Di dalam dulu lebih sakral. Sebelum dikeramik, di bawahnya itu runcing-runcing. Kemudian, ada yang mapunia masang keramik. Hingga sekarang umat banyak yang tangkil, termasuk wisatawan mancanegara. Umat agama apa pun boleh sembahyang di Pura Goa Gong.”
Piodalan di Pura Goa Gong sendiri dilaksanakan 6 bulan sekali (210 hari sistem penanggalan Bali) saat Soma Ribek pada Soma Pon Sinta. Selain pantangan tangkil hari Rabu, ada juga larangan bagi ibu hamil dan ibu menyusui tangkil ke Pura Goa Gong. “Konon, berdasarkan cerita dulunya Ida Dewa Agung, sang penguasa jagat masa itu, punya istri hamil. Dalam perjalanan menuju kawasan Kampial, kocap sang putra lahir di sini. Putra beliau kemudian dipungut oleh batara di sini dan dibe-ri nama Ratu Bagus Pengalasan,” ujar Jro Mangku Sukantha.
Umat yang tangkil ke Pura Goa Gong biasanya diberikan tirta panglukatan untuk kesembuhan, terutama bagi anak-anak yang mengalami gangguan bicara. “Atas sweca (rahmat) Ida Batara, sudah banyak yang terbukti bisa normal setelah diberikan tirta panglukatan di sini. Yang lumpuh bahkan bisa sembuh. Ini karena keyakinan juga,” katanya.
Pura Goa Gong juga dipercaya sebagai tempat meneteksi gejala bencana alam secara niskala. Biasanya, jika akan terjadi suatu bencana, muncul sipta (pertanda niskala) di Pura Goa Gong. Contohnya, tiba-tiba terdengar suara bedug di Pura Goa Gong sebelum terjadinya bencana tsunami Aceh, 26 Desember 2004. Juga terdengar suara bedug sebelum tragedi Bom Bali I, 12 Oktober 2002.
“Semua kejadian yang akan terjadi pasti ada isyaratnya dari sini. Kadang duwe medal berupa ular, kera, macan, kucing putih. Pak Made Mangku Pastika dulunya tangkil nunas ica di Pura Goa Gong sebelum menangani teror Bom Bali I 2002. Akhirnya, berkat doa dan usaha, pelaku segera diketemukan,” kenang Jro Mangku Sukantha. *in
Komentar